Survei: Hanura & Nasdem paling taktis hadapi krisis
A
A
A
Sindonews.com - Partai Hanura dan Nasdem dianggap sebagai partai politik (parpol) yang bersikap proaktif yang mampu mengambil langkah tepat ketika terjadi krisis. Hal itu berdasarkan salah satu hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute).
Direktur Eksekutif Polcomm Institute, Heri Budianto mengatakan, dalam menyikapi krisis yang dialami masing-masing parpol memiliki cara-cara yang berbeda, baik dalam memberikan reaksi maupun dalam strategi penanganan krisis.
Dirinya menjelaskan, Partai Hanura sangat kuat mengandalkan ketokohan Wiranto dalam mengatasi krisis. Sementara, Partai Nasdem sangat ditentukan oleh ketokohan Surya Paloh dalam meredam gejolak politik di internal.
"Selain itu, Partai Hanura mampu bersikap tegas dengan langsung dan cepat menonaktifkan kader yang terseret kasus korupsi," ujar Heri saat jumpa pers di WHIZ Hotel Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2014).
Sementara Partai Golkar dan PDIP dianggap parpol yang adaptif, yakni cenderung melihat situasi ketika terjadi krisis. Partai Golkar, kata dia, mengandalkan manajemen isu dalam menghadapi krisis yakni melakukan counter isu dengan melakukan pembelaan terhadap kadernya yang terseret kasus korupsi.
"Golkar tidak cepat bereaksi, namun menunggu situasi atau perkembangan kasus yang menimpa kadernya," katanya.
Namun sebagai partai besar dan berpengalaman, sambung dia, Partai Golkar mampu melakukan konsolidasi elite, dimana komunikator politiknya mampu menyampaikan pesan yang sama atau seragam dalam fase krisis yang dialami.
"Demikian juga dengan strategi PDIP dalam pengelolaan isu yang hampir sama dengan Golkar dalam melakukan counter isu krisis," ucapnya.
Dikatakannya, PDIP juga melakukan wacana pembelaan terhadap kadernya dan komunikator politiknya mampu membangun pesan yang sama atau seragam dalam menghadapi krisis. Selain itu, faktor yang paling dominan di PDIP adalah ketokohan Megawati Soekarnoputri dalam mengatasi krisis.
Megawati sebagai ketua umum, lanjutnya, merupakan panutan dan orang yang paling menentukan langkah politik yang diambil PDIP dalam menyelesaikan krisis.
"Kemudian partai politik yang bersikap reaktif yakni partai politik yang mengambil langkah tidak tepat ketika terjadi krisis adalah Partai Demokrat dan PKS," ungkapnya.
Partai Demokrat, sambung dia, melakukan hal-hal tidak terkontrol dalam pengelolaan isu dan juga elite partai (komunikator politik) dalam mengemas pesan ketika melakukan counter isu berbeda-beda atau tidak seragam antar elite yang satu dengan yang lain. Sehingga krisis yang dialami semakin meruncing dan menjadi polemik baru di tengah-tengah masyarakat.
"Sebenarnya Partai Demokrat memiliki tokoh menonjol yakni SBY, namun dalam pengelolaan krisis, ternyata Partai Demokrat tidak mampu memainkan peran ketokohan tersebut," tuturnya.
Sementara itu, PKS dalam menghadapi krisis khususnya dalam kasus korupsi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) melakukan counter isu dengan membangun discourse melalui elitenya. Dengan menyatakan PKS merupakan 'korban politik' dan 'dizalimi' dalam kasus tersebut.
"Ada upaya melakukan pembelaan oleh PKS di awal-awal kasus ini mencuat. Namun, seiring dengan waktu PKS melakukan konsolidasi internal. Namun konsolidasi internal tersebut sangat bergantung pada mekanisme partai," tambah dia.
PKS, kata dia, termasuk partai yang tidak cepat atau lambat dalam mengambil keputusan ketika krisis, sehingga menyebabkan isu krisis yang terjadi menjadi polemik berkepanjangan.
Dia menjelaskan, ada dua metode riset yang dilakukan, yakni tahap pertama melakukan content analysis dan discourse analysis methods dengan tujuan menentukan isu atau wacana apa saja yang menyebabkan krisis suatu partai politik.
Selain itu, untuk menggambarkan penanganan krisis yang dilakukan oleh partai politik tersebut. Pada tahap pertama ini secara khusus meneliti sebanyak 15 media massa yakni lima media cetak nasional, lima stasiun siaran televisi, dan lima media online.
Sedangkan tahap kedua melakukan survei di 15 kota besar di Indonesia, yakni Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Serang (Banten), Jakarta (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Jogjakarta (DI Jogjakarta), Surabaya (Jawa Timur), Pontianak (Kalimantan Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), Denpasar (Bali), Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara) dan Ambon (Maluku).
Survey dilakukan mulai 20 Januari 2014 sampai 3 Februari 2014 dengan menggunakan teknik purposive sampling, penentuan responden berdasarkan kriteria tingkat pendidikan minimal SMA/SMU sederajat dan pengetahuan mengenai isu politik.
