Kritik PAN ke Jokowi soal Kartu Sakti
A
A
A
JAKARTA - Partai Amanat Nasional (PAN) mengkritik landasan hukum kartu sakti yang diluncurkan Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Kartu sakti yang dimaksud adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, sejauh ini Jokowi-JK belum memberikan penjelasan tentang landasan hukum yang menjadi acuan dalam pelaksanaan program pembagian KIS, KIP, dan KKS.
"Wajar jika banyak kalangan yang mempertanyakan," kata Saleh kepada Sindonews, Jumat (7/11/2014).
Pasalnya, kata dia, ketiga jenis kartu tersebut menelan biaya yang cukup banyak. "Pemerintahan ini kan hanya mewarisi APBN yang lalu. Artinya, program-program tersebut belum dicantumkan secara eksplisit di dalam APBN. Pertanyaannya, darimana sumber anggaran untuk membiayai program-program itu?" tanya Saleh.
Sejauh ini, lanjut dia, pemerintah mengatakan sumber pembiayaan untuk KIS diambil dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Sementara KIP diambil dari alokasi dana di Kementerian Pendidikan. Lalu ada juga anggaran yang diambil dari corporate social responsibility (CSR) Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Apakah Kementerian Pendidikan memiliki program itu ketika mereka menyusun APBN? Kalau tidak, lalu bagaimana cara pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program tersebut?" tuturnya.
Dia menambahkan, begitu juga dana yang ada pada BPJS dan BUMN. Sebagai badan milik negara, kata dia, kedua lembaga ini semestinya tidak mengeluarkan anggaran tanpa perencanaan yang baik.
"Para direksi dan komisioner yang ada di sana, bertanggung jawab untuk mengelola aset yang ada sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ungkapnya.
Dia menuturkan, boleh saja disebut bahwa pemerintah melakukan realokasi anggaran untuk membiayai ketiga program tersebut.
Masalahnya, kata dia, realokasi anggaran yang dilakukan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.
"Kapan pemerintah mendiskusikan masalah ini dengan DPR? Sepanjang pengetahuan saya, belum ada pembicaraan tentang masalah ini di DPR," tandasnya.
Dalam konteks itu, dia mengatakan, Pemerintah diminta untuk menaati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Menurut dia, Undang-undang tersebut secara eksplisit ditegaskan tentang larangan mengeluarkan anggaran yang tidak sesuai peruntukan.
Untuk menghindari pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut, pemerintah diminta untuk segera membicarakan hal ini dengan DPR.
"Bagaimana pun baiknya program yang dikerjakan, tetap harus tunduk pada aturan perundang-undangan yang berlaku," tuturnya.
Kartu sakti yang dimaksud adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, sejauh ini Jokowi-JK belum memberikan penjelasan tentang landasan hukum yang menjadi acuan dalam pelaksanaan program pembagian KIS, KIP, dan KKS.
"Wajar jika banyak kalangan yang mempertanyakan," kata Saleh kepada Sindonews, Jumat (7/11/2014).
Pasalnya, kata dia, ketiga jenis kartu tersebut menelan biaya yang cukup banyak. "Pemerintahan ini kan hanya mewarisi APBN yang lalu. Artinya, program-program tersebut belum dicantumkan secara eksplisit di dalam APBN. Pertanyaannya, darimana sumber anggaran untuk membiayai program-program itu?" tanya Saleh.
Sejauh ini, lanjut dia, pemerintah mengatakan sumber pembiayaan untuk KIS diambil dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Sementara KIP diambil dari alokasi dana di Kementerian Pendidikan. Lalu ada juga anggaran yang diambil dari corporate social responsibility (CSR) Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Apakah Kementerian Pendidikan memiliki program itu ketika mereka menyusun APBN? Kalau tidak, lalu bagaimana cara pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program tersebut?" tuturnya.
Dia menambahkan, begitu juga dana yang ada pada BPJS dan BUMN. Sebagai badan milik negara, kata dia, kedua lembaga ini semestinya tidak mengeluarkan anggaran tanpa perencanaan yang baik.
"Para direksi dan komisioner yang ada di sana, bertanggung jawab untuk mengelola aset yang ada sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ungkapnya.
Dia menuturkan, boleh saja disebut bahwa pemerintah melakukan realokasi anggaran untuk membiayai ketiga program tersebut.
Masalahnya, kata dia, realokasi anggaran yang dilakukan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.
"Kapan pemerintah mendiskusikan masalah ini dengan DPR? Sepanjang pengetahuan saya, belum ada pembicaraan tentang masalah ini di DPR," tandasnya.
Dalam konteks itu, dia mengatakan, Pemerintah diminta untuk menaati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Menurut dia, Undang-undang tersebut secara eksplisit ditegaskan tentang larangan mengeluarkan anggaran yang tidak sesuai peruntukan.
Untuk menghindari pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut, pemerintah diminta untuk segera membicarakan hal ini dengan DPR.
"Bagaimana pun baiknya program yang dikerjakan, tetap harus tunduk pada aturan perundang-undangan yang berlaku," tuturnya.
(dam)