Putusan MA atas Kasus TPI Langgar UU
A
A
A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) PT Berkah Karya Bersama atas kasus kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dinilai melanggar undang-undang (UU).
Pasalnya, para pihak yang bersengketa, yakni PT Berkah Karya dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), bersepakat untuk menyelesaikan kasus ini melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pakar hukum arbitrase Humphrey R Djemat mengatakan, suatu kasus yang sedang beperkara di arbitrase tidak boleh diperiksa di pengadilan. Karena itu, menurut dia, MA tidak memiliki kekuatan hukum tetap dalam perkara kasus TPI.
Sebab, keputusan tersebut telah melanggar UU No 30 Tahun 1999. ”Cacat (hukum) karena bertentangan. Kalau dilihat UU No 30/ 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, seharusnya pengadilan menolak perkara yang diajukan jika yang bersangkutan diperiksa BANI,” tandas Humphreykemarin.
Bahkan saat naik banding ataupun kasasi, ujarnya, seharusnya pengadilan juga menolaknya. Dia pun mempertanyakan putusan MA ini di mana kasusnya sedang diarbitrasekan. ”Ini bisa dipertanyakan, bahkan kepada ketua MA. Saya tidak mengerti jika pengadilan kemudian menerima perkara ini bahkan sampai sudah ada putusan. Kemudian naik banding, kasasi menolak. Saya tidak mengerti sampai diputus,” paparnya.
Adapun Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menilai MA tidak berhak mengadili dan memutuskan kasus sengketa kepemilikan saham PT TPI. Sebab, sesuai kesepakatan, kasus ini masih ditangani BANI. Jika MA tetap mengeluarkan putusan harus dipertanyakan alasan pengambilan putusan tersebut.
”Secara hukum itu harus menunggu proses di Badan Arbitrase, tapi ini sudah keluar berarti harus dilihat kenapa perkara ini bisa diputus, sedangkan proses penyelesaian di BANI masih ada?” tandas Aziz Syamsuddin saat dihubungi di Jakarta tadi malam. Dia menilai seharusnya MA menghormati lex specialis para pihak yang memilih penyelesaian hukum melalui BANI.
Seharusnya, lanjut Aziz, MA tidak melangkahi proses hukum yang sedang terjadi di BANI. Karena itu, Aziz mendorong perlunya laporan ke Komisi Yudisial (KY) untuk memperjelas alasan majelis PK tetap melanjutkan perkara hingga diputus. ”Yang pertama saat ini pihak terkait (PT Berkah Karya Bersama) melaporkan ke KY. Mereka (KY) kan tidak mengikuti kasus per kasus, jadi perlu laporan,” ujarnya.
Ketua KY Suparman Marzuki jugaberpendapatsama. Menurut dia, secara aturan hukum seperti yang tercantum dalam UU Arbitrase, normalnya jika para pihak beperkara telah memutuskan berkonsultasi dengan BANI, maka pengadilan tidak bisa mengambil penyelesaian atas perkara tersebut. ”Kalaupun diajukan, pengadilan bisa menolak karena ini kan sengketa private dan para privateitu telah menunjuk mekanisme lewat BANI, maka seharusnya negara jangan masuk,” tandas Suparman.
Lagipula secara hakiki, BANI merupakan lembaga penyelesaian perkara dan bertujuan memberikanruangbagi para pihakbeperkara untuk menyelesaikan sengketa tanpa melibatkan pengadilan. Selama ini, menurut Suparman, memang ada dualisme pendapat atas proses hukum yang melibatkan BANI. Ada hakim yang menerima, namun ada juga yang menolak menyelesaikan melalui BANI. ”Nah, MA seharusnya bisa menyelesaikan dualisme ini untuk menertibkan peradilan,” tandasnya.
Mengenai dugaan adanya kejanggalan dalam putusan ini, Suparman menyatakan tidak ingin menyatakan majelis hakim PK telah melanggar kode etik. ”Kecuali ada laporan baru bisa ditindaklanjuti. Bagaimanapun, asas putusan pengadilan itu dianggap benar. Yang paling penting, MA perlu menertibkan mekanisme penyelesaian. Kalau bukan ranahnya, yatidak usah dulu masuk,” paparnya.
KY pun, lanjutnya, masih menunggu laporan dari pihak yang dirugikan atas putusan ini. Laporan itu diperlukan sebagai dasar untuk menindaklanjuti penyelidikan dugaan kejanggalan hakim perkara ini. Pengacara PT Berkah Karya Bersama Andi F Simangunsong menyatakan, pihaknya belum menerima salinan putusan PK tersebut. Lagipula, menurut dia, putusan MA tersebut bukanlah berkaitan dengan kepemilikan saham.
