DPR Nilai Kartu Sakti Jokowi Janggal
A
A
A
JAKARTA - Tiga kartu sakti yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin lalu (3/11) memicu polemik. DPR termasuk pihak yang mempersoalkan peluncuran program tersebut karena dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak legislatif.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, untuk membuat kartu dengan jumlah jutaan buah dibutuhkan dana hingga triliunan rupiah. Dengan menggunakan anggaran sebesar itu sudah pasti diperlukan proses tender.
“Peluncuran kartu itu belum dibicarakan ke kami (DPR). Kartu itu kan perlu ditender. Di atas Rp1 miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan. Kan enggak main-main, harus legal sesuai prosedur hukum,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu khawatir iktikad baik yang diinginkan Presiden Jokowi untuk membantu warga miskin dijalankan dengan cara yang salah karena melanggar prosedur yang berlaku.
“Itu penting (legalitas), lebih penting dari iktikad baik. Iktikad baik Jokowi baik, tapi itu bisa disalahgunakan,” ujarnya. Fahri mencontohkan kasus penyelamatan terhadap Bank Century yang menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah. Padahal, awalnya program itu dilakukan dalam rangka untuk menyelamatkan bangsa. “Century dulu dikatakan itu iktikad baik, menyelamatkan bangsa, tapi efeknya orang masuk bui, iktikad baik harus memenuhi (syarat) legal prosedural,” katanya.
Fahri memahami fakta bahwa saat ini ada persoalan yang terjadi antara partai di Koalisi Merah Putih (KMP) dengan partai pendukung pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Namun setidaknya kebijakan tersebut harus didiskusikan dulu antara pemerintah dengan DPR. Dengan begitu DPR akan melihat undang-undang yang berlaku, apakah ada yang terlanggar atas keluarnya kebijakan tersebut.
Tiga kartu sakti yang diluncurkan Jokowi adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Program bantuan untuk masyarakat miskin ini diluncurkan sebagai langkah antisipasi menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang direncanakan bulan ini.
Diketahui, dari ketiga kartu sakti tersebut, yang paling memicu kontroversi adalah KIS yang pembiayaannya menggunakan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Anggaran untuk KIS sebesar Rp20 triliun dinilai melanggar Undang-Undang (UU) BPJS karena dalam regulasi tersebut BPJS adalah pengelola yang tidak mengenal KIS, melainkan hanya jaminan sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan pemerintah harus mendapat persetujuan dari DPR bila ingin membuat dasar hukum bagi program jaminan sosial baru serupa BPJS yang diberi nama KIS tersebut.
“Kalau mau dibuat undangundang tentang KIS, harus dengan persetujuan DPR. Tinggal bagaimana nanti. Apakah Undang- Undang BPJS dicabut dulu lalu membuat undang-undang baru atau bagaimana,” kata Dede Yusuf kemarin. Dede mengatakan saat ini sudah ada UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur JKN dan UU Nomor 24/ 2011 tentang BPJS. Selama undang-undang yang sudah ada itu belum dicabut atau direvisi, KIS diasumsikan sebagai produk dari BPJS dengan penyempurnaan.
“Semua program pemerintah harus ada ‘cantelan’ hukumnya yang disepakati bersama DPR. Saat ini sudah ada Undang- Undang BPJS, maka itu yang kita terima,” tutur politikus Partai Demokrat tersebut. Karena itu, untuk mendapatkan informasi detail mengenai KIS, Komisi IX DPR berencana mengundang Menteri Kesehatan Nila F Moeloek untuk rapat dengar pendapat pada hari ini.
Bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), apa yang dilakukan Presiden dengan menerbitkan kartu sakti merupakan langkah tepat. Apalagi itu memang janji kampanye Jokowi saat pilpres. “Kalau itu saya sependapat. Untuk menangani masyarakat miskin perlu KIP, KIS, dan kartu- kartu yang serupa dengan program itu,” ujar Ketua DPP PDIP Effendi Simbolon kemarin.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan pembiayaan KIS, KIP, dan KKS menggunakan dana tanggung jawab sosial (CSR) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR.
"Satu itu kansudah jalan dan itu juga kan bantuan dari berbagaipihak. ItuCSRdanlain-lain, iyaCSRdari BUMN. Tidak masuk APBN. Jadi enggak usah ribut-ribut dulu, kita fokus ini," katanya di Makassar tadi malam. Dia mengatakan, sampai saat ini pemerintah tengah mengonsolidasi berbagai dana yang ada. Namun, ke depan, program kesejahteraan tersebut akan dimasukkan ke dalam APBN 2015.
