DPR segera buat RUU Pekerja Sosial
A
A
A
Sindonews.com - DPR akan membahas RUU pekerja sosial. Diharapkan dapat menjadi payung hukum dan pedoman bagi para pekerja sosial untuk menjalankan tugas dan fungsinya di tengah masyarakat.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Raihan Iskandar mengatakan, Undang-Undang Pekerja Sosial ini perlu dibuat sebagai payung hukum para pekerja sosial. Namun, gambaran umum pekerja sosial belum dapat dipahami bersama.
"Dalam konteks ini, harus jelas dipahami dan dibatasi terlebih dahulu apa definisi pekerja sosial itu," tandasnya saat dihubungi SINDO, Minggu (9/2/2014).
Menurutnya, saat ini perlu dirumuskan definisi pekerja sosial yang tepat. Diperlukan perbedaan definisi yang menjadi kekhususan terkait pekerja sosial secara profesional dengan pekerja sosial yang sukarela.
Dalam hal ini, lanjutnya, tidak hanya disebut profesional ketika dia sudah lulus sekolah atau mencetak tenaga kerja. Dikhwatirkan jika hanya menggunakan istilah pekerja sosial profesional, akan mengabaikan peran para pekerja sosial yang selama ini sudah eksis di tengah masyarakat.
“Realitanya di lapangan banyak tokoh masyarakat yang melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial, ke mana-mana ada perannya, dan mampu menyelesaikan permasalahan sosial yang ada, meskipun mereka tidak memiliki jabatan struktural tertentu. Terkadang mereka lebih lihai dari pada yang profesional. Jangan sampai UU Pekerja Sosial nanti menafikan pekerja sosial seperti ini yang sudah ada sebelumnya di masyarakat,” paparnya.
Dari data yang dimiliki Kemensos, saat ini Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) berjumlah 15,5 juta jiwa pada 2012. PMKS tersebut terdiri dari fakir miskin wanita rawan ekonomi 2,5 juta jiwa. Anak-anak terlantar, balita terlantar dan usia lanjut terlantar 7,19 juta jiwa.
Orang cacat 1,13 juta jiwa, komunitas adat terpencil 213.080 Kepala Keluarga (KK). Tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas binaan lapas, ODHA, dan korban NAPZA 3,87 juta jiwa, korban bencana 1,14 KK serta korban tindak kekerasan pekerja migran bermasalah 0,89 juta jiwa.
Sedangkan pekerja sosial yang sudah ada sejumlah 15.552 orang. Dengan rasio pekerja sosial dan PMKS 1:100, maka dibutuhkan 155 ribu pekerja sosial. Jika rasio yang digunakan adalah 1:10, maka jumlah pekerja sosial yang dibutuhkan adalah 1,5 juta orang. Ini jumlah yang besar yang harus disiapkan oleh negara.
Selain itu, dalam UU nanti diperlukan pembahasan terkait penghargaan kepada orang yang konsen di bidang sosial di tengah masyarakat.
"Kita perlu atur supaya ada sarana itu, dan lebih baik lagi jika kita dapat memfasilitasi mereka untuk bisa berbagi keahlian sosialnya dengan masyarakat yang lain," tegasanya.
Sementara itu, Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Aljufri mengatakan, keberhasilan program kesejahteraan sosial ditentukan oleh pelaksana di lapangan. Di tangan para pekerja sosial, berbagai kegiatan tersebut bisa dilaksanakan di tengah masyarakat.
Menurut dia, harus diakui bahwa keberadaan pekerja sosial (peksos) menjadi ujung tombak keberhasilan berbagai program kesejahteraan sosial (kesos) di lapangan. Tenaga peksos dituntut memiliki kemampuan mediasi, komunikasi dan relasi saat melaksanakan tugas di langanan dan kontak dengan pihak lain. Karena pada umumnya, kasus-kasus yang ditemukan harus direveral pada instansi lainnya.
Baca berita:
Jumlah pekerja asing di Indonesia menurun
Anggota Komisi VIII DPR RI, Raihan Iskandar mengatakan, Undang-Undang Pekerja Sosial ini perlu dibuat sebagai payung hukum para pekerja sosial. Namun, gambaran umum pekerja sosial belum dapat dipahami bersama.
"Dalam konteks ini, harus jelas dipahami dan dibatasi terlebih dahulu apa definisi pekerja sosial itu," tandasnya saat dihubungi SINDO, Minggu (9/2/2014).
Menurutnya, saat ini perlu dirumuskan definisi pekerja sosial yang tepat. Diperlukan perbedaan definisi yang menjadi kekhususan terkait pekerja sosial secara profesional dengan pekerja sosial yang sukarela.
Dalam hal ini, lanjutnya, tidak hanya disebut profesional ketika dia sudah lulus sekolah atau mencetak tenaga kerja. Dikhwatirkan jika hanya menggunakan istilah pekerja sosial profesional, akan mengabaikan peran para pekerja sosial yang selama ini sudah eksis di tengah masyarakat.
“Realitanya di lapangan banyak tokoh masyarakat yang melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial, ke mana-mana ada perannya, dan mampu menyelesaikan permasalahan sosial yang ada, meskipun mereka tidak memiliki jabatan struktural tertentu. Terkadang mereka lebih lihai dari pada yang profesional. Jangan sampai UU Pekerja Sosial nanti menafikan pekerja sosial seperti ini yang sudah ada sebelumnya di masyarakat,” paparnya.
Dari data yang dimiliki Kemensos, saat ini Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) berjumlah 15,5 juta jiwa pada 2012. PMKS tersebut terdiri dari fakir miskin wanita rawan ekonomi 2,5 juta jiwa. Anak-anak terlantar, balita terlantar dan usia lanjut terlantar 7,19 juta jiwa.
Orang cacat 1,13 juta jiwa, komunitas adat terpencil 213.080 Kepala Keluarga (KK). Tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas binaan lapas, ODHA, dan korban NAPZA 3,87 juta jiwa, korban bencana 1,14 KK serta korban tindak kekerasan pekerja migran bermasalah 0,89 juta jiwa.
Sedangkan pekerja sosial yang sudah ada sejumlah 15.552 orang. Dengan rasio pekerja sosial dan PMKS 1:100, maka dibutuhkan 155 ribu pekerja sosial. Jika rasio yang digunakan adalah 1:10, maka jumlah pekerja sosial yang dibutuhkan adalah 1,5 juta orang. Ini jumlah yang besar yang harus disiapkan oleh negara.
Selain itu, dalam UU nanti diperlukan pembahasan terkait penghargaan kepada orang yang konsen di bidang sosial di tengah masyarakat.
"Kita perlu atur supaya ada sarana itu, dan lebih baik lagi jika kita dapat memfasilitasi mereka untuk bisa berbagi keahlian sosialnya dengan masyarakat yang lain," tegasanya.
Sementara itu, Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Aljufri mengatakan, keberhasilan program kesejahteraan sosial ditentukan oleh pelaksana di lapangan. Di tangan para pekerja sosial, berbagai kegiatan tersebut bisa dilaksanakan di tengah masyarakat.
Menurut dia, harus diakui bahwa keberadaan pekerja sosial (peksos) menjadi ujung tombak keberhasilan berbagai program kesejahteraan sosial (kesos) di lapangan. Tenaga peksos dituntut memiliki kemampuan mediasi, komunikasi dan relasi saat melaksanakan tugas di langanan dan kontak dengan pihak lain. Karena pada umumnya, kasus-kasus yang ditemukan harus direveral pada instansi lainnya.
Baca berita:
Jumlah pekerja asing di Indonesia menurun
(kri)