”Kalau mengenai hak atau kepemilikan saham TPI itu ada di BANI. Jadi, itulah tolok ukur kepemilikan saham. Adapun perkara di PN hingga PK yang dipermasalahkan adalah pencatatan atas saham di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengenai sistem administrasi badan hukum (sisminbakum). Ini bukan kepemilikan, tapi pencatatan atas saham,” ungkap Andi.
Menurut dia, tidak valid membicarakan kepemilikan saham berdasarkan putusan MA. Dalam hal kepemilikan saham, ujarnya, seharusnya menunggu putusan dari BANI. ”Kita akan lihat dulu. Sikap kita sekarang fokus di BANI,” paparnya. Sebelumnya, MA mengukuhkan kemenangan Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut atas kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) terhadap PT Berkah Karya Bersama.
Upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Berkah Karya Bersama ditolak MA. Dalam halaman situs kepaniteraan MA, disebutkan amar putusan menolak pengajuan PK yang diajukan PT Berkah Karya Bersama. Perkara dengan nomor register 238 PK/PDT/2014 diadili Ketua Majelis Hakim M Saleh dengan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan.
Putusan itu diambil majelis PK pada 29 Oktober 2014. Putusan ini dibenarkan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur saat dihubungi KORAN SINDO. Dia menyatakan, pada umumnya jika putusan PK ditolak, kembali pada vonis kasasi yang sudah dijatuhkan. Namun, untuk lebih lengkapnya, Ridwan tidak bisa menjelaskan alasan detail majelis PK menolak permohonan yang diajukan PT Berkah.
”Pada umumnya seperti itu (balik pada putusan kasasi). Tapi kita harus menunggu pertimbangan lengkapnya dari majelis, sedangkan itu masih proses minutasi,” ungkap Ridwan. Sebelumnya MA mengabulkan kasasi yang diajukan Tutut atas kepemilikan saham TPI.
Putusankasasiitudiketukpada 2Oktober 2013 dengan susunan majelis hakim agung Sofyan Sitompul, hakim agung Takdir Rakhmadi, dan hakim agung I Made Tara. Putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) dan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.
Dita angga/Nurul adriyana
Pasalnya, para pihak yang bersengketa, yakni PT Berkah Karya dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), bersepakat untuk menyelesaikan kasus ini melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pakar hukum arbitrase Humphrey R Djemat mengatakan, suatu kasus yang sedang beperkara di arbitrase tidak boleh diperiksa di pengadilan. Karena itu, menurut dia, MA tidak memiliki kekuatan hukum tetap dalam perkara kasus TPI.
Sebab, keputusan tersebut telah melanggar UU No 30 Tahun 1999. ”Cacat (hukum) karena bertentangan. Kalau dilihat UU No 30/ 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, seharusnya pengadilan menolak perkara yang diajukan jika yang bersangkutan diperiksa BANI,” tandas Humphreykemarin.
Bahkan saat naik banding ataupun kasasi, ujarnya, seharusnya pengadilan juga menolaknya. Dia pun mempertanyakan putusan MA ini di mana kasusnya sedang diarbitrasekan. ”Ini bisa dipertanyakan, bahkan kepada ketua MA. Saya tidak mengerti jika pengadilan kemudian menerima perkara ini bahkan sampai sudah ada putusan. Kemudian naik banding, kasasi menolak. Saya tidak mengerti sampai diputus,” paparnya.
Adapun Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menilai MA tidak berhak mengadili dan memutuskan kasus sengketa kepemilikan saham PT TPI. Sebab, sesuai kesepakatan, kasus ini masih ditangani BANI. Jika MA tetap mengeluarkan putusan harus dipertanyakan alasan pengambilan putusan tersebut.
”Secara hukum itu harus menunggu proses di Badan Arbitrase, tapi ini sudah keluar berarti harus dilihat kenapa perkara ini bisa diputus, sedangkan proses penyelesaian di BANI masih ada?” tandas Aziz Syamsuddin saat dihubungi di Jakarta tadi malam. Dia menilai seharusnya MA menghormati lex specialis para pihak yang memilih penyelesaian hukum melalui BANI.
