Program BPJS enggak laku di Indonesia Timur
A
A
A
Sindonews.com - Kesiapan rumah sakit (RS) swasta untuk bergabung dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) masih terkendala berbagai dilema.
Selain masalah tarif, RS swasta juga meminta adanya aturan baku atau standar pelayanan atau clinical pathway yang menyeluruh.
Setelah dilantik sebagai Ketua Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSI) Kota Depok periode 2014-2017, Sjahrul Amri mengaku, memiliki tantangan dan pekerjaan rumah yang cukup berat.
Amri menjelaskan, tantangan RS swasta ke depan jauh lebih besar, sehubungan dengan adanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economic Community (AEC) tahun 2015.
MEA, kata Amri, semua pasar bebas menjadikan investor asing bisa masuk ke Indonesia dengan mudahnya, bahkan hingga dalam bentuk produk jasa. Amri menilai, setiap RS swasta harus mempunyai rumusan strategi.
"Belum lagi regulasi SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dengan program JKN melalui BPJS, dalam program itu kendala banyak dihadapi RS swasta," tegasnya kepada wartawan di RS Bhakti Yudha, Depok, Minggu (4/5/2014).
Amri menilai, program BPJS bahkan belum siap diterapkan di RS swasta wilayah Indonesia Timur. Selain aturan yang belum siap, namun masyarakat disana masih belum mampu membeli premi secara mandiri.
"BPJS enggak laku di Indonesia Timur. RS swasta disana belum siap, masyarakat belum mampu beli premi mandiri. Diluar Askes, Asabri, dan Jamsostek lalu Taspen dan lain-lain, masyarakatnya belum mampu jadi enggak bisa. RS swasta enggak siap," tukas Direktur RS Bhakti Yudha ini.
Amri menjelaskan belum lagi masalah kemampuan SDM hingga sistem teknologi yang masih minim. Setidaknya ada konsep '3 P' bagi Amri yang harus dipersiapkan RS swasta untuk bekerjasama dalam BPJS. Yakni posisiton, people, dan performance.
"Masalah pengkodean penyakit (coding), costing (biaya), jangan sampai enggak paham, lalu clinical pathway, harus punya IT yang cukup. Karena ini kan sebuah sistem jangan sampai nanti masalah klaim takut terganggu," paparnya.
Selain masalah tarif, RS swasta juga meminta adanya aturan baku atau standar pelayanan atau clinical pathway yang menyeluruh.
Setelah dilantik sebagai Ketua Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSI) Kota Depok periode 2014-2017, Sjahrul Amri mengaku, memiliki tantangan dan pekerjaan rumah yang cukup berat.
Amri menjelaskan, tantangan RS swasta ke depan jauh lebih besar, sehubungan dengan adanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economic Community (AEC) tahun 2015.
MEA, kata Amri, semua pasar bebas menjadikan investor asing bisa masuk ke Indonesia dengan mudahnya, bahkan hingga dalam bentuk produk jasa. Amri menilai, setiap RS swasta harus mempunyai rumusan strategi.
"Belum lagi regulasi SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dengan program JKN melalui BPJS, dalam program itu kendala banyak dihadapi RS swasta," tegasnya kepada wartawan di RS Bhakti Yudha, Depok, Minggu (4/5/2014).
Amri menilai, program BPJS bahkan belum siap diterapkan di RS swasta wilayah Indonesia Timur. Selain aturan yang belum siap, namun masyarakat disana masih belum mampu membeli premi secara mandiri.
"BPJS enggak laku di Indonesia Timur. RS swasta disana belum siap, masyarakat belum mampu beli premi mandiri. Diluar Askes, Asabri, dan Jamsostek lalu Taspen dan lain-lain, masyarakatnya belum mampu jadi enggak bisa. RS swasta enggak siap," tukas Direktur RS Bhakti Yudha ini.
Amri menjelaskan belum lagi masalah kemampuan SDM hingga sistem teknologi yang masih minim. Setidaknya ada konsep '3 P' bagi Amri yang harus dipersiapkan RS swasta untuk bekerjasama dalam BPJS. Yakni posisiton, people, dan performance.
"Masalah pengkodean penyakit (coding), costing (biaya), jangan sampai enggak paham, lalu clinical pathway, harus punya IT yang cukup. Karena ini kan sebuah sistem jangan sampai nanti masalah klaim takut terganggu," paparnya.
(maf)