Uni Eropa Tak Akui Pemilu Tandingan

Selasa, 04 November 2014 - 19:48 WIB
Uni Eropa Tak Akui Pemilu Tandingan
Uni Eropa Tak Akui Pemilu Tandingan
A A A
DONETSK - Uni Eropa (UE) menolak mengakui hasil pemilihan umum parlemen dan presiden yang digelar pemberontak pro-Rusia di wilayah Ukraina timur yang digelar pada Minggu (21) waktu setempat.

“Pemilu parlemen dan presiden di Ukraina timur itu ilegal dan tidak memiliki legitimasi. UE tidak akan mengakuinya,” tegas Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini, dikutip Reuters , kemarin. UE juga mengecam langkah Rusia yang memberikan dukungan penuh bagi kemenangan pemberontak pro-Rusia pada pemilu tandingan tersebut. Dukungan Moskow dianggap UE sebagai penghambat terwujudnya perdamaian di Ukraina.

Sikap Moskow juga memperkeruh ketegangan diplomatik antara Rusia dan UE serta Amerika Serikat (AS). Negaranegara Barat diperkirakan akan memperberat sanksi yang diberikan kepada Kremlin. Tudingan bahwa Moskow memperkeruh situasi menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. “Kita menghormati ekspresi keinginan penduduk Ukraina,” demikian keterangan Kementerian Luar Negeri Rusia, dikutip AFP.

Negara-negara Barat tetap meragukan hasil pemilu di Ukraina timur. Apalagi, pengamat internasional yang terlibat dalam pengawasan pemilu sangat sedikit. Hanya politisi sayap kanan dari Eropa yang mengklaim memonitor pemilu di zona konflik. “Di situasi yang sulit, sangat penting untuk menggelar pemilu yang transparan dan demokratis. Itu akan merefleksikan keinginan rakyat,” kata Jean-Luc Schaffhauser, anggota parlemen Eropa dari Front Nasional, Prancis.

Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier menyerukan agar Rusia menghormati persatuan Ukraina. Hal senada juga diungkapkan Presiden Ukraina Petro Poroshenko. Dia mengkritik pemilu sepihak yang digelar pemberontak. “Pemilu itu digelar di tengah ancaman tank dan senjata,” tuturnya. Dia juga berharap, Rusia tidak akan mengakui pemilu di Donetsk dan Luhansk karena merupakan bentuk pelanggaran Protokol Minsk yang disepakati di Belarusia. Protokol Minsk mengatur gencatan senjata selama dua bulan antara Pasukan Ukraina dan pemberontak.

Pemberontak di Ukraina timur yang memenangkan pemilu tandingan pada Minggu lalu membuat mereka enggan berkompromi. Mereka memilih tetap merdeka dan melepaskan diri dari kekuasaan Kiev. “Ukraina tidak menginginkan perdamaian. Mereka ingin memainkan permainan ganda,” kata Perdana Menteri (PM) terpilih Republik Rakyat Donetsk Alexander Zakharchenko kepada para jurnalis. Zakharchenko mendapatkan 81% suara pada pemilu di Donetsk. Sedangkan, dua pesaingnya hanya mendapatkan 9% suara.

Di Luhansk, wilayah Ukraina timur yang juga dikuasai pemberontak, pemilu parlemen dimenangkan Igor Plotnitsky. Dia merupakan pemberontak dan mantan tentara Uni Soviet yang meraih dukungan 63% suara. Sebelumnya, pada Minggu (26/10) lalu, Pemerintah Ukraina juga menggelar pemilu parlemen yang dimenangkan partai pro-Barat.

Partai koalisi dari blok Presiden Ukraina Petro Poroshenko dan PM Arseny Yatseniuk meraih masing-masing lebih 21% suara. Namun, pemilu itu tidak digelar di Ukraina timur karena dikuasai pemberontak. Kievmembiarkanbeberapakursi perwakilan dari wilayah Ukraina timur tetap kosong sebagai bentuk pengakuan wilayah itu tetap masuk dalam teritorial Ukraina.

Sementara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memandang pemilu pemberontak itu menjadikan posisi pemerintah ukraina semakin sulit. Padahal, lebih dari 4.000 orang meninggal dunia dalam konflik yang berlangsung sejak April lalu. Pada Minggu (21) lalu Kiev mengonfirmasi tiga tentaranya tewas dan tujuh lainnya terluka. Padahal sehari sebelumnya, tujuh tentaranya juga tewas serta enam lainnya terluka.

Militer Ukraina mendeteksi adanya pergerakan pasukan dan peralatan tempur dari wilayah Rusia. Penempatan mereka akan memicu ketegangan lebih luas. Seperti dilaporkan jurnalis AFP , ada sekitar 20 kendaraan tempur, termasuk peralatan senjata anti-pesawat.

Badan Keamanan Ukraina menyatakan sedang melakukan investigasi kriminal terhadap pelaksanaan pemilu di Ukraina timur yang disebut sebagai “perampasan kekuasaan”. Pemilu tanpa kontrol dan pengaruh dari Kiev dianggap sebagai pemberontakan.

Namun, para penduduk di wilayah yang dikuasai pemberontak mengungkapkan keinginan mereka adalah perdamaian dan berakhirnya pertempuran. “Saya berharap suara kita akan mengu bah sesuatu. Mungkin kita akhirnya mendapatkan pengakuan sebagai negara yang merdeka,” kata Tatyana, 65, saat memberikan suaranya di sekolah di Donetsk.

Valery, 50, penduduk Donetsk, juga mengungkapkan keinginannya untuk hidup normal. “Sungguh sangat khawatir ketika keluargamu hidup di tengah berbagai aksi pengeboman,” ujarnya.

Andika hendra m
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7641 seconds (0.1#10.140)