Kontras minta perhatian Bawaslu soal kekerasan di Aceh
A
A
A
Sindonews.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengambil sikap terkait tindak kekerasan dan ancaman yang terjadi di Aceh menjelang pelaksanaan Pemilu 2014.
Wakil Koordinator Kontras Chrisbiatoro menyatakan, kondisi politik di Aceh tidak menentu. Maka itu dibutuhkan peran pengawasan serius dari Bawaslu. Menurutnya, jika situasi tersebut dibiarkan berlarut-larut bisa berakibat fatal terhadap iklim demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) serta bisa mengganggu proses perdamaian yang berlangsung di Aceh.
"Ini loh ada pelanggaran hukum yang nyata-nyata ini menjadi wilayah kerjanya Bawaslu juga, bukan hanya kepolisian," kata Chris saat melakukan pengaduan ke Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (2/4/2014).
Chris mengungkapkan, memasuki tahun 2014 sampai awal Maret kemarin, pihaknya mencatat ada 48 kasus kekerasan dan mengakibatkan korban jiwa. Menurutnya, korban kekerasan tersebut diakibatkan dari konflik kepentingan antar partai peserta pemilu di Aceh yang menggunakan cara-cara kekerasan dan ancaman demi meraih kekuasaan.
"Pantauan kami, dalam dua bulan terakhir saja tindakan kekerasan bernuansa politik meningkat drastis. Kontras menyampaikan ada 48 peristiwa kekerasan terjadi di Aceh, itu terjadi Januari sampai awal Maret. Korban dua orang meninggal dan enam orang terluka akibat penganiayaan," ungkapnya.
Dia menjelaskan, dari beberapa kasus temuan Kontras, hingga saat ini belum semuanya diungkap pihak kepolisian. Bahkan, lemahnya fungsi pengawasan Bawaslu mengakibatkan potensi kekerasan terus berlanjut.
"Diantara 48 itu, enam kasus berhasil diungkap polisi. Ada tujuh tujuh kali pengeroyokan terhadap kader PNA (Partai Nasional Aceh). Terakhir 31 Maret ada stiker PA (Partai Aceh) di mobil, lalu terjadi penembakan tiga luka satu tewas. Biasanya lokasinya sama, bahkan dalam satu hari bersamaan.
Kekerasan politik di picu oleh pengeruskan posko, mobil bendera. Jenis Kasusnya penembakan tujuh kasus, penculikan dua kasus, intimidasi enam kasus," sambungnya.
Atas situasi yang terjadi di Aceh, Kontras menyatakan situasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran partai lokal Aceh, khususnya Partai Aceh dengan Partai Nasional Aceh. Di mana menurut Chris, relasi dan komunikasi keduanya nampak kurang kondusif dan konstruktif.
"Salah satu indikatornya adalah beberapa kader dalam partai tersebut, kurang mampu menunjukkan politik cerdas dan bermartabat. Meski tindakan kekerasan dilakukan segelintir kader partai, tapi faktanya tak ada upaya signifikan dari elite partai itu mengehntikan praktik-praktik kekerasan yang terjadi," tambahnya.
Untuk mengantisipasi agar korban tidak terlalu banyak, maka Kontras meminta tindakan segera dari para stakeholder yang tergabung dalam Gerakan Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) khususnya Bawaslu dalam mengambil sikap.
"Mendesak Bawaslu untuk segera merespon laporan Kontras, dan segera melakukan langkah konkrek dengan bekerjasama dengan pihak Gakkumdu yang didalamnya ada kepolisian negara dan kejaksaan," tutupnya.
Wakil Koordinator Kontras Chrisbiatoro menyatakan, kondisi politik di Aceh tidak menentu. Maka itu dibutuhkan peran pengawasan serius dari Bawaslu. Menurutnya, jika situasi tersebut dibiarkan berlarut-larut bisa berakibat fatal terhadap iklim demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) serta bisa mengganggu proses perdamaian yang berlangsung di Aceh.
"Ini loh ada pelanggaran hukum yang nyata-nyata ini menjadi wilayah kerjanya Bawaslu juga, bukan hanya kepolisian," kata Chris saat melakukan pengaduan ke Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (2/4/2014).
Chris mengungkapkan, memasuki tahun 2014 sampai awal Maret kemarin, pihaknya mencatat ada 48 kasus kekerasan dan mengakibatkan korban jiwa. Menurutnya, korban kekerasan tersebut diakibatkan dari konflik kepentingan antar partai peserta pemilu di Aceh yang menggunakan cara-cara kekerasan dan ancaman demi meraih kekuasaan.
"Pantauan kami, dalam dua bulan terakhir saja tindakan kekerasan bernuansa politik meningkat drastis. Kontras menyampaikan ada 48 peristiwa kekerasan terjadi di Aceh, itu terjadi Januari sampai awal Maret. Korban dua orang meninggal dan enam orang terluka akibat penganiayaan," ungkapnya.
Dia menjelaskan, dari beberapa kasus temuan Kontras, hingga saat ini belum semuanya diungkap pihak kepolisian. Bahkan, lemahnya fungsi pengawasan Bawaslu mengakibatkan potensi kekerasan terus berlanjut.
"Diantara 48 itu, enam kasus berhasil diungkap polisi. Ada tujuh tujuh kali pengeroyokan terhadap kader PNA (Partai Nasional Aceh). Terakhir 31 Maret ada stiker PA (Partai Aceh) di mobil, lalu terjadi penembakan tiga luka satu tewas. Biasanya lokasinya sama, bahkan dalam satu hari bersamaan.
Kekerasan politik di picu oleh pengeruskan posko, mobil bendera. Jenis Kasusnya penembakan tujuh kasus, penculikan dua kasus, intimidasi enam kasus," sambungnya.
Atas situasi yang terjadi di Aceh, Kontras menyatakan situasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran partai lokal Aceh, khususnya Partai Aceh dengan Partai Nasional Aceh. Di mana menurut Chris, relasi dan komunikasi keduanya nampak kurang kondusif dan konstruktif.
"Salah satu indikatornya adalah beberapa kader dalam partai tersebut, kurang mampu menunjukkan politik cerdas dan bermartabat. Meski tindakan kekerasan dilakukan segelintir kader partai, tapi faktanya tak ada upaya signifikan dari elite partai itu mengehntikan praktik-praktik kekerasan yang terjadi," tambahnya.
Untuk mengantisipasi agar korban tidak terlalu banyak, maka Kontras meminta tindakan segera dari para stakeholder yang tergabung dalam Gerakan Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) khususnya Bawaslu dalam mengambil sikap.
"Mendesak Bawaslu untuk segera merespon laporan Kontras, dan segera melakukan langkah konkrek dengan bekerjasama dengan pihak Gakkumdu yang didalamnya ada kepolisian negara dan kejaksaan," tutupnya.
(kur)