Seni Tak Membebani

Minggu, 26 Oktober 2014 - 16:24 WIB
Seni Tak Membebani
Seni Tak Membebani
A A A
Visinya hanya satu dalam setiap pameran. Baik itu pameran bersama maupun tunggal. Pameran itu harus mudah dicerna. Pameran itu harus mudah dimengerti dan tidak memberi beban baru kepada pengunjungnya.

Pada usia yang telah melebihi setengah abad Nasikin Setiono tetap konsisten pada visinya. Melalui pameran yang digelar sejak 17 Oktober dan berakhir hari ini, semua pesan kesederhanaan, apa adanya, memang tercurah di setiap lukisannya.

Sekitar 36 lukisan yang digantung di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, itu memang memberikan beberapa pesan yang senada. Siapa pun pengunjung yang datang menikmati pameran, tak perlu repot mengernyitkan dahi atau mengelus-elus dagu saat mengamati lukisan sang seniman.

Lukisan beraliran figuratif ini memang tak ubahnya seperti melihat sebuah foto. Semua begitu jelas, bersih, kinclong, dan tecermin apa adanya. Semua bentuk pun mudah dikenali, tanpa harus bersusah-payah menebak- nebak atau menerka-nerka.

Warna yang digunakan pun penuh warna cerah dan hidup. Menampilkan kesan kehidupan yang penuh cerita dan penuh warna serta menggoda mata untuk segera melihatnya.

Lelaki 72 tahun ini memang ingin tidak ada sekat pada lukisannya. Dia tidak ingin lukisannya hanya bisa dinikmati segelintir orang, tapi semua orang. Mulaidari anakkecilhinggapara orang tua. “Untuk apa membebani pengunjung untuk terus mencari pesan dari setiap lukisan kita. Menurut saya hidup itu sudah sangat susah. Jadi, lebih baik tidak membebani lagi dengan seni yang seharusnya bisa dinikmati,” ungkapnya.

Ini adalah pameran tunggalnya yang ketiga dengan aliran yang sama. Nasikin menemukan keteduhan dan ketenangan jiwa melalui aliran yang dipilihnya. Dia memang konsisten dengan pilihan jiwanya ini. Mulai dari pameran tunggal perdananya pada 1965 yang dilakukan di Belanda. Lalu pameran kedua pada 2007 silam di Jakarta, juga masih larut dalam aliran yang sama. Begitu juga dengan sederet pameran bersama yang dilakukannya sejak 1966.

Kali ini, pada pameran tunggalnya ketiga, hampir semua lukisan yang digoreskan Nasikin didominasi oleh cerita di sekitar kita. Kehidupan yang kerap terjadi di depan mata, tapi sering terabaikan. Di antaranya tema-tema seperti kehidupan penari, pasar, wanita berdandan, kehidupan binatang, para nelayan, dan tema lain. Nasikin memang mengambil tema yang condong dengan kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Mengapa? Nasikin melihat kehidupan masyarakat ini penuh dengan nilai artistik dan idealisme.

Adegan-adegan kehidupan inilah yang diangkat melalui beragam judul karya. Misalkan lukisan Yang Pernah Ada. Lukisan ini mengisahkan tentang kehidupan dua tukang becak yang tengah bersantai di dalam becak miliknya. Lukisan ini menyinggung tentang profesi tukang becak yang dulu pernah ada di Jakarta, tapi sudah lama menghilang tergerus waktu dan peraturan. Kini tinggal kenangan.

Kehidupan jual beli dalam lukisan judul Pasar Burungmenggambarkan banyaknya anak muda hingga orang tua berkumpul demi satu keasyikan tersendiri, yakni memelihara burung. Mereka terlihat memegang burung di dalam sangkar. Betapa ramainya pasar burung ini.

Pada lukisan lain keramaian aktivitas jual beli juga ikut ditampilkan. Seperti pasar ikan yang tertuang dalam Fisherman Market. Atau para penjual kain yang tumpah ruah menawarkan kain-kain batik dagangannya (Pilih Kain Batik). Begitu pula penjual jamu gendong yang sibuk melayani para tukang becak yang membeli jamunya. Lukisan ini berjudul khas, menggunakan bahasa Jawa, Tombo Teko Loro Lungo, atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi obat datang penyakit pergi.

Beralih ke kehidupan lainnya: kehidupan seni. Ada lukisan berjudul Dua Penari Bali, Dua Penari Jaipong, Kecak Dance, Barong Sakti, dan lainnya.

Satu tema yang juga tersaji cukup unik, yakni tema sejarah, ada pada lukisan berjudul KM 39, Depok Tempo Dulu. Lukisan yang dibuat tahun 2006 ini mengisahkan tentang awal-awal kehidupan di Depok. Orang Belanda, China, dan pribumi berkumpul menjadi satu. Di belakangnya, alam Depok begitu indah nan asri. Gunung-gunung menjulang tinggi beserta pohon-pohon hijau yang juga tak kalah tinggi. Rumah-rumah tempo dulu pun tertata apik dan penuh nilai sejarah.

Menurut Nasikin, ada satu lukisan yang menjadi masterpiece dalam pamerannya, Penari Bondan. Tampak seorang perempuan penari duduk dengan anggun beralaskan tanah. Figur perempuan ini memegang wadah yang berisikan kembang berbagai rupa. Selendang pun melilit lengannya. Di belakangnya, tampak beberapa payung warna-warni sebagai aksesori tariannya.

Apa yang mengilhami Nasikin sehingga menjadikan lukisan ini menjadi masterpiece? Lulusan Akademi Seni Rupa ASRI Yogyakarta ini pun menjawab dengan lugas. Dia menyukai sikap elegan yang ditampilkan figur wanita ini. Awalnya, figur wanita ini memang diambil dari kehidupan nyata. “Saya melihat seorang wanita duduk dengan sikap elegan. Lalu saya menggunakan kuas di atas kanvas dan mulai berimajinasi dengan gambaran awal itu. Saya tambah dengan bunga dan pernak-pernik menari, dan jadilah seorang penari,” urainya.

Susi susanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1076 seconds (0.1#10.140)