Dasar Hukum Kartu Sakti Dipertanyakan
A
A
A
JAKARTA - Kontroversi mengenai legalitas program kartu sakti Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus bergulir. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai program bantuan sosial yang diluncurkan Presiden tersebut dipertanyakan dasar hukumnya.
Yusril mengatakan, niat baik Jokowi untuk membantu rakyat miskin karena pemerintah hendak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi memang patut dihargai. “Namun, mengeluarkan suatu kebijakan haruslah jelas dasar hukumnya. Cara mengelola negara tidak sama dengan mengelola rumah tangga atau warung,” kata Yusril kemarin.
Yusril menggunakan perumpamaan rumah tangga atau warung karena dalam pengelolaannya mudah yakni apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Hal yang tentu saja berbeda jika yang dikelola adalah negara. Dalam mengelola negara, kata mantan menteri hukum dan HAM ini, suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya.
“Kalau belum ada, siapkan dulu landasan hukumnya agar kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kebijakan itu berkaitan dengan keuangan negara, Presiden harus bicara dulu dengan DPR,” ungkapnya. Mengapa kebijakan seperti itu harus dikoordinasikan dengan DPR, lanjut Yusril, karena lembaga legislatif memegang hak anggaran.
Dia meminta pemerintah memperhatikan kesepakatan-kesepakatan dengan DPR yang sudah dituangkan dalam UU APBN. Pendapat Yusril ini juga disampaikan melalui akun Twitter-nya @Yusrilihza_Mhd kemarin. Yusril lantas mengkritisi dan meminta Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani agar jangan mengeluarkan pendapat soal dasar hukum kartu sakti kalau tidak memahami persoalannya.
Kritik Yusril terhadap Puan tersebut terkait pernyataannya yang menyebut kebijakan tiga kartu sakti itu akan dibuatkan payung hukum dalam bentuk inpres dan keppres yang akan diteken Presiden Jokowi. “Puan harus tahu bahwa inpres dan keppres itu bukanlah instrumen hukumdalamhierarki peraturan perundang- undangan RI,” kata Yusril.
Yusril menjelaskan, inpres dan keppres memang pernah digunakan pada zaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sebagai instrumen hukum. Kini inpres hanyalah perintah biasa dari presiden dan keppres hanya untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat. Tiga kartu sakti yang diluncurkan Presiden Jokowi pada Senin (03/11) yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Presiden memberikan dana bantuan sosial melalui tiga kartu itu untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM. Selain mengkritisi pernyataan Puan, Yusril juga meminta Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno berhatihati berbicara mengenai sumber dana yang digunakan untuk membiayai kebijakan tiga kartu sakti tersebut. Pratikno, kata Yusril, menyatakan dana tersebut berasal dari dana corporate social responsibility (CSR) BUMN atau bukan dana APBN sehingga tidak perlu dibahas dengan DPR.
“Kekayaan BUMN itu kekayaan yang sudah dipisahkan dari keuangan negara, namun tetap menjadi objek pemeriksaan BPK dan BPKP,” ungkapnya. Karena itu, lanjut dia, jika negara ingin menggunakan dana CSR BUMN untuk pembiayaan pembuatan kartu sakti yang diperkirakan triliunan rupiah, status dana tersebut haruslah jelas, dipinjam negara atau diambil oleh negara.
Dana yang disalurkan melalui tiga kartu sakti adalah kegiatan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM yang akan dilakukan pemerintah. Sedangkan penyaluran dana bantuan sosial melalui tiga kartu sakti, tambah dia, bukanlah kegiatan BUMN dalam pelaksanaan CSR mereka. Pandangan senada disampaikan pakar hukum tata negara Margarito Kamis. Menurut dia, dengan belum jelasnya payung hukum program tersebut, ke depan sangat rentan bermasalah.
“Dibereskan dulu tatanan hukumnya, baru dilanjutkan programnya,” ujarnya kemarin. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku sudah melihat kejanggalan sejak diluncurkan program tersebut. Karena itu sudah diluncurkan, DPR akan mengawasi sejauh mana tiga kartu itu memberikan manfaat untuk masyarakat. Anggota Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka tak mau terpancing dengan upaya yang memolemikkan landasan hukum KIS, KIP, dan KKS.
Kebijakan tersebut perintah konstitusi yang sudah selayaknya dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Menurut dia, asumsi yang memolemikkan program tersebut sudah tidak tepat karena mengaitkannya dengan wacana soal kenaikan harga BBM bersubsidi. Rieke menegaskan, pemberian KIS, KIP, dan KKS bukan kompensasi dari kenaikan BBM oleh pemerintah.
“Kami harus meluruskan beberapa opini yang terjadi bahwa KIS dan KIP itu sebagai kompensasi dari kenaikan BBM. Itu tidak tepat sama sekali,” ucapnya. Rieke mengaku ikut menyusun program tersebut dalam kampanye lalu sehingga mengetahui secara detail bahwa program itu diluncurkan bukan terkait wacana kenaikan harga BBM, melainkan sebagai sebuah kehendak politik yang mengikuti perintah konstitusi.
