Menata Permukiman di Ibu Kota
A
A
A
DEPOK - Pertumbuhan ekonomi di Indonesia berdampak pada peningkatan arus urbanisasi. Pada 2030 diprediksi lebih dari 80% masyarakat Indonesia akan tinggal di perkotaan, salah satunya DKI Jakarta.
Menurut data UN World Urbanization Prospects 2010, Indonesia memiliki pertumbuhan populasi dan perkotaan tercepat dibandingkan kota lain di Asia. Saat ini Jakarta menjadi kota metropolitan yang dihuni lebih dari 10 juta penduduk.
Tingkat urbanisasi yang tinggi memperburuk berbagai permasalahan yang dihadapi Jakarta, seperti isu tata ruang, limbah, penurunan permukaan tanah, persediaan air bersih, serta perumahan.
Mengatasi masalah permukiman, tim peneliti dari Indonesia-Swiss membuat penelitian rancangan kota dan arsitektur. Proyek ini mengenali adanya karakter tidak tetap dalam pembentukan permukiman hingga muncullah konsep Kota Tropis. Konsep ini berpusat pada unit tambahan bernama Rumah Tambah (Rubah).
Rubah merupakan rumah tambahan dari bangunan dasar yang sudah ada. Rubah mendorong pemadatan bangunan vertikal hingga empat lantai dalam skala lingkungan, desa dan kota. Strategi perencanaan yang lebih luas menyertakan infrastruktur ruang publik, lanskap produktif, pengolahan air limbah, produksi energi matahari, dan penadahan air hujan. Konsep Kota Tropis yang berpusat pada Rubah ini cocok direalisasikan di kawasan pinggiran Jakarta.
Konsep Kota Tropis ini merupakan hasil kajian dari tim peneliti Indonesia dan Swiss melalui lembaga penelitian Singapore-ETH Centre. ETH Zurich merupakan salah satu universitas terbaik di dunia dalam bidang riset dan teknologi. ETH Zurich adalah rekan utama dari Kedutaan Besar Swiss dengan kantor perwakilan di Singapura.
“Kami sangat senang dapat memperkenalkan beberapa riset yang telah dirampungkan Singapore-ETH Centre dengan Indonesia sebagai fokusnya. Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia, juga menjadi rekan penting dalam penyelenggaraan seminar ini,” kata Duta Besar Swiss untuk Indonesia, Yvonne Baumann, saat seminar Future City Jakarta di Perpustakaan Pusat UI, Depok, kemarin.
Kota Tropis merupakan kawasan hunian yang didesain sesuai dengan kebiasaan masyarakat di suatu tempat. Artinya, masyarakat tidak dipaksa untuk berubah secara sosial. Secara fisik, Kota Tropis ini merupakan kawasan yang ramah lingkungan. Di dalam satu kawasan hunian dilengkapi dengan sumur resapan, taman dengan pohon bambu sebagai tanaman utama, serta sistem pengelolaan air limbah dan air hujan yang bisa digunakan kembali untuk kebutuhan sehari-hari (MCK).
Jadi nantinya permukiman ini terdiri atas rumah yang bahan materialnya local content , untuk dindingnya dari bambu. Bambu ini diambil dari taman yang ada di sekitar kawasan hunian. Untuk teknisnya, bangunan diperkuat pada fondasi dasar sehingga ketika akan dilakukan penambahan (Rubah) vertikal kekuatan awal sudah ada. “Untuk penambahan di lantai atas, tiang pemancangnya terbuat dari plat konstruksi baja yang bisa dibongkar pasang,” kata Asisten Researcher Singapore- ETH Centre, Abdul Said Ahtar.
Luas satu lantai sekitar 36 meter persegi. Untuk dinding rumah terbuat dari bambu. Di sekitar permukiman akan ditanam pohon bambu. Tiap satu hektare akan ditanam satu strip tanaman bambu. “Sehingga warga pemukiman bisa mengambil bambu untuk bangun rumah,” ujarnya. Selain itu, setiap rumah dilengkapi dengan pipa penampung air. Daya tampung air mencapai 2.000 liter. Air itu nantinya diproses agar bisa menghasilkan air bersih untuk keperluan sehari-hari. “Airnya bisa digunakan untuk mencuci namun tidak untuk dikonsumsi,” jelasnya.
