Tersandung Kasus Century, Resistensi Sri Mulyani Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Nama Sri Mulyani disebut-sebut masuk dalam bursa calon menteri di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, nama tersebut dinilai cukup resisten bagi publik.
Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Donni Edwin mengatakan, selama ini Sri Mulyani dicap publik pro neoliberal. Selain itu, imej atau opini publik atas namanya juga sempat dikaitkan dengan kasus bailout Bank Century.
"Sri Mulyani resistensinya karena dianggap pendukung gagasan neolib dan kasus Century, lebih banyak pada opini publik yang dibangun selama ini di kasus Century yang juga masih berlangsung," tegasnya saat berbincang di Kampus FISIP UI, Depok, Kamis (23/10/2014).
Menurutnya, resistensi paling besar terutama ada pada kelas menengah ke atas dimana mereka umumnya lebih terdidik. "Opini
masyarakat kelas menengah seperti itu," ungkapnya.
Namun di satu sisi, keputusan Sri Mulyani mundur dari kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu bukan menjadi satu ganjalan. Budaya mundur di Indonesia, kata dia, justru dianggap sebagai sikap positif.
"Budaya mundur dan tidak mundur apakah negatif dan positif, tapi bagi sebagian orang mundur itu positif, bisa tingkatkan citra. Memang dulu di zaman Orde Baru mundur itu sebagai hukuman. Tetapi saat ini justru kalau mundur kan berarti ksatria, seperti Karen (mantan Dirut Pertamina) justru dianggap sebagai pahlawan," paparnya.
Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Donni Edwin mengatakan, selama ini Sri Mulyani dicap publik pro neoliberal. Selain itu, imej atau opini publik atas namanya juga sempat dikaitkan dengan kasus bailout Bank Century.
"Sri Mulyani resistensinya karena dianggap pendukung gagasan neolib dan kasus Century, lebih banyak pada opini publik yang dibangun selama ini di kasus Century yang juga masih berlangsung," tegasnya saat berbincang di Kampus FISIP UI, Depok, Kamis (23/10/2014).
Menurutnya, resistensi paling besar terutama ada pada kelas menengah ke atas dimana mereka umumnya lebih terdidik. "Opini
masyarakat kelas menengah seperti itu," ungkapnya.
Namun di satu sisi, keputusan Sri Mulyani mundur dari kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu bukan menjadi satu ganjalan. Budaya mundur di Indonesia, kata dia, justru dianggap sebagai sikap positif.
"Budaya mundur dan tidak mundur apakah negatif dan positif, tapi bagi sebagian orang mundur itu positif, bisa tingkatkan citra. Memang dulu di zaman Orde Baru mundur itu sebagai hukuman. Tetapi saat ini justru kalau mundur kan berarti ksatria, seperti Karen (mantan Dirut Pertamina) justru dianggap sebagai pahlawan," paparnya.
(kri)