Pemerintah segera revisi UU Perlindungan Anak
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah segera melakukan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini dikarenakan hukuman yang diberikan di dalamnya kurang memberikan efek jera terlebih terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menag PP dan PA) Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, merevisi UU memang sangat diperlukan selain desakan dari masyarakat juga impelentasi yang paling dirasakan ialah hukuman maksimal 15 tahun tersebut tidak pernah dipergunakan.
Rata-rata hukuman yang digunakan bukan 15 tahun sesuai kata UU, melainkan 5-6 tahun. Hal ini disebabkan remisi yang diterima pelaku sering diberikan akibatnya tidak ada efek jera di rasakan.
"Sebetulnya yang terpenting adalah efek jera yang diberikan kepada pelakunya. Kita berharap penegak hukum memiliki sensitifitas terhadap permasalahan kekerasan seksual pada anak," tandasnya saat ditemui setelah acara car free day di Sarinah Minggu, (27/04/2014).
Menurut dia, perlindungan anak tersebut harus dapat diperjelas lagi. Banyak yang mengusulkan agar tidak 15 tahun tetapi seumur hidup, karena efek dari tindakan seksual tersebut sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya anak.
Selain permasalahan hukuman bagi pelaku seksual pada anak, revisi juga akan menyinggung terkait anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak masuk di dalam UU dan tumbuh kembang anak.
"Ini sangat perlu direvisi. Revisi juga harus melihat kemajuan tekhnologi dan penegakan hak asasi manusia (HAM)," katanya.
Selain merevisi UU, memberikan sosialisasi dan pemahaman kepada anak terkait kesehatan reproduksi juga harus diberikan. Jangan sampai anak-anak mencari pengatahuan tersebut di tempat yang salah. Peran keluarga adalah pondasi yang paling kuat untuk anak berada di tengah masyarakat.
Karenanya orang tua janganlah sungkan untuk menerangkan kepada anak-anaknya, pendidikan kesehatan reproduksi harus diberikan sejak dini dengan penyampaian yang harus disesuaikan.
"Permintaan revisi sudah dari dua tahun lalu dengan Komisi VIII, prosesnya memerlukan waktu dalam pengkajiannya. Diusahakan tahun depan selesai dan sudah dapat diterapkan," ujar Linda.
Dari data yang dimiliki KPP dan PA, kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2013 terdapat 161 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terdiri dari enam kasus kekerasan fisik, tiga kasus kekerasan psikis, 29 kasus kekerasan seksual, 10 kasus penelantaran, 49 kasus kekerasan lainnya dan 64 kasus yang merupakan lebih dari satu bentuk kekerasan.
"Motif yang dilakukan beragam, pelakunya rata-rata adalah orang terdekat seperti orang tua, suami, keluarga, guru atau orang lain yang seharusnya bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan," tegasnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menag PP dan PA) Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, merevisi UU memang sangat diperlukan selain desakan dari masyarakat juga impelentasi yang paling dirasakan ialah hukuman maksimal 15 tahun tersebut tidak pernah dipergunakan.
Rata-rata hukuman yang digunakan bukan 15 tahun sesuai kata UU, melainkan 5-6 tahun. Hal ini disebabkan remisi yang diterima pelaku sering diberikan akibatnya tidak ada efek jera di rasakan.
"Sebetulnya yang terpenting adalah efek jera yang diberikan kepada pelakunya. Kita berharap penegak hukum memiliki sensitifitas terhadap permasalahan kekerasan seksual pada anak," tandasnya saat ditemui setelah acara car free day di Sarinah Minggu, (27/04/2014).
Menurut dia, perlindungan anak tersebut harus dapat diperjelas lagi. Banyak yang mengusulkan agar tidak 15 tahun tetapi seumur hidup, karena efek dari tindakan seksual tersebut sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya anak.
Selain permasalahan hukuman bagi pelaku seksual pada anak, revisi juga akan menyinggung terkait anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak masuk di dalam UU dan tumbuh kembang anak.
"Ini sangat perlu direvisi. Revisi juga harus melihat kemajuan tekhnologi dan penegakan hak asasi manusia (HAM)," katanya.
Selain merevisi UU, memberikan sosialisasi dan pemahaman kepada anak terkait kesehatan reproduksi juga harus diberikan. Jangan sampai anak-anak mencari pengatahuan tersebut di tempat yang salah. Peran keluarga adalah pondasi yang paling kuat untuk anak berada di tengah masyarakat.
Karenanya orang tua janganlah sungkan untuk menerangkan kepada anak-anaknya, pendidikan kesehatan reproduksi harus diberikan sejak dini dengan penyampaian yang harus disesuaikan.
"Permintaan revisi sudah dari dua tahun lalu dengan Komisi VIII, prosesnya memerlukan waktu dalam pengkajiannya. Diusahakan tahun depan selesai dan sudah dapat diterapkan," ujar Linda.
Dari data yang dimiliki KPP dan PA, kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2013 terdapat 161 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terdiri dari enam kasus kekerasan fisik, tiga kasus kekerasan psikis, 29 kasus kekerasan seksual, 10 kasus penelantaran, 49 kasus kekerasan lainnya dan 64 kasus yang merupakan lebih dari satu bentuk kekerasan.
"Motif yang dilakukan beragam, pelakunya rata-rata adalah orang terdekat seperti orang tua, suami, keluarga, guru atau orang lain yang seharusnya bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan," tegasnya.
(kri)