Kajian Larangan Motor Belum Konkret
A
A
A
JAKARTA - Tujuan larangan sepeda motor melintas di sepanjang Jalan MH Thamrin dari Bundaran HI hingga Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat perlu diperjelas. Jangan sampai kajian yang belum rampung membuat warga bingung.
Pengamat transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Danang Parikesit menuturkan, mestinya Pemprov DKI Jakarta membuat kajian lebih konkret dulu sejauh mana urgensi sebuah kebijakan. Jangan sampai melontarkan sebuah aturan namun sebelum jelas duduk persoalannya Menurutnya, bila alasan pelarangan di sepanjang jalan protokol itu untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas, perlu dilihat seberapa banyak angka kecelakaan lalu lintas terjadi di ruas tersebut.
”Belakangan setelah jalur lambat dan jalur cepat dibuat di sepanjang Jalan MH Thamrin, kecelakaan lalu lintas relatif lebih rendah,” katanya kemarin. Begitu juga analisis sepeda motor menjadi salah satu pemicu kemacetan lalu lintas. Itu pun harus dihitung lebih detail sebab sepeda motor tidak memakan ruang badan jalan terlalu besar. Sepeda motor juga relatif fleksibel untuk melintas di mana saja dibandingkan mobil.
”Ini yang perlu diperhatikan. Apa alasan dari pelarangan itu? Kebijakan ini membuat masyarakat menjadi bingung dan khawatir,” ungkap Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini. Pemprov DKI Jakarta juga tidak memberikan tempat parkir tambahan untuk menampung sepeda motor yang akan ditinggalkan pemiliknya karena melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum sebagai imbas kebijakan tersebut.
Masyarakat cukup memakai ruang parkir di gedung pemerintahan dan komersial di sepanjang jalan dan lokasi sekitar. Persoalannya, kata Danang, gedung pemerintahan dan komersial selama ini menyediakan lahan parkir sepeda motor yang sulit dijangkau. Lokasinya kebanyakan di basement paling bawah atau paling ujung.
Pemprov DKI Jakarta melarang sepeda motor melintas di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat hingga Bundaran HI (Jalan MH Thamrin) mulai Desember mendatang. Larangan ini sebagai upaya membatasi operasional kendaraan bermotor di Ibu Kota dan menjelang pemberlakuan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Pembatasan sepeda motor itu berlaku selama 24 jam.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Benyamin Bukit mengungkapkan, larangan sepeda motor itu akan diterapkan di jalan protokol. Pada tahap awal dimulai dari Bundaran HI hingga Jalan Medan Merdeka Barat. Alasan larangan itu untuk mengurangi kesemrawutan pusat kota dari kepadatan sepeda motor. Apalagi di titik itu terdapat 3.600 unit sepeda motor/jam yang melintas.
”Data itu saat jam sibuk. Kalau di luar itu hampir mendekati itu,” ungkapnya. Apalagi ruas jalan itu dirancang untuk kecepatan tinggi sehingga rawan terhadap keselamatan pengendara sepeda motor. Dari data Polda Metro Jaya selama 2013 angka kecelakaan lalu lintas di Jakarta mencapai 6.498 kasus. Korban meninggal dunia 676 orang, luka ringan 4.711orang, danlukaberat2.925 orang.
”Sebanyak 70% kecelakaan lalu lintas itu dialami pengendara sepeda motor. Ini yang mau kita antisipasi,” sebutnya. Dia menjelaskan, uji coba ini akan berlangsung 1-2 bulan. Dari hasil itu akan dievaluasi sejauh mana efeknya. Jika positif, akan dilanjutkan ke ruas Jalan Sudirman. Dengan demikian, pada 2015 saat pemberlakuan ERP, jalan tersebut tidak lagi dilintasi sepeda motor.
Jalur ERP tidak membolehkan sepeda motor melintas. Mobil yang boleh melintas pun harus memiliki on board unit(OBU). Alat itu sebagai kontrol kendaraan melintas dengan mewajibkan membayar retribusi dengan tarif yang ditetapkan.
”Kami bukan membedakan perlakuan untuk pemilik sepeda motor, tapi demi menata pusat kota. Terutama jalan protokol tidak terlihat semrawut,” katanya. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Restu Mulya Budyanto mengatakan, selama uji coba polisi tidak akan menilang pengguna sepeda motor. Pihaknya akan menyiagakan sejumlah personel di titik. Pengguna sepeda motor yang hendak masuk ke jalur tersebut akan diarahkan ke jalur alternatif.
