Jaksa Agung Jangan dari Parpol
A
A
A
JAKARTA - Banyak kriteria jaksa agung yang akhir-akhir ini disuarakan beberapa elemen masyarakat. Salah satunya adalah harapan bahwa jaksa agung yang dipilih presiden nantinya tidak berasal dari partai politik (parpol).
Mantan jaksa Chaerul Imam mengatakan, jika jaksa agung berasal dari parpol maka dapat dipastikan memiliki konflik kepentingan. Dia sendiri pernah memiliki pengalaman dipimpin oleh orang yang berasal dari parpol.
“Pernah kita memperoleh jaksa agung dari orang parpol. Akhirnya kasus-kasus terkait parpolnya di SP3 (surat perintah penghentian penyidikan),” tandas Chaerul saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Polemik Calon Jaksa Agung asal Parpol” di Warung Daun, Cikini, Jakarta, kemarin. Menurut dia, jaksa agung memang memiliki kewenangan untuk menerbitkan SP3. Bahkan, ujarnya, ada seorang jaksa agung yang mengeluarkan 13 SP3 dalam waktu dua tahun.
“Ini jangan sampai terjadi lagi. SP3 memang jalur hukum tapi harus dikeluarkan hati-hati. SP3 juga bisa dibuka kembali,” paparnya. Sekalipun orang parpol tersebut mantan jaksa, ujarnya, namun tetap dikhawatirkan rentan dengan konflik kepentingan. Meski memang mengenal dan paham kejaksaan secara organisasional, dikhawatirkan akan muncul intervensi. “Intervensi politik ini caranya macammacam yakni intervensi jabatan, uang, wanita. Apa pun bisa dilakukan,” tandasnya.
Chaerul mengatakan, untuk mencapai kinerja kejaksaan yang maksimal, sudah seharusnya meminimalisasi intervensi perkara. Dia mengungkapkan, banyak mantan jaksa yang tergabung di partai saat ini. “Lagi pula kalau bisa jangan pensiunan yang dipilih, sekalipun tidak ikut parpol. Kalau bisa, yang masih segar dan jangan yang terlibat korupsi. Masih banyak jaksa lainnya yang baik,” ungkapnya.
Menurut Chaerul, ada hal yang tidak pas dalam pemilihan jaksa agung selama ini sebab pemilihan jaksa agung tidak berbeda dengan pemilihan menteri. Padahal, ujarnya, kerjanya berbeda dengan menteri, misalnya menteri kesehatan itu terkait politik kesehatan. Kemudian, politik hukum ditentukan menkumham (menteri hukum dan hak asasi manusia).
“Kalau kejaksaan ini lain, tidak untuk politik hukum tapi penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang, sampai eksekusi. Dari sini kerja jaksa agung dengan menteri jelas berbeda,” paparnya. Selain itu, gerak langkah setiap menteri adalah politis. Di mana, pada tataran teknis diurus setiap dirjen. Sedangkan jaksa agung lebih pada hal-hal teknis.
“Misal menteri pertanian yang mengeluarkan kebijakan swasembada beras. Tapi yang milih beras jenis apa itu adalah dirjen,” ujarnya. Atas dasar teknis itulah, Chaerul menghendaki agar jaksa agung nantinya berasal dari internal Korps Adhyaksa tersebut. Menurut dia, karena kejaksaan merupakan teknis, jadi jaksa agung harus mengetahui anatomi kejaksaan dan anatomi penegakan hukum.
“Kalau Presiden Jokowi (Joko Widodo) ingin lancar dalam bekerja, maka orang dalam saja. Pernah kejaksaan setelah reformasi ada jaksa agung tidak mengerti KUHAP,” katanya. Jaksa agung juga dituntut mengerti anatomi penegakan dan seluk beluk penegakan hukum. Dari pengumpulan data, bahan keterangan, penyelidikan, penyidikan, hingga eksekusi. Jaksa agung yang berasal dari internal dinilai memiliki pengetahuan yang baik terkait kultur di kejaksaan. Karena itu, ungkap Chaerul, akan sulit bagi jaksa agung yang tidak memahami budaya dalam institusi tersebut.