Kemenkes Klaim KIS Punya Dasar Hukum
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengklaim program KIS memiliki dasar hukum sehingga dapat diterapkan di seluruh Indonesia.
“Ada undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, yaitu UU Nomor 40/2004 tentang SJSN dan UU BPJS,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kemenkes Usman Sumantri saat mendampingi Menkes Nila F Moeloek dalam jumpa pers di Kantor Kemenkes kemarin. Menurut dia, khusus program KIS itu terpayungi oleh UU BPJS.
“Jadi ada UU BPJS yang mengamanatkan agar ada badan yang menyelenggarakan jaminan kesehatan. UU ini mengamanatkan satu hal bahwa masyarakat Indonesia yang tidak mampu itu ditanggung oleh negara,” ujarnya. Senada, Menkes Nila Moeloek mengatakan KIS tidak mengubah fungsi kartu lain seperti Askes, Jamkesmas, dan BPJS Kesehatan. Dia menegaskan KIS memberi tambahan manfaat dari program sebelumnya.
“KIS memberikan tambahan manfaat, layanan preventif, promotif, dan deteksi dini yang akan dilaksanakan secara lebih intensif dan terintegrasi,” kata dia. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan program kartu sakti memang belum memiliki payung hukum. “Sedang dalam proses. Yang pasti semua prosedur dan mekanisme sudah kita lakukan,” kata Puan.
Menurut Puan, payung hukum untuk KIS, KIP, dan KKS dapat berbentuk instruksi presiden (inpres) atau keputusan presiden (keppres). Di sisi lain, pencetus ide BPJS Emir Soendoro menilai apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan meluncurkan KIS disebabkan ketidakpahaman mengenai SJSN dan BPJS.
“Di lingkaran Presiden juga sepertinya tidak ada orangorang yang memahami dan mengerti tentang BPJS yang memberikan masukan,” tuturnya. Emir juga menilai bahwa Presiden Jokowi meluncurkan KIS karena semata-mata ingin memiliki program yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
Padahal, kata Emir, pemerintahan sebelumnya pun telah melaksanakan BPJS yang berbeda dengan konsep awalnya.
Kiswondari/ant
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, untuk membuat kartu dengan jumlah jutaan buah dibutuhkan dana hingga triliunan rupiah. Dengan menggunakan anggaran sebesar itu sudah pasti diperlukan proses tender.
“Peluncuran kartu itu belum dibicarakan ke kami (DPR). Kartu itu kan perlu ditender. Di atas Rp1 miliar saja harus ditender, apalagi yang triliunan. Kan enggak main-main, harus legal sesuai prosedur hukum,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu khawatir iktikad baik yang diinginkan Presiden Jokowi untuk membantu warga miskin dijalankan dengan cara yang salah karena melanggar prosedur yang berlaku.
“Itu penting (legalitas), lebih penting dari iktikad baik. Iktikad baik Jokowi baik, tapi itu bisa disalahgunakan,” ujarnya. Fahri mencontohkan kasus penyelamatan terhadap Bank Century yang menyebabkan kerugian negara triliunan rupiah. Padahal, awalnya program itu dilakukan dalam rangka untuk menyelamatkan bangsa. “Century dulu dikatakan itu iktikad baik, menyelamatkan bangsa, tapi efeknya orang masuk bui, iktikad baik harus memenuhi (syarat) legal prosedural,” katanya.
Fahri memahami fakta bahwa saat ini ada persoalan yang terjadi antara partai di Koalisi Merah Putih (KMP) dengan partai pendukung pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Namun setidaknya kebijakan tersebut harus didiskusikan dulu antara pemerintah dengan DPR. Dengan begitu DPR akan melihat undang-undang yang berlaku, apakah ada yang terlanggar atas keluarnya kebijakan tersebut.
Tiga kartu sakti yang diluncurkan Jokowi adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Program bantuan untuk masyarakat miskin ini diluncurkan sebagai langkah antisipasi menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang direncanakan bulan ini.
Diketahui, dari ketiga kartu sakti tersebut, yang paling memicu kontroversi adalah KIS yang pembiayaannya menggunakan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Anggaran untuk KIS sebesar Rp20 triliun dinilai melanggar Undang-Undang (UU) BPJS karena dalam regulasi tersebut BPJS adalah pengelola yang tidak mengenal KIS, melainkan hanya jaminan sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan pemerintah harus mendapat persetujuan dari DPR bila ingin membuat dasar hukum bagi program jaminan sosial baru serupa BPJS yang diberi nama KIS tersebut.
