Penggunaan Anggaran Desa Harus Efektif
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah harus serius mengimplementasikan Undang-Undang tentang Desa agar efektif untuk pembangunan. Anggaran yang dialokasikan untuk tiap desa harus bisa dimaksimalkan untuk peningkatan kesejahteraan.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, dukungan pertama berasal dari pemerintah Jokowi-JK. Mereka diminta untuk bisa memastikan seluruh kementerian di bawahnya bersinergi, mendukung kinerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT dan Trans) yang memang mendapat mandat langsung melaksanakan UU Desa.
”Kementerian ini leading sector, namun cakupan kerjanya tidak selalu hanya menyalurkan dana ke desa, tetapi juga memastikan demokrasi di tingkat desa bisa berjalan,” ungkap Ismail saat diskusi Setara Institute di Jakarta kemarin. Ismail juga meminta Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang selama ini membawahi urusan pembangunan dan pemberdayaan desa dialihkan secara keseluruhan ke Kemendes PDT dan Trans.
Jika tidak dikelola secara terintegrasi, dikhawatirkan akan terjadi tarik menarik tata kelola desa antarkementerian. ”Ujungnya nanti malah politisasi desa dan justru menjauhkan tujuan pembangunan desa itu sendiri,” kata Ismail. Dia menambahkan Jokowi-JK juga harus memastikan dana dari UU Desa yang akan disalurkan antara Rp1-1,4 miliar tersebut bebas dari kepentingan kepala daerah.
”Harus mengingatkan bupati untuk tidak menjadikan dana desa sebagai bargaining politik untuk menghimpun dukungan politik,” ucapnya. Lebih jauh dia mengatakan, dukungan kepada UU Desa berasal dari elemen masyarakat, kalangan dunia usaha, pemangku kepentingan, serta kalangan dunia usaha yang selama ini berkaitan langsung dengan kegiatan-kegiatan berbasis pedesaan.
”Terutama para pemangku kepentingan yang selama ini bekerja untuk PNPM juga dituntut memberikan akses data, pengalaman, dan keterampilan tata kelola desa,” katanya. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos memaparkan tujuh tantangan yang akan ditemui dalam penerapan UU Desa seperti kebutuhan akan proses pendampingan bagi tiap desa dalam memaksimalkan dan mengelola anggaran yang diterimanya agar sesuai harapan yang dicita-citakan.
Jika jumlah desa diperkirakan mencapai 73.000, jumlah pendamping yang diperlukan juga berkisar di angka tersebut. ”UU Desa dan PP No 43/ 2014 juga menuntut pendamping memiliki kualifikasi dan sertifikasi kompetensi di bidangnya sehingga pengadaan pendamping dengan syarat semacam ini bukanlah pekerjaan mudah,” sebut Bonar.
Dia juga menjelaskan tantangan lain dalam pengimplementasian UU Desa adalah kepastian penguatan demokrasi di tingkat desa. Itu sebagai imbas dari peningkatan kualitas dan peran desa dalam mengelola dirinya sendiri. Untuk itu, harus ada penguatan agar desa terhindar dari konflik dan perpecahan karena kondisi ini.
”Penguatan masyarakat dan pelibatan warga desa juga penting. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan warga hanya akan menjadikan masyarakat tidak kritis kepada aparatur desanya,” katanya.
Dian ramdhani
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, dukungan pertama berasal dari pemerintah Jokowi-JK. Mereka diminta untuk bisa memastikan seluruh kementerian di bawahnya bersinergi, mendukung kinerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT dan Trans) yang memang mendapat mandat langsung melaksanakan UU Desa.
”Kementerian ini leading sector, namun cakupan kerjanya tidak selalu hanya menyalurkan dana ke desa, tetapi juga memastikan demokrasi di tingkat desa bisa berjalan,” ungkap Ismail saat diskusi Setara Institute di Jakarta kemarin. Ismail juga meminta Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang selama ini membawahi urusan pembangunan dan pemberdayaan desa dialihkan secara keseluruhan ke Kemendes PDT dan Trans.
Jika tidak dikelola secara terintegrasi, dikhawatirkan akan terjadi tarik menarik tata kelola desa antarkementerian. ”Ujungnya nanti malah politisasi desa dan justru menjauhkan tujuan pembangunan desa itu sendiri,” kata Ismail. Dia menambahkan Jokowi-JK juga harus memastikan dana dari UU Desa yang akan disalurkan antara Rp1-1,4 miliar tersebut bebas dari kepentingan kepala daerah.
”Harus mengingatkan bupati untuk tidak menjadikan dana desa sebagai bargaining politik untuk menghimpun dukungan politik,” ucapnya. Lebih jauh dia mengatakan, dukungan kepada UU Desa berasal dari elemen masyarakat, kalangan dunia usaha, pemangku kepentingan, serta kalangan dunia usaha yang selama ini berkaitan langsung dengan kegiatan-kegiatan berbasis pedesaan.
”Terutama para pemangku kepentingan yang selama ini bekerja untuk PNPM juga dituntut memberikan akses data, pengalaman, dan keterampilan tata kelola desa,” katanya. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos memaparkan tujuh tantangan yang akan ditemui dalam penerapan UU Desa seperti kebutuhan akan proses pendampingan bagi tiap desa dalam memaksimalkan dan mengelola anggaran yang diterimanya agar sesuai harapan yang dicita-citakan.
Jika jumlah desa diperkirakan mencapai 73.000, jumlah pendamping yang diperlukan juga berkisar di angka tersebut. ”UU Desa dan PP No 43/ 2014 juga menuntut pendamping memiliki kualifikasi dan sertifikasi kompetensi di bidangnya sehingga pengadaan pendamping dengan syarat semacam ini bukanlah pekerjaan mudah,” sebut Bonar.
Dia juga menjelaskan tantangan lain dalam pengimplementasian UU Desa adalah kepastian penguatan demokrasi di tingkat desa. Itu sebagai imbas dari peningkatan kualitas dan peran desa dalam mengelola dirinya sendiri. Untuk itu, harus ada penguatan agar desa terhindar dari konflik dan perpecahan karena kondisi ini.
”Penguatan masyarakat dan pelibatan warga desa juga penting. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan warga hanya akan menjadikan masyarakat tidak kritis kepada aparatur desanya,” katanya.
Dian ramdhani
(bbg)