“Kalau tidak akan payah. Bagaimana menunjuk kepala kejari di Tanjung Pinang, padahal beda kejari di Banyumas. Kami pernah dapat jaksa agung yang membiarkan belasan kejati kosong. Ini hendaknya kita hindari,” ujarnya. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar mengatakan, sebagai institusi yang ada di ranah yudisial, haram hukumnya jika jaksa agung berasal dari parpol. Menurut dia, jika jaksa agung dari parpol maka dapat dipastikan akan sulit menjadi objektif.
“Parpol sudah jelas ujungnya kekuasaan. Normalnya kekuasaan untuk kesejahteraan, tapi kecenderungannya untuk konflik kepentingan besar,” katanya. Namun, menurut Abdul, jaksa agung tidak harus berasal dari internal. Jaksa agung yang berasal dari eksternal justru dirasa lebih mumpuni. Sebab dalam ranah teknis, penegakan hukum itu harus dilakukan oleh penegak hukum. Padahal, penegak hukum ada tiga yaitu hakim, pengacara, dan jaksa.
“Saya tidak ingin mengangkat pengacara, tapi dia paling lintas sektoral yakni mengikuti semua proses penegakan hukum. Pengetahuan hukum lebih bisalah. Tapi pengacara juga harus yang berintegritas,” paparnya. Menurut dia, untuk mengawal institusi kejaksaan bukan hanya dari dalam sistem, melainkan juga harus dari luar sistem. Jika hanya berasal dari dalam sistem atau internal saja maka tetap akan ada spirit of the corp.
“Kalau sama-sama jaksa maka masih akan mikir-mikir. Lain kalau dari luar, maka penegakan disiplin akan baik. Tetapi harus juga berkomitmen, selama jadi praktisi hukum juga track record-nya baik,” ungkapnya. Direktur Advokasi YLBHI Bahrain mengatakan, sebagai salah satu penegak hukum yang jangkauannya luas, memang tidak seharusnya jaksa agung berasal dari parpol. Menurut dia, jika jaksa agung dari parpol maka minimal yang dilakukan nantinya adalah melindungi partainya.
Selain itu, jaksa agung juga harus dapat mengembalikan marwah kejaksaan sehingga nantinya tidak diperlukan lagi lembaga ad hoc untuk membantu penegakan hukum. “Kalau jaksa agung berani dalam memberantas korupsi dan kejahatan lainnya atau yang kita anggap berbahaya, maka KPK bisa dibubarkan, sebab kejaksaan sudah bisa optimal dalam menjaga kedaulatan negara,” ujarnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Tedjo Edy Purdijatno mengungkapkan bahwa calon jaksa agung sudah mengerucut menjadi tiga atau empat nama. “Sebetulnya sudah mengerucut, tapi pastinya saya belum tahu. Jadi tunggu saja. Kurang lebih ada 3 sampai 4 nama calon,” kata Tedjo, Sabtu (1/11). Mantan KSAL ini mengatakan saat ini posisi calon jaksa agung masih dipertimbangkan Presiden Jokowi.
Menurut dia, Presiden Jokowi tidak ingin terburu-buru menentukan sosok yang akan menduduki posisi jaksa agung. Tedjo menilai posisi jaksa agung haruslah dilihat dari beberapa faktor. Misalnya dari faktor penegakan hukum, kemudian kecerdasan dalam melaksanakan penegakan hukum. “Ini yang menjadi sangat penting sekali dan independennya tetap harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto mengaku Presiden Jokowi sudah mempertimbangkan lima nama calon jaksa agung. Dari kelima calon itu, tiga orang berasal dari luar Kejaksaan Agung dan dua lagi dari internal. “Dari eksternal misalnya Hamid Awaluddin, Muhammad Yusuf, dan Mas Achmad Santosa,” ungkapnya. Hamid merupakan mantan menteri hukum dan hak asasi manusia.