Ilham safutra/Helmi syarif
Pengamat transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Danang Parikesit menuturkan, mestinya Pemprov DKI Jakarta membuat kajian lebih konkret dulu sejauh mana urgensi sebuah kebijakan. Jangan sampai melontarkan sebuah aturan namun sebelum jelas duduk persoalannya Menurutnya, bila alasan pelarangan di sepanjang jalan protokol itu untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas, perlu dilihat seberapa banyak angka kecelakaan lalu lintas terjadi di ruas tersebut.
”Belakangan setelah jalur lambat dan jalur cepat dibuat di sepanjang Jalan MH Thamrin, kecelakaan lalu lintas relatif lebih rendah,” katanya kemarin. Begitu juga analisis sepeda motor menjadi salah satu pemicu kemacetan lalu lintas. Itu pun harus dihitung lebih detail sebab sepeda motor tidak memakan ruang badan jalan terlalu besar. Sepeda motor juga relatif fleksibel untuk melintas di mana saja dibandingkan mobil.
”Ini yang perlu diperhatikan. Apa alasan dari pelarangan itu? Kebijakan ini membuat masyarakat menjadi bingung dan khawatir,” ungkap Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini. Pemprov DKI Jakarta juga tidak memberikan tempat parkir tambahan untuk menampung sepeda motor yang akan ditinggalkan pemiliknya karena melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum sebagai imbas kebijakan tersebut.
Masyarakat cukup memakai ruang parkir di gedung pemerintahan dan komersial di sepanjang jalan dan lokasi sekitar. Persoalannya, kata Danang, gedung pemerintahan dan komersial selama ini menyediakan lahan parkir sepeda motor yang sulit dijangkau. Lokasinya kebanyakan di basement paling bawah atau paling ujung.
Pemprov DKI Jakarta melarang sepeda motor melintas di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat hingga Bundaran HI (Jalan MH Thamrin) mulai Desember mendatang. Larangan ini sebagai upaya membatasi operasional kendaraan bermotor di Ibu Kota dan menjelang pemberlakuan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Pembatasan sepeda motor itu berlaku selama 24 jam.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Benyamin Bukit mengungkapkan, larangan sepeda motor itu akan diterapkan di jalan protokol. Pada tahap awal dimulai dari Bundaran HI hingga Jalan Medan Merdeka Barat. Alasan larangan itu untuk mengurangi kesemrawutan pusat kota dari kepadatan sepeda motor. Apalagi di titik itu terdapat 3.600 unit sepeda motor/jam yang melintas.
”Data itu saat jam sibuk. Kalau di luar itu hampir mendekati itu,” ungkapnya. Apalagi ruas jalan itu dirancang untuk kecepatan tinggi sehingga rawan terhadap keselamatan pengendara sepeda motor. Dari data Polda Metro Jaya selama 2013 angka kecelakaan lalu lintas di Jakarta mencapai 6.498 kasus. Korban meninggal dunia 676 orang, luka ringan 4.711orang, danlukaberat2.925 orang.
”Sebanyak 70% kecelakaan lalu lintas itu dialami pengendara sepeda motor. Ini yang mau kita antisipasi,” sebutnya. Dia menjelaskan, uji coba ini akan berlangsung 1-2 bulan. Dari hasil itu akan dievaluasi sejauh mana efeknya. Jika positif, akan dilanjutkan ke ruas Jalan Sudirman. Dengan demikian, pada 2015 saat pemberlakuan ERP, jalan tersebut tidak lagi dilintasi sepeda motor.
Jalur ERP tidak membolehkan sepeda motor melintas. Mobil yang boleh melintas pun harus memiliki on board unit(OBU). Alat itu sebagai kontrol kendaraan melintas dengan mewajibkan membayar retribusi dengan tarif yang ditetapkan.
”Kami bukan membedakan perlakuan untuk pemilik sepeda motor, tapi demi menata pusat kota. Terutama jalan protokol tidak terlihat semrawut,” katanya. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Restu Mulya Budyanto mengatakan, selama uji coba polisi tidak akan menilang pengguna sepeda motor. Pihaknya akan menyiagakan sejumlah personel di titik. Pengguna sepeda motor yang hendak masuk ke jalur tersebut akan diarahkan ke jalur alternatif.
Ilham safutra/Helmi syarif
(bbg)