Hidup di Pengungsian, Terpaksa Bekerja Seperti Budak
A
A
A
Ketika dunia dihebohkan dengan kekejaman yang dilakukan gerilyawan Negara Islam Irak Suriah (ISIS), mereka sepertinya lupa siapa sebenarnya yang paling menderita akibat aksi para militan tersebut.
Penduduk dunia tak melihat ada 200.000 anak Suriah yang kini bekerja sebagai budak di Lebanon. Mereka membutuhkan bantuan pendidikan dan pangan, bukan senjata. Abdullah, bocah lelaki berusia 11 tahun, tak sengaja menelan sebuah paku berkarat di lokasi konstruksi. Dia bukan tak sengaja menelan paku karena sedang bermain, melainkan karena sedang bekerja.
Abdullah tinggal bersama keluarganya di sebuah tenda di Tel Ferhoun bersama ratusan pengungsi Suriah lain yang tinggal di Lebanon. Abdullah tidak memberi tahu orang tuanya ketika dia tidak sengaja menelan paku. Tepat sebelum akhir pekan kemarin bocah malang itu akhirnya mengembuskan napas terakhir karena tetanus. Abdullah adalah satu dari 200.000 anak Suriah yang mengungsi dan bekerja di Lebanon. Anak-anak yang ratarata berusia lima tahun ini bekerja di ladang kentang dan kacang atau memetik buah ara di Lembah Bekaa.
Banyak dari mereka dipukuli dengan tongkat pada saat jam kerja mereka 12-14 jam sehari. Situasi yang membuat mereka lebih terlihat seperti budak daripada tenaga kerja. Para ibu mereka hanya bisa menangis karena mereka memang membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Para ayah dari anak-anak tersebut kebanyakan sudah tiada karena pembantaian yang dilakukan ISIS. Pengungsi Suriah, terutama anak-anak, kini menghadapi masa depan tanpa harapan. Masa kecil mereka habiskan dengan kisah-kisah buruk dan tidur di kamp-kamp paling kotor di Lebanon dengan pendidikan sangat rendah.
Setiap kamp menjalankan sistem kerja bagai setan lantaran dipenuhi pengawas korup. Mereka hanya memberi upah anakanak sebesar 0,9 poundsterling per hari. Jumlah ini sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga yang harus menyewa lampu tenda sebesar 6 poundsterling per bulan serta televisi portabel dan kebutuhan lain sebesar 6 poundsterling . Generasi masa depan Suriah kini tumbuh menjadi generasi putus asa yang merasa cukup dengan hanya bekerja sebagai buruh di ladang.
Seluruh dunia menutup mata terhadap kondisi mereka. Banyak media memalingkan wajah dari kabar buruk ini. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Beyond, bekerja sama dengan Unicef dan Organisasi Buruh Internasional (ILO), tergerak untuk memberikan kepedulian terhadap anak-anak Suriah. Ketua Beyond Maria Assi sudah meminta dunia untuk lebih peduli dan turut serta membangun kembali jiwa ceria anak-anak yang sudah mulai hilang.
”Pendidikan adalah prioritas pertama bagi anak-anak pengungsi Suriah. Sekolah adalah hal yang paling mereka inginkan. Anda dapat melihat kotakota hancur, tetapi Anda tidak dapat memiliki satu generasi hancur. Anda perlu anak-anak terdidik untuk membangun sebuah generasi,” seru Assi dilansir the Independent .
RINI AGUSTINA
Penduduk dunia tak melihat ada 200.000 anak Suriah yang kini bekerja sebagai budak di Lebanon. Mereka membutuhkan bantuan pendidikan dan pangan, bukan senjata. Abdullah, bocah lelaki berusia 11 tahun, tak sengaja menelan sebuah paku berkarat di lokasi konstruksi. Dia bukan tak sengaja menelan paku karena sedang bermain, melainkan karena sedang bekerja.
Abdullah tinggal bersama keluarganya di sebuah tenda di Tel Ferhoun bersama ratusan pengungsi Suriah lain yang tinggal di Lebanon. Abdullah tidak memberi tahu orang tuanya ketika dia tidak sengaja menelan paku. Tepat sebelum akhir pekan kemarin bocah malang itu akhirnya mengembuskan napas terakhir karena tetanus. Abdullah adalah satu dari 200.000 anak Suriah yang mengungsi dan bekerja di Lebanon. Anak-anak yang ratarata berusia lima tahun ini bekerja di ladang kentang dan kacang atau memetik buah ara di Lembah Bekaa.
Banyak dari mereka dipukuli dengan tongkat pada saat jam kerja mereka 12-14 jam sehari. Situasi yang membuat mereka lebih terlihat seperti budak daripada tenaga kerja. Para ibu mereka hanya bisa menangis karena mereka memang membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Para ayah dari anak-anak tersebut kebanyakan sudah tiada karena pembantaian yang dilakukan ISIS. Pengungsi Suriah, terutama anak-anak, kini menghadapi masa depan tanpa harapan. Masa kecil mereka habiskan dengan kisah-kisah buruk dan tidur di kamp-kamp paling kotor di Lebanon dengan pendidikan sangat rendah.
Setiap kamp menjalankan sistem kerja bagai setan lantaran dipenuhi pengawas korup. Mereka hanya memberi upah anakanak sebesar 0,9 poundsterling per hari. Jumlah ini sangat tidak mencukupi kebutuhan keluarga yang harus menyewa lampu tenda sebesar 6 poundsterling per bulan serta televisi portabel dan kebutuhan lain sebesar 6 poundsterling . Generasi masa depan Suriah kini tumbuh menjadi generasi putus asa yang merasa cukup dengan hanya bekerja sebagai buruh di ladang.
Seluruh dunia menutup mata terhadap kondisi mereka. Banyak media memalingkan wajah dari kabar buruk ini. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Beyond, bekerja sama dengan Unicef dan Organisasi Buruh Internasional (ILO), tergerak untuk memberikan kepedulian terhadap anak-anak Suriah. Ketua Beyond Maria Assi sudah meminta dunia untuk lebih peduli dan turut serta membangun kembali jiwa ceria anak-anak yang sudah mulai hilang.
”Pendidikan adalah prioritas pertama bagi anak-anak pengungsi Suriah. Sekolah adalah hal yang paling mereka inginkan. Anda dapat melihat kotakota hancur, tetapi Anda tidak dapat memiliki satu generasi hancur. Anda perlu anak-anak terdidik untuk membangun sebuah generasi,” seru Assi dilansir the Independent .
RINI AGUSTINA
(ars)