Chusnul Mariyah Nilai KPU Tidak Peka
A
A
A
JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Chusnul Mariyah menilai para pimpinan KPU tidak peka dalam menilai sebuah persoalan yang muncul pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014.
Menurut dia, saat salah satu pasangan capres menyampaikan pidatonya, KPU seharusnya melakukan skorsing atau berhenti sementara untuk melakukan rapat anggota KPU terbatas.
"Karena ini urusannya keamanan negara. Kalau ada salah satu pasangan capres protes harus diakomodasi," ujarnya, Selasa 22 Juli 2014.
Chusnul juga memertanyakan alasan KPU yang bersikeras mengumumkan hasil rekapitulasi suara pada 22 Juli. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 mengenai Pilpres, pengumuman bisa dilakukan 30 hari setelah pencoblosan. Bahkan, pada UUD 45 batas akhir pengumuman sampai sehari sebelum 20 Oktober.
"Kalau saya sebaiknya menggunakan batas konstitusi, kenapa terkesan memaksakan sekali. Kalau peraturan KPU bisa diubah,"tuturnya.
Menurut dia, tidak mudah menjadi komisioner KPU. Dibutuhkan leadership dari petugas KPU terhadap masalah bangsa. Prinsipnya KPU harus bebas dan adil.
Dia menilai persoalan ini muncul karena ketidakadilan yang ditengarai dilakukan secara terstruktur. "KPU seharusnya menunda pengumuman karena masih banyak kecurangan, jika ada penggelembungan harus diverifikasi bersama Bawaslu karena penyalahgunaannya sudah sistematis bersama Bawaslu," katanya.
Dia menambahkan, KPU sebaiknya meminta pendapat atau berkonsultasi dengan Presiden SBY dan Komisi II DPR RI untuk mencari solusi dari kebuntuan politik ini. Keduanya bisa memberikan masukan apa yang dirugikan jika dilakukan pemilu ulang atau penghitungan ulang. "Lebih baik proses ditunda dulu sebentar tapi legitimasi kemenangan diakui," ucapnya.
Menurut dia, dampak lebih jauh yakni, DPR tidak mau merestui dan melantik capres terpilih sebab akan berpengaruh terhadap legalitas presiden. "Jadi sebaiknya KPU menunda kemudian bersama-sama Bawaslu mendengarkan tuntutan dari capres tersebut dan melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di tempat-tempat yang diindikasikan ada kecurangan," tuturnya.
Prabowo-Hatta menyatakan menolak hasil pilpres karena menilai cacat hukum. Menurut Prabowo, pihaknya menemukan banyak kecurangan pada pelaksanaan pilpres.
"Telah terjadi kecurangan yang masif, struktur dan sistematis," kata Prabowo di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta, Selasa 22 Juli 2014.
Dia pun menegaskan pihaknya menarik diri proses rekapitulasi suara oleh KPU. Dia menegaskan tidak rela mengorbankan mandat yang diberikan rakyat diselewengkan.
"Kami siap menang dan kalah dengan cara demokratis dan terhormat. Kepada rakyat Indonesia yang memilih kami, kami minta tenang. Yakinlah kami tidak akan diam membiarkan hak demokrasi kita diciderai dan dirampas," tutur Prabowo.
Menurut dia, saat salah satu pasangan capres menyampaikan pidatonya, KPU seharusnya melakukan skorsing atau berhenti sementara untuk melakukan rapat anggota KPU terbatas.
"Karena ini urusannya keamanan negara. Kalau ada salah satu pasangan capres protes harus diakomodasi," ujarnya, Selasa 22 Juli 2014.
Chusnul juga memertanyakan alasan KPU yang bersikeras mengumumkan hasil rekapitulasi suara pada 22 Juli. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 mengenai Pilpres, pengumuman bisa dilakukan 30 hari setelah pencoblosan. Bahkan, pada UUD 45 batas akhir pengumuman sampai sehari sebelum 20 Oktober.
"Kalau saya sebaiknya menggunakan batas konstitusi, kenapa terkesan memaksakan sekali. Kalau peraturan KPU bisa diubah,"tuturnya.
Menurut dia, tidak mudah menjadi komisioner KPU. Dibutuhkan leadership dari petugas KPU terhadap masalah bangsa. Prinsipnya KPU harus bebas dan adil.
Dia menilai persoalan ini muncul karena ketidakadilan yang ditengarai dilakukan secara terstruktur. "KPU seharusnya menunda pengumuman karena masih banyak kecurangan, jika ada penggelembungan harus diverifikasi bersama Bawaslu karena penyalahgunaannya sudah sistematis bersama Bawaslu," katanya.
Dia menambahkan, KPU sebaiknya meminta pendapat atau berkonsultasi dengan Presiden SBY dan Komisi II DPR RI untuk mencari solusi dari kebuntuan politik ini. Keduanya bisa memberikan masukan apa yang dirugikan jika dilakukan pemilu ulang atau penghitungan ulang. "Lebih baik proses ditunda dulu sebentar tapi legitimasi kemenangan diakui," ucapnya.
Menurut dia, dampak lebih jauh yakni, DPR tidak mau merestui dan melantik capres terpilih sebab akan berpengaruh terhadap legalitas presiden. "Jadi sebaiknya KPU menunda kemudian bersama-sama Bawaslu mendengarkan tuntutan dari capres tersebut dan melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di tempat-tempat yang diindikasikan ada kecurangan," tuturnya.
Prabowo-Hatta menyatakan menolak hasil pilpres karena menilai cacat hukum. Menurut Prabowo, pihaknya menemukan banyak kecurangan pada pelaksanaan pilpres.
"Telah terjadi kecurangan yang masif, struktur dan sistematis," kata Prabowo di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta, Selasa 22 Juli 2014.
Dia pun menegaskan pihaknya menarik diri proses rekapitulasi suara oleh KPU. Dia menegaskan tidak rela mengorbankan mandat yang diberikan rakyat diselewengkan.
"Kami siap menang dan kalah dengan cara demokratis dan terhormat. Kepada rakyat Indonesia yang memilih kami, kami minta tenang. Yakinlah kami tidak akan diam membiarkan hak demokrasi kita diciderai dan dirampas," tutur Prabowo.
(dam)