M Yusuf saat ini menjabat kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sedangkan Mas Achmad merupakan mantan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dari internal Kejaksaan Agung, dua nama yang digadang-gadangkan adalah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono dan Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto. ● dita angga
Mantan jaksa Chaerul Imam mengatakan, jika jaksa agung berasal dari parpol maka dapat dipastikan memiliki konflik kepentingan. Dia sendiri pernah memiliki pengalaman dipimpin oleh orang yang berasal dari parpol.
“Pernah kita memperoleh jaksa agung dari orang parpol. Akhirnya kasus-kasus terkait parpolnya di SP3 (surat perintah penghentian penyidikan),” tandas Chaerul saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Polemik Calon Jaksa Agung asal Parpol” di Warung Daun, Cikini, Jakarta, kemarin. Menurut dia, jaksa agung memang memiliki kewenangan untuk menerbitkan SP3. Bahkan, ujarnya, ada seorang jaksa agung yang mengeluarkan 13 SP3 dalam waktu dua tahun.
“Ini jangan sampai terjadi lagi. SP3 memang jalur hukum tapi harus dikeluarkan hati-hati. SP3 juga bisa dibuka kembali,” paparnya. Sekalipun orang parpol tersebut mantan jaksa, ujarnya, namun tetap dikhawatirkan rentan dengan konflik kepentingan. Meski memang mengenal dan paham kejaksaan secara organisasional, dikhawatirkan akan muncul intervensi. “Intervensi politik ini caranya macammacam yakni intervensi jabatan, uang, wanita. Apa pun bisa dilakukan,” tandasnya.
Chaerul mengatakan, untuk mencapai kinerja kejaksaan yang maksimal, sudah seharusnya meminimalisasi intervensi perkara. Dia mengungkapkan, banyak mantan jaksa yang tergabung di partai saat ini. “Lagi pula kalau bisa jangan pensiunan yang dipilih, sekalipun tidak ikut parpol. Kalau bisa, yang masih segar dan jangan yang terlibat korupsi. Masih banyak jaksa lainnya yang baik,” ungkapnya.
Menurut Chaerul, ada hal yang tidak pas dalam pemilihan jaksa agung selama ini sebab pemilihan jaksa agung tidak berbeda dengan pemilihan menteri. Padahal, ujarnya, kerjanya berbeda dengan menteri, misalnya menteri kesehatan itu terkait politik kesehatan. Kemudian, politik hukum ditentukan menkumham (menteri hukum dan hak asasi manusia).
“Kalau kejaksaan ini lain, tidak untuk politik hukum tapi penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang, sampai eksekusi. Dari sini kerja jaksa agung dengan menteri jelas berbeda,” paparnya. Selain itu, gerak langkah setiap menteri adalah politis. Di mana, pada tataran teknis diurus setiap dirjen. Sedangkan jaksa agung lebih pada hal-hal teknis.
“Misal menteri pertanian yang mengeluarkan kebijakan swasembada beras. Tapi yang milih beras jenis apa itu adalah dirjen,” ujarnya. Atas dasar teknis itulah, Chaerul menghendaki agar jaksa agung nantinya berasal dari internal Korps Adhyaksa tersebut. Menurut dia, karena kejaksaan merupakan teknis, jadi jaksa agung harus mengetahui anatomi kejaksaan dan anatomi penegakan hukum.
“Kalau Presiden Jokowi (Joko Widodo) ingin lancar dalam bekerja, maka orang dalam saja. Pernah kejaksaan setelah reformasi ada jaksa agung tidak mengerti KUHAP,” katanya. Jaksa agung juga dituntut mengerti anatomi penegakan dan seluk beluk penegakan hukum. Dari pengumpulan data, bahan keterangan, penyelidikan, penyidikan, hingga eksekusi. Jaksa agung yang berasal dari internal dinilai memiliki pengetahuan yang baik terkait kultur di kejaksaan. Karena itu, ungkap Chaerul, akan sulit bagi jaksa agung yang tidak memahami budaya dalam institusi tersebut.
