Kubu KIH Tuntut Syarat Tambahan

Jum'at, 14 November 2014 - 13:22 WIB
Kubu KIH Tuntut Syarat...
Kubu KIH Tuntut Syarat Tambahan
A A A
JAKARTA - Upaya Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengakhiri perseteruan di parlemen berjalan tidak sesuai rencana. Kedua kubu gagal menandatangani kesepakatan damai lantaran KIH mengajukan syarat tambahan.

Akibat perjanjian damai yang kembali mentah, rapat paripurna DPR kemarin gagal dilaksanakan kedua kubu. KIH ternyata tidak puas jika kompensasi perdamaian hanya berupa jatah 21 kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan (AKD). Koalisi pendukung Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ini juga meminta dua pasal pada UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) direvisi.

Pasalinimengatur hak DPR untuk menyampaikan interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. “KIH mendapat temuan sehingga ada usulan baru yang disampaikan kepada kami yakni perubahan Pasal 74 tentang tugas DPR dan Pasal 98 tentang tugas komisi pada UUMD3,” kata Koordinator Pelaksana KMP Idrus Marham di Gedung DPR Senayan, Jakarta, kemarin.

Menurut Idrus, sebelumnya kesepakatan dengan KIH hanya soal revisi UU MD3 mengenai pasal perubahan jumlah pimpinan AKD. Usulan tambahan KIH ini disampaikan kepada KMP pada pertemuan di rumah Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa pada Rabu (12/11).

“Saya kira penandatanganan kesepakatan itu belum bisa pada hari ini (kemarin) karena usulan tambahan itu baru akan kami bahas dalam pertemuan paling lambat pada esok hari (hari ini),” ungkap sekjen DPP Partai Golkar ini. Idrus mengatakan, permintaan KIH tersebut masih perlu dibahas kembali di internal KMP sehingga hingga kemarin belum ada hasilnya.

Dia tidak menjamin KMP bisa mengabulkan permintaan KIH tersebut. Permintaan itu semua harus kembali pada UUD 1945 di mana hak DPR sudah diatur di dalamnya. Dengan aturan pada konstitusi itu, anggota DPR hanya melaksanakan hak yang dimilikinya, termasuk interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat seperti yang diatur dalam UU MD3.

“Prinsip KMP, karena hak itu sudah diatur dalam UUD 1945, komitmen kami hak itu harus dilaksanakan sesuai sistem yang berlaku dan sistem presidensial,” katanya. Kendati demikian, Idrus mengembalikan semua kepada presidium KMP untuk dikaji.

Fraksi KMP di DPR nanti akan memberikan masukan, termasuk pimpinan DPR. Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah mengatakan, sebenarnya tidak ada masalah lagi dalam kesepakatan damai antara KMP dan KIH.

“Itu soal komunikasi di antara teman-teman KIH saja karena kalau di kita (KMP) itu selalu bertemunya bareng, tapi kalau KIH hanya Pramono Anung dan Olly Dondokambey. Tapi, saya kira sudah tidak ada masalah,” ucap Wakil Ketua DPR ini kemarin.

Soal permintaan KIH yang ingin merevisi sejumlah pasal di UU MD3, menurutnya, itu tidak perlu karena UU MD3 telah diuji di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Revisi terhadap UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR yang bisa dilakukan hanya mengenai pasal yang mengatur pimpinan AKD.

Revisi berupa penambahan jumlah kursi pimpinan AKD menjadi lima, terdiri satu ketua dan empat wakil ketua. Sebelumnya jumlah wakil ketua pada setiap AKD hanya tiga. Usulan KIH mengubah Pasal 74 dan Pasal 98 pada UU MD3 dipicu kekhawatiran akan ada upaya parlemen mengganggu jalannya pemerintahanPresiden Jokowi, termasuk dengan melakukan pemakzulan.

“Betul, kalau itu (ketakutan) memang ada. Harus diakui karena memang konstruksinya memungkinkan itu,” ujar anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir KardingdiGedungDPRSenayan, Jakarta, kemarin. Karding berujar, seperti pengalaman sebelumnya di DPR, pihaknya merasakan betul betapa kuatnya kekuatan DPR kalau pasal ini tetap ada.

“Coba bayangkan ya, seluruh rapat komisi misalnya ada satu poin saja yang tidak dilaksanakan pemerintah, tidak optimal, itu bisa menjadi pintu masuk untuk interpelasi,” sebut sekjen DPP PKB itu. Menurut Karding, isi pada pasal tersebut tidak lagi mencerminkan sistem presidensial, tetapi sudah masuk di sistem parlementer.

Itu menjadi perhatian KIH karena bisa menjadi pintu masuk DPR untuk melakukan interpelasi. Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, apa yang diusulkan KIH dengan mengubah pasal mengenai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat DPR mustahil dipenuhi.

“Kecuali jika UUD 1945 dulu yang diubah. Soalnya, hak DPR itu diatur pada Pasal 20 a ayat 2 UUD 1945,” katanya kemarin. Menurut dia, yang paling memungkinkan dilakukan adalah membatasi jangkauan objek yang bisa menjadi alasan bagi DPR dalam menggunakan haknya tersebut. “Jangkauan isunya yang seharusnya dibatasi misalnya yang boleh diinterpelasi kasus apa, yang bisa angket yang mana, bukan dengan memberangus haknya (DPR) karena itu pasti sangat sulit,” paparnya kemarin.

Kiswondari
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0996 seconds (0.1#10.140)