Sedangkan responden dalam penelitian ini sebanyak 1.000 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung kepada responden. Tingkat kepercayaan survei ini sebesar 95 persen dan margin error sebesar 5 persen.
Baca berita:
Survei, Demokrat partai paling krisis
Direktur Eksekutif Polcomm Institute, Heri Budianto mengatakan, dalam menyikapi krisis yang dialami masing-masing parpol memiliki cara-cara yang berbeda, baik dalam memberikan reaksi maupun dalam strategi penanganan krisis.
Dirinya menjelaskan, Partai Hanura sangat kuat mengandalkan ketokohan Wiranto dalam mengatasi krisis. Sementara, Partai Nasdem sangat ditentukan oleh ketokohan Surya Paloh dalam meredam gejolak politik di internal.
"Selain itu, Partai Hanura mampu bersikap tegas dengan langsung dan cepat menonaktifkan kader yang terseret kasus korupsi," ujar Heri saat jumpa pers di WHIZ Hotel Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2014).
Sementara Partai Golkar dan PDIP dianggap parpol yang adaptif, yakni cenderung melihat situasi ketika terjadi krisis. Partai Golkar, kata dia, mengandalkan manajemen isu dalam menghadapi krisis yakni melakukan counter isu dengan melakukan pembelaan terhadap kadernya yang terseret kasus korupsi.
"Golkar tidak cepat bereaksi, namun menunggu situasi atau perkembangan kasus yang menimpa kadernya," katanya.
Namun sebagai partai besar dan berpengalaman, sambung dia, Partai Golkar mampu melakukan konsolidasi elite, dimana komunikator politiknya mampu menyampaikan pesan yang sama atau seragam dalam fase krisis yang dialami.
"Demikian juga dengan strategi PDIP dalam pengelolaan isu yang hampir sama dengan Golkar dalam melakukan counter isu krisis," ucapnya.
Dikatakannya, PDIP juga melakukan wacana pembelaan terhadap kadernya dan komunikator politiknya mampu membangun pesan yang sama atau seragam dalam menghadapi krisis. Selain itu, faktor yang paling dominan di PDIP adalah ketokohan Megawati Soekarnoputri dalam mengatasi krisis.
Megawati sebagai ketua umum, lanjutnya, merupakan panutan dan orang yang paling menentukan langkah politik yang diambil PDIP dalam menyelesaikan krisis.
"Kemudian partai politik yang bersikap reaktif yakni partai politik yang mengambil langkah tidak tepat ketika terjadi krisis adalah Partai Demokrat dan PKS," ungkapnya.
Partai Demokrat, sambung dia, melakukan hal-hal tidak terkontrol dalam pengelolaan isu dan juga elite partai (komunikator politik) dalam mengemas pesan ketika melakukan counter isu berbeda-beda atau tidak seragam antar elite yang satu dengan yang lain. Sehingga krisis yang dialami semakin meruncing dan menjadi polemik baru di tengah-tengah masyarakat.
"Sebenarnya Partai Demokrat memiliki tokoh menonjol yakni SBY, namun dalam pengelolaan krisis, ternyata Partai Demokrat tidak mampu memainkan peran ketokohan tersebut," tuturnya.
Sementara itu, PKS dalam menghadapi krisis khususnya dalam kasus korupsi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) melakukan counter isu dengan membangun discourse melalui elitenya. Dengan menyatakan PKS merupakan 'korban politik' dan 'dizalimi' dalam kasus tersebut.
"Ada upaya melakukan pembelaan oleh PKS di awal-awal kasus ini mencuat. Namun, seiring dengan waktu PKS melakukan konsolidasi internal. Namun konsolidasi internal tersebut sangat bergantung pada mekanisme partai," tambah dia.
PKS, kata dia, termasuk partai yang tidak cepat atau lambat dalam mengambil keputusan ketika krisis, sehingga menyebabkan isu krisis yang terjadi menjadi polemik berkepanjangan.
Dia menjelaskan, ada dua metode riset yang dilakukan, yakni tahap pertama melakukan content analysis dan discourse analysis methods dengan tujuan menentukan isu atau wacana apa saja yang menyebabkan krisis suatu partai politik.
Selain itu, untuk menggambarkan penanganan krisis yang dilakukan oleh partai politik tersebut. Pada tahap pertama ini secara khusus meneliti sebanyak 15 media massa yakni lima media cetak nasional, lima stasiun siaran televisi, dan lima media online.
Sedangkan tahap kedua melakukan survei di 15 kota besar di Indonesia, yakni Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Serang (Banten), Jakarta (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Jogjakarta (DI Jogjakarta), Surabaya (Jawa Timur), Pontianak (Kalimantan Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), Denpasar (Bali), Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara) dan Ambon (Maluku).
Survey dilakukan mulai 20 Januari 2014 sampai 3 Februari 2014 dengan menggunakan teknik purposive sampling, penentuan responden berdasarkan kriteria tingkat pendidikan minimal SMA/SMU sederajat dan pengetahuan mengenai isu politik.
Sedangkan responden dalam penelitian ini sebanyak 1.000 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung kepada responden. Tingkat kepercayaan survei ini sebesar 95 persen dan margin error sebesar 5 persen.
Baca berita:
Survei, Demokrat partai paling krisis
(kri)