Rachmawati Dukung KPK Periksa Megawati
A
A
A
JAKARTA - Rachmawati Soekarnoputri mendukung rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memanggil mantan Presiden Megawati Soekarnoputri terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
Mengenakan pakaian serba hitam, perempuan berambut pendek ini mendorong KPK supaya tidak tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi, termasuk pengusutan kasus BLBI.
"Enggak apa-apa, jangan tebang pilih," kata Rachmawati di kediamannya, di Jalan Jati Padang, Jakarta Selatan (Jaksel), Rabu (6/8/2014).
Jika KPK memproses secara adil dalam penuntasan kasus yang diduga merugikan negara hingga triliunan rupiah itu, Rachmawati berkeyanan, KPK sebagai lemabaga penegak hukum akan dipuji oleh masyarakat. "Silakan proses yang betul, proses dong, rakyat akan salut dengan KPK," tukasnya.
Seperti diketahui, Ketua KPK Abraham Samad menegaskan, tidak akan ragu memanggil mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam penyelidikan kasus BLBI.
"Kita sudah panggil JK (Jusuf Kalla), panggil Boediono di kasus lain, apalagi Mega, dia kan sudah mantan (Presiden)," kata Abraham di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 11 Juli 2014.
Pendiri LSM Anti Coruption Committe (ACC) Makassar ini menegaskan, setelah Lebaran Idul Fitri akan segera menggelar ekspose atau gelar perkara dari kasus tersebut.
"Habis Lebaran ekspose. Karena (penyelidikan) sudah lama, tadi saya panggil penyelidiknya untuk bilang itu," tukasnya.
Diketahui, SKL BLBI pertama kali dikeluarkan saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri sesuai Inpres Nomor 8/2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10.
Sebelumnya, dalam kasus yang sama Kejaksaan Agung SKL sudah mengeluarka Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap sejumlah debitor. Padahal beberapa konglomerat besar sudah menerima SKL, sekaligus release and discharge dari pemerintah.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI sebesar Rp144,5 triliun yang sudah dikucurkan ke 48 bank umum nasional, negara dirugikan sebesar Rp138,4 triliun.
Sementara, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan terdapat penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP bahkan menyimpulkan Rp53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
Mengenakan pakaian serba hitam, perempuan berambut pendek ini mendorong KPK supaya tidak tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi, termasuk pengusutan kasus BLBI.
"Enggak apa-apa, jangan tebang pilih," kata Rachmawati di kediamannya, di Jalan Jati Padang, Jakarta Selatan (Jaksel), Rabu (6/8/2014).
Jika KPK memproses secara adil dalam penuntasan kasus yang diduga merugikan negara hingga triliunan rupiah itu, Rachmawati berkeyanan, KPK sebagai lemabaga penegak hukum akan dipuji oleh masyarakat. "Silakan proses yang betul, proses dong, rakyat akan salut dengan KPK," tukasnya.
Seperti diketahui, Ketua KPK Abraham Samad menegaskan, tidak akan ragu memanggil mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam penyelidikan kasus BLBI.
"Kita sudah panggil JK (Jusuf Kalla), panggil Boediono di kasus lain, apalagi Mega, dia kan sudah mantan (Presiden)," kata Abraham di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 11 Juli 2014.
Pendiri LSM Anti Coruption Committe (ACC) Makassar ini menegaskan, setelah Lebaran Idul Fitri akan segera menggelar ekspose atau gelar perkara dari kasus tersebut.
"Habis Lebaran ekspose. Karena (penyelidikan) sudah lama, tadi saya panggil penyelidiknya untuk bilang itu," tukasnya.
Diketahui, SKL BLBI pertama kali dikeluarkan saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri sesuai Inpres Nomor 8/2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10.
Sebelumnya, dalam kasus yang sama Kejaksaan Agung SKL sudah mengeluarka Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap sejumlah debitor. Padahal beberapa konglomerat besar sudah menerima SKL, sekaligus release and discharge dari pemerintah.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI sebesar Rp144,5 triliun yang sudah dikucurkan ke 48 bank umum nasional, negara dirugikan sebesar Rp138,4 triliun.
Sementara, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan terdapat penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP bahkan menyimpulkan Rp53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
(maf)