“Kalau mau dibuat undangundang tentang KIS, harus dengan persetujuan DPR. Tinggal bagaimana nanti. Apakah Undang- Undang BPJS dicabut dulu lalu membuat undang-undang baru atau bagaimana,” kata Dede Yusuf kemarin. Dede mengatakan saat ini sudah ada UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur JKN dan UU Nomor 24/ 2011 tentang BPJS. Selama undang-undang yang sudah ada itu belum dicabut atau direvisi, KIS diasumsikan sebagai produk dari BPJS dengan penyempurnaan.
“Semua program pemerintah harus ada ‘cantelan’ hukumnya yang disepakati bersama DPR. Saat ini sudah ada Undang- Undang BPJS, maka itu yang kita terima,” tutur politikus Partai Demokrat tersebut. Karena itu, untuk mendapatkan informasi detail mengenai KIS, Komisi IX DPR berencana mengundang Menteri Kesehatan Nila F Moeloek untuk rapat dengar pendapat pada hari ini.
Bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), apa yang dilakukan Presiden dengan menerbitkan kartu sakti merupakan langkah tepat. Apalagi itu memang janji kampanye Jokowi saat pilpres. “Kalau itu saya sependapat. Untuk menangani masyarakat miskin perlu KIP, KIS, dan kartu- kartu yang serupa dengan program itu,” ujar Ketua DPP PDIP Effendi Simbolon kemarin.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan pembiayaan KIS, KIP, dan KKS menggunakan dana tanggung jawab sosial (CSR) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR.
"Satu itu kansudah jalan dan itu juga kan bantuan dari berbagaipihak. ItuCSRdanlain-lain, iyaCSRdari BUMN. Tidak masuk APBN. Jadi enggak usah ribut-ribut dulu, kita fokus ini," katanya di Makassar tadi malam. Dia mengatakan, sampai saat ini pemerintah tengah mengonsolidasi berbagai dana yang ada. Namun, ke depan, program kesejahteraan tersebut akan dimasukkan ke dalam APBN 2015.
Kemenkes Klaim KIS Punya Dasar Hukum
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengklaim program KIS memiliki dasar hukum sehingga dapat diterapkan di seluruh Indonesia.
“Ada undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, yaitu UU Nomor 40/2004 tentang SJSN dan UU BPJS,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kemenkes Usman Sumantri saat mendampingi Menkes Nila F Moeloek dalam jumpa pers di Kantor Kemenkes kemarin. Menurut dia, khusus program KIS itu terpayungi oleh UU BPJS.
“Jadi ada UU BPJS yang mengamanatkan agar ada badan yang menyelenggarakan jaminan kesehatan. UU ini mengamanatkan satu hal bahwa masyarakat Indonesia yang tidak mampu itu ditanggung oleh negara,” ujarnya. Senada, Menkes Nila Moeloek mengatakan KIS tidak mengubah fungsi kartu lain seperti Askes, Jamkesmas, dan BPJS Kesehatan. Dia menegaskan KIS memberi tambahan manfaat dari program sebelumnya.
“KIS memberikan tambahan manfaat, layanan preventif, promotif, dan deteksi dini yang akan dilaksanakan secara lebih intensif dan terintegrasi,” kata dia. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan program kartu sakti memang belum memiliki payung hukum. “Sedang dalam proses. Yang pasti semua prosedur dan mekanisme sudah kita lakukan,” kata Puan.
Menurut Puan, payung hukum untuk KIS, KIP, dan KKS dapat berbentuk instruksi presiden (inpres) atau keputusan presiden (keppres). Di sisi lain, pencetus ide BPJS Emir Soendoro menilai apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan meluncurkan KIS disebabkan ketidakpahaman mengenai SJSN dan BPJS.
“Di lingkaran Presiden juga sepertinya tidak ada orangorang yang memahami dan mengerti tentang BPJS yang memberikan masukan,” tuturnya. Emir juga menilai bahwa Presiden Jokowi meluncurkan KIS karena semata-mata ingin memiliki program yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
Padahal, kata Emir, pemerintahan sebelumnya pun telah melaksanakan BPJS yang berbeda dengan konsep awalnya.
Kiswondari/ant
(ars)