“Kalau tidak akan payah. Bagaimana menunjuk kepala kejari di Tanjung Pinang, padahal beda kejari di Banyumas. Kami pernah dapat jaksa agung yang membiarkan belasan kejati kosong. Ini hendaknya kita hindari,” ujarnya. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar mengatakan, sebagai institusi yang ada di ranah yudisial, haram hukumnya jika jaksa agung berasal dari parpol. Menurut dia, jika jaksa agung dari parpol maka dapat dipastikan akan sulit menjadi objektif.
“Parpol sudah jelas ujungnya kekuasaan. Normalnya kekuasaan untuk kesejahteraan, tapi kecenderungannya untuk konflik kepentingan besar,” katanya. Namun, menurut Abdul, jaksa agung tidak harus berasal dari internal. Jaksa agung yang berasal dari eksternal justru dirasa lebih mumpuni. Sebab dalam ranah teknis, penegakan hukum itu harus dilakukan oleh penegak hukum. Padahal, penegak hukum ada tiga yaitu hakim, pengacara, dan jaksa.
“Saya tidak ingin mengangkat pengacara, tapi dia paling lintas sektoral yakni mengikuti semua proses penegakan hukum. Pengetahuan hukum lebih bisalah. Tapi pengacara juga harus yang berintegritas,” paparnya. Menurut dia, untuk mengawal institusi kejaksaan bukan hanya dari dalam sistem, melainkan juga harus dari luar sistem. Jika hanya berasal dari dalam sistem atau internal saja maka tetap akan ada spirit of the corp.
“Kalau sama-sama jaksa maka masih akan mikir-mikir. Lain kalau dari luar, maka penegakan disiplin akan baik. Tetapi harus juga berkomitmen, selama jadi praktisi hukum juga track record-nya baik,” ungkapnya. Direktur Advokasi YLBHI Bahrain mengatakan, sebagai salah satu penegak hukum yang jangkauannya luas, memang tidak seharusnya jaksa agung berasal dari parpol. Menurut dia, jika jaksa agung dari parpol maka minimal yang dilakukan nantinya adalah melindungi partainya.
Selain itu, jaksa agung juga harus dapat mengembalikan marwah kejaksaan sehingga nantinya tidak diperlukan lagi lembaga ad hoc untuk membantu penegakan hukum. “Kalau jaksa agung berani dalam memberantas korupsi dan kejahatan lainnya atau yang kita anggap berbahaya, maka KPK bisa dibubarkan, sebab kejaksaan sudah bisa optimal dalam menjaga kedaulatan negara,” ujarnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Tedjo Edy Purdijatno mengungkapkan bahwa calon jaksa agung sudah mengerucut menjadi tiga atau empat nama. “Sebetulnya sudah mengerucut, tapi pastinya saya belum tahu. Jadi tunggu saja. Kurang lebih ada 3 sampai 4 nama calon,” kata Tedjo, Sabtu (1/11). Mantan KSAL ini mengatakan saat ini posisi calon jaksa agung masih dipertimbangkan Presiden Jokowi.
Menurut dia, Presiden Jokowi tidak ingin terburu-buru menentukan sosok yang akan menduduki posisi jaksa agung. Tedjo menilai posisi jaksa agung haruslah dilihat dari beberapa faktor. Misalnya dari faktor penegakan hukum, kemudian kecerdasan dalam melaksanakan penegakan hukum. “Ini yang menjadi sangat penting sekali dan independennya tetap harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto mengaku Presiden Jokowi sudah mempertimbangkan lima nama calon jaksa agung. Dari kelima calon itu, tiga orang berasal dari luar Kejaksaan Agung dan dua lagi dari internal. “Dari eksternal misalnya Hamid Awaluddin, Muhammad Yusuf, dan Mas Achmad Santosa,” ungkapnya. Hamid merupakan mantan menteri hukum dan hak asasi manusia.
M Yusuf saat ini menjabat kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sedangkan Mas Achmad merupakan mantan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dari internal Kejaksaan Agung, dua nama yang digadang-gadangkan adalah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono dan Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto. ● dita angga
(ars)