Seharusnya, lanjut Aziz, MA tidak melangkahi proses hukum yang sedang terjadi di BANI. Karena itu, Aziz mendorong perlunya laporan ke Komisi Yudisial (KY) untuk memperjelas alasan majelis PK tetap melanjutkan perkara hingga diputus. ”Yang pertama saat ini pihak terkait (PT Berkah Karya Bersama) melaporkan ke KY. Mereka (KY) kan tidak mengikuti kasus per kasus, jadi perlu laporan,” ujarnya.
Ketua KY Suparman Marzuki jugaberpendapatsama. Menurut dia, secara aturan hukum seperti yang tercantum dalam UU Arbitrase, normalnya jika para pihak beperkara telah memutuskan berkonsultasi dengan BANI, maka pengadilan tidak bisa mengambil penyelesaian atas perkara tersebut. ”Kalaupun diajukan, pengadilan bisa menolak karena ini kan sengketa private dan para privateitu telah menunjuk mekanisme lewat BANI, maka seharusnya negara jangan masuk,” tandas Suparman.
Lagipula secara hakiki, BANI merupakan lembaga penyelesaian perkara dan bertujuan memberikanruangbagi para pihakbeperkara untuk menyelesaikan sengketa tanpa melibatkan pengadilan. Selama ini, menurut Suparman, memang ada dualisme pendapat atas proses hukum yang melibatkan BANI. Ada hakim yang menerima, namun ada juga yang menolak menyelesaikan melalui BANI. ”Nah, MA seharusnya bisa menyelesaikan dualisme ini untuk menertibkan peradilan,” tandasnya.
Mengenai dugaan adanya kejanggalan dalam putusan ini, Suparman menyatakan tidak ingin menyatakan majelis hakim PK telah melanggar kode etik. ”Kecuali ada laporan baru bisa ditindaklanjuti. Bagaimanapun, asas putusan pengadilan itu dianggap benar. Yang paling penting, MA perlu menertibkan mekanisme penyelesaian. Kalau bukan ranahnya, yatidak usah dulu masuk,” paparnya.
KY pun, lanjutnya, masih menunggu laporan dari pihak yang dirugikan atas putusan ini. Laporan itu diperlukan sebagai dasar untuk menindaklanjuti penyelidikan dugaan kejanggalan hakim perkara ini. Pengacara PT Berkah Karya Bersama Andi F Simangunsong menyatakan, pihaknya belum menerima salinan putusan PK tersebut. Lagipula, menurut dia, putusan MA tersebut bukanlah berkaitan dengan kepemilikan saham.
”Kalau mengenai hak atau kepemilikan saham TPI itu ada di BANI. Jadi, itulah tolok ukur kepemilikan saham. Adapun perkara di PN hingga PK yang dipermasalahkan adalah pencatatan atas saham di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengenai sistem administrasi badan hukum (sisminbakum). Ini bukan kepemilikan, tapi pencatatan atas saham,” ungkap Andi.
Menurut dia, tidak valid membicarakan kepemilikan saham berdasarkan putusan MA. Dalam hal kepemilikan saham, ujarnya, seharusnya menunggu putusan dari BANI. ”Kita akan lihat dulu. Sikap kita sekarang fokus di BANI,” paparnya. Sebelumnya, MA mengukuhkan kemenangan Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut atas kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) terhadap PT Berkah Karya Bersama.
Upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Berkah Karya Bersama ditolak MA. Dalam halaman situs kepaniteraan MA, disebutkan amar putusan menolak pengajuan PK yang diajukan PT Berkah Karya Bersama. Perkara dengan nomor register 238 PK/PDT/2014 diadili Ketua Majelis Hakim M Saleh dengan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan.
Putusan itu diambil majelis PK pada 29 Oktober 2014. Putusan ini dibenarkan Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur saat dihubungi KORAN SINDO. Dia menyatakan, pada umumnya jika putusan PK ditolak, kembali pada vonis kasasi yang sudah dijatuhkan. Namun, untuk lebih lengkapnya, Ridwan tidak bisa menjelaskan alasan detail majelis PK menolak permohonan yang diajukan PT Berkah.
”Pada umumnya seperti itu (balik pada putusan kasasi). Tapi kita harus menunggu pertimbangan lengkapnya dari majelis, sedangkan itu masih proses minutasi,” ungkap Ridwan. Sebelumnya MA mengabulkan kasasi yang diajukan Tutut atas kepemilikan saham TPI.
Putusankasasiitudiketukpada 2Oktober 2013 dengan susunan majelis hakim agung Sofyan Sitompul, hakim agung Takdir Rakhmadi, dan hakim agung I Made Tara. Putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) dan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.
Dita angga/Nurul adriyana
(bbg)