Rahmat sahid
Yusril mengatakan, niat baik Jokowi untuk membantu rakyat miskin karena pemerintah hendak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi memang patut dihargai. “Namun, mengeluarkan suatu kebijakan haruslah jelas dasar hukumnya. Cara mengelola negara tidak sama dengan mengelola rumah tangga atau warung,” kata Yusril kemarin.
Yusril menggunakan perumpamaan rumah tangga atau warung karena dalam pengelolaannya mudah yakni apa yang terlintas dalam pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Hal yang tentu saja berbeda jika yang dikelola adalah negara. Dalam mengelola negara, kata mantan menteri hukum dan HAM ini, suatu kebijakan harus ada landasan hukumnya.
“Kalau belum ada, siapkan dulu landasan hukumnya agar kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kebijakan itu berkaitan dengan keuangan negara, Presiden harus bicara dulu dengan DPR,” ungkapnya. Mengapa kebijakan seperti itu harus dikoordinasikan dengan DPR, lanjut Yusril, karena lembaga legislatif memegang hak anggaran.
Dia meminta pemerintah memperhatikan kesepakatan-kesepakatan dengan DPR yang sudah dituangkan dalam UU APBN. Pendapat Yusril ini juga disampaikan melalui akun Twitter-nya @Yusrilihza_Mhd kemarin. Yusril lantas mengkritisi dan meminta Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani agar jangan mengeluarkan pendapat soal dasar hukum kartu sakti kalau tidak memahami persoalannya.
Kritik Yusril terhadap Puan tersebut terkait pernyataannya yang menyebut kebijakan tiga kartu sakti itu akan dibuatkan payung hukum dalam bentuk inpres dan keppres yang akan diteken Presiden Jokowi. “Puan harus tahu bahwa inpres dan keppres itu bukanlah instrumen hukumdalamhierarki peraturan perundang- undangan RI,” kata Yusril.
Yusril menjelaskan, inpres dan keppres memang pernah digunakan pada zaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sebagai instrumen hukum. Kini inpres hanyalah perintah biasa dari presiden dan keppres hanya untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat. Tiga kartu sakti yang diluncurkan Presiden Jokowi pada Senin (03/11) yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Presiden memberikan dana bantuan sosial melalui tiga kartu itu untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM. Selain mengkritisi pernyataan Puan, Yusril juga meminta Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno berhatihati berbicara mengenai sumber dana yang digunakan untuk membiayai kebijakan tiga kartu sakti tersebut. Pratikno, kata Yusril, menyatakan dana tersebut berasal dari dana corporate social responsibility (CSR) BUMN atau bukan dana APBN sehingga tidak perlu dibahas dengan DPR.
“Kekayaan BUMN itu kekayaan yang sudah dipisahkan dari keuangan negara, namun tetap menjadi objek pemeriksaan BPK dan BPKP,” ungkapnya. Karena itu, lanjut dia, jika negara ingin menggunakan dana CSR BUMN untuk pembiayaan pembuatan kartu sakti yang diperkirakan triliunan rupiah, status dana tersebut haruslah jelas, dipinjam negara atau diambil oleh negara.
Dana yang disalurkan melalui tiga kartu sakti adalah kegiatan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan BBM yang akan dilakukan pemerintah. Sedangkan penyaluran dana bantuan sosial melalui tiga kartu sakti, tambah dia, bukanlah kegiatan BUMN dalam pelaksanaan CSR mereka. Pandangan senada disampaikan pakar hukum tata negara Margarito Kamis. Menurut dia, dengan belum jelasnya payung hukum program tersebut, ke depan sangat rentan bermasalah.
“Dibereskan dulu tatanan hukumnya, baru dilanjutkan programnya,” ujarnya kemarin. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku sudah melihat kejanggalan sejak diluncurkan program tersebut. Karena itu sudah diluncurkan, DPR akan mengawasi sejauh mana tiga kartu itu memberikan manfaat untuk masyarakat. Anggota Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka tak mau terpancing dengan upaya yang memolemikkan landasan hukum KIS, KIP, dan KKS.
Kebijakan tersebut perintah konstitusi yang sudah selayaknya dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Menurut dia, asumsi yang memolemikkan program tersebut sudah tidak tepat karena mengaitkannya dengan wacana soal kenaikan harga BBM bersubsidi. Rieke menegaskan, pemberian KIS, KIP, dan KKS bukan kompensasi dari kenaikan BBM oleh pemerintah.
“Kami harus meluruskan beberapa opini yang terjadi bahwa KIS dan KIP itu sebagai kompensasi dari kenaikan BBM. Itu tidak tepat sama sekali,” ucapnya. Rieke mengaku ikut menyusun program tersebut dalam kampanye lalu sehingga mengetahui secara detail bahwa program itu diluncurkan bukan terkait wacana kenaikan harga BBM, melainkan sebagai sebuah kehendak politik yang mengikuti perintah konstitusi.
Rahmat sahid
(bbg)