Kawasan resapan untuk menampung air hujan juga dibangun di dekat area publik. Kawasan resapan berfungsi menampung air hujan sehingga bisa mengurangi risiko banjir. “Air hujan bisa ditampung di sana dan tidak tumpah ke tanah sehingga bisa meminimalisasi banjir hingga 70%,” tambahnya.
Tak hanya itu, konsep Rubah Kota Tropis juga dilengkapi dengan septic tank komunal. Tujuannya meminimalisasi pencemaran air. Scientific Director Singapore ETH Centre Stephen Cairns menambahkan, dengan konsep Kota Tropis, bukan hanya air yang bisa dikendalikan. Sampah bisa ditangani dengan infrastruktur yang ada. Konsep Kota Tropis ini, lanjutnya, bukan hanya untuk daerah pinggir Sungai Ciliwung, namun juga bisa diterapkan di semua wilayah di Indonesia.
Pihaknya mengaku sejauh ini belum ada pembicaraan lebih lanjut akan diterapkan di mana konsep Kota Tropis ini. “Tapi menurut kami ini bisa sebagai pilot project di daerah pinggir Bekasi dan Tangerang. Permukiman ini bisa menggantikan rumah sangat sederhana,” ujarnya.
Dosen arsitektur UI Herlily menuturkan, konsep Kota Tropis ini diambil dari kehidupan nyata masyarakat di perkampungan. Dengan konsep ini, mereka tidak merasa adanya perubahan pola hidup secara sosial. Namun secara ekonomi, tingkat kesejahteraan bertambah, yaitu dari memiliki rumah satu lantai bisa menjadi dua hingga empat lantai. “Ini diambil dari habbit orang di kampung. Konsep ini bisa diterapkan di pinggiran Jakarta. Saya lebih melihat dari sisi bagaimana tempat hunian di perkotaan yang berkaitan dengan lingkungan daur ulang mulai dari lahir hingga akhir,” jelasnya.
R Ratna purnama
Menurut data UN World Urbanization Prospects 2010, Indonesia memiliki pertumbuhan populasi dan perkotaan tercepat dibandingkan kota lain di Asia. Saat ini Jakarta menjadi kota metropolitan yang dihuni lebih dari 10 juta penduduk.
Tingkat urbanisasi yang tinggi memperburuk berbagai permasalahan yang dihadapi Jakarta, seperti isu tata ruang, limbah, penurunan permukaan tanah, persediaan air bersih, serta perumahan.
Mengatasi masalah permukiman, tim peneliti dari Indonesia-Swiss membuat penelitian rancangan kota dan arsitektur. Proyek ini mengenali adanya karakter tidak tetap dalam pembentukan permukiman hingga muncullah konsep Kota Tropis. Konsep ini berpusat pada unit tambahan bernama Rumah Tambah (Rubah).
Rubah merupakan rumah tambahan dari bangunan dasar yang sudah ada. Rubah mendorong pemadatan bangunan vertikal hingga empat lantai dalam skala lingkungan, desa dan kota. Strategi perencanaan yang lebih luas menyertakan infrastruktur ruang publik, lanskap produktif, pengolahan air limbah, produksi energi matahari, dan penadahan air hujan. Konsep Kota Tropis yang berpusat pada Rubah ini cocok direalisasikan di kawasan pinggiran Jakarta.
Konsep Kota Tropis ini merupakan hasil kajian dari tim peneliti Indonesia dan Swiss melalui lembaga penelitian Singapore-ETH Centre. ETH Zurich merupakan salah satu universitas terbaik di dunia dalam bidang riset dan teknologi. ETH Zurich adalah rekan utama dari Kedutaan Besar Swiss dengan kantor perwakilan di Singapura.
“Kami sangat senang dapat memperkenalkan beberapa riset yang telah dirampungkan Singapore-ETH Centre dengan Indonesia sebagai fokusnya. Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia, juga menjadi rekan penting dalam penyelenggaraan seminar ini,” kata Duta Besar Swiss untuk Indonesia, Yvonne Baumann, saat seminar Future City Jakarta di Perpustakaan Pusat UI, Depok, kemarin.
Kota Tropis merupakan kawasan hunian yang didesain sesuai dengan kebiasaan masyarakat di suatu tempat. Artinya, masyarakat tidak dipaksa untuk berubah secara sosial. Secara fisik, Kota Tropis ini merupakan kawasan yang ramah lingkungan. Di dalam satu kawasan hunian dilengkapi dengan sumur resapan, taman dengan pohon bambu sebagai tanaman utama, serta sistem pengelolaan air limbah dan air hujan yang bisa digunakan kembali untuk kebutuhan sehari-hari (MCK).
Jadi nantinya permukiman ini terdiri atas rumah yang bahan materialnya local content , untuk dindingnya dari bambu. Bambu ini diambil dari taman yang ada di sekitar kawasan hunian. Untuk teknisnya, bangunan diperkuat pada fondasi dasar sehingga ketika akan dilakukan penambahan (Rubah) vertikal kekuatan awal sudah ada. “Untuk penambahan di lantai atas, tiang pemancangnya terbuat dari plat konstruksi baja yang bisa dibongkar pasang,” kata Asisten Researcher Singapore- ETH Centre, Abdul Said Ahtar.
Luas satu lantai sekitar 36 meter persegi. Untuk dinding rumah terbuat dari bambu. Di sekitar permukiman akan ditanam pohon bambu. Tiap satu hektare akan ditanam satu strip tanaman bambu. “Sehingga warga pemukiman bisa mengambil bambu untuk bangun rumah,” ujarnya. Selain itu, setiap rumah dilengkapi dengan pipa penampung air. Daya tampung air mencapai 2.000 liter. Air itu nantinya diproses agar bisa menghasilkan air bersih untuk keperluan sehari-hari. “Airnya bisa digunakan untuk mencuci namun tidak untuk dikonsumsi,” jelasnya.
Kawasan resapan untuk menampung air hujan juga dibangun di dekat area publik. Kawasan resapan berfungsi menampung air hujan sehingga bisa mengurangi risiko banjir. “Air hujan bisa ditampung di sana dan tidak tumpah ke tanah sehingga bisa meminimalisasi banjir hingga 70%,” tambahnya.
Tak hanya itu, konsep Rubah Kota Tropis juga dilengkapi dengan septic tank komunal. Tujuannya meminimalisasi pencemaran air. Scientific Director Singapore ETH Centre Stephen Cairns menambahkan, dengan konsep Kota Tropis, bukan hanya air yang bisa dikendalikan. Sampah bisa ditangani dengan infrastruktur yang ada. Konsep Kota Tropis ini, lanjutnya, bukan hanya untuk daerah pinggir Sungai Ciliwung, namun juga bisa diterapkan di semua wilayah di Indonesia.
Pihaknya mengaku sejauh ini belum ada pembicaraan lebih lanjut akan diterapkan di mana konsep Kota Tropis ini. “Tapi menurut kami ini bisa sebagai pilot project di daerah pinggir Bekasi dan Tangerang. Permukiman ini bisa menggantikan rumah sangat sederhana,” ujarnya.
Dosen arsitektur UI Herlily menuturkan, konsep Kota Tropis ini diambil dari kehidupan nyata masyarakat di perkampungan. Dengan konsep ini, mereka tidak merasa adanya perubahan pola hidup secara sosial. Namun secara ekonomi, tingkat kesejahteraan bertambah, yaitu dari memiliki rumah satu lantai bisa menjadi dua hingga empat lantai. “Ini diambil dari habbit orang di kampung. Konsep ini bisa diterapkan di pinggiran Jakarta. Saya lebih melihat dari sisi bagaimana tempat hunian di perkotaan yang berkaitan dengan lingkungan daur ulang mulai dari lahir hingga akhir,” jelasnya.
R Ratna purnama
(bbg)