Di media sosial, pejabat harus miliki social skill
A
A
A
Sindonews.com - Pejabat atau public figure harus menyadari segala yang dilakukan pasti mendapat perhatian dari masyarakat, termasuk dalam hal media sosial. Karena dalam media sosial, ruang partisipasi semakin luas.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menuturkan, para pejabat atau public figure perlu menyadari media sosial bisa memberikan dampak yang positif. Karena kekuatan jaringan media sosial mampu menggerakkan kekuatan masyarakat.
Contoh, Mesir menggunakan media sosial sebagai alat penggerak utama politik. Karena membuka ruang yang bisa diakses tiap warga negara.
Di Indonesia sendiri, pengguna media sosial masih terhitung baru sehingga masyarakat lupa untuk menjunjung norma. Maksudnya, bagaimana cara kita mengungkapkan ekspresi melalui media sosial yang harus diperhatikan. Terlebih bagi public figure yang seharusnya menjadi role model bagi masyarakat.
"Yang penting untuk diingat adalah segala bentuk perilaku, sikap dan cara pandang public figure itu menjadi perhatian masyarakat. Yang kemudian sikap itu bisa saja dijadikan rujukan. Sehingga pada posisi tertentu, siapapun yang menjadi public figure harus sadar jika segala sesuatu yang dilakukannya berpeluang untuk direspon," kata Ida dalam suatu perbincangan, Sabtu (18/1/2014).
Untuk itu, dia menyarankan agar memiliki sikap bijak karena bagaimanapun ungkapan apapun yang diunggah melalui media sosial akan berpotensi besar untuk direspon. Respon yang diberikan pun bervariasi karena masyarakat Indonesia juga majemuk.
Ida menuturkan, karakteristik masyarakat Indonesia masih dalam taraf low context society. Artinya, contoh yang diberikan public figure maka itulah yang akan diikuti. Berbeda dengan negara yang sudah high context society, masyarakatnya lebih menyaring apa yang disajikan.
"Mereka lebih melek aksara dan makna. Mereka lebih bisa mengkritik dan menyaring. Dan sebagai public figure, seharusnya juga lebih menyadari lingkungan dan konteks masyarakatnya," saran dia.
Yang perlu dimiliki pula oleh public figure, sambung Ida, adalah kemampuan mendefinisikan kondisi sosial atau lebih dikenal dengan istilah social skill. Artinya, seseorang yang sudah mampu menguasai kondisi sosial maka dia akan bersikap sesuai kondisi yang ada.
Misalnya, dalam mengeluarkan simbol komunikasi maka harus disadari reaksi dari lingkungan sosialnya akan seperti apa. Dan lebih dalam lagi dikatakan, dalam mengungkapkan komunikasi di media sosial juga jangan mengedepankan sisi pribadi.
"Seseorang yang menjabat sebagai public figure harus menguasai sosialisasi antisipator. Artinya, dia harus sudah memahami do dan don't dan tidak mengedepankan individu expectation," paparnya.
Contoh sederhana, jika seorang guru ingin mengeluarkan simbol komunikasi maka dia harus menyadari jabatan yang melekat padanya. Kemudian, dia harus mengetahui respon apa yang diterima dan bagaimana jika anak muridnya merespon. Jika itu sudah disadari dan dikuasai barulah dia dikatakan memiliki social skill yang baik.
"Semakin tinggi jabatan yang diemban maka semakin tinggi social skill yang harus dimiliki," tutupnya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menuturkan, para pejabat atau public figure perlu menyadari media sosial bisa memberikan dampak yang positif. Karena kekuatan jaringan media sosial mampu menggerakkan kekuatan masyarakat.
Contoh, Mesir menggunakan media sosial sebagai alat penggerak utama politik. Karena membuka ruang yang bisa diakses tiap warga negara.
Di Indonesia sendiri, pengguna media sosial masih terhitung baru sehingga masyarakat lupa untuk menjunjung norma. Maksudnya, bagaimana cara kita mengungkapkan ekspresi melalui media sosial yang harus diperhatikan. Terlebih bagi public figure yang seharusnya menjadi role model bagi masyarakat.
"Yang penting untuk diingat adalah segala bentuk perilaku, sikap dan cara pandang public figure itu menjadi perhatian masyarakat. Yang kemudian sikap itu bisa saja dijadikan rujukan. Sehingga pada posisi tertentu, siapapun yang menjadi public figure harus sadar jika segala sesuatu yang dilakukannya berpeluang untuk direspon," kata Ida dalam suatu perbincangan, Sabtu (18/1/2014).
Untuk itu, dia menyarankan agar memiliki sikap bijak karena bagaimanapun ungkapan apapun yang diunggah melalui media sosial akan berpotensi besar untuk direspon. Respon yang diberikan pun bervariasi karena masyarakat Indonesia juga majemuk.
Ida menuturkan, karakteristik masyarakat Indonesia masih dalam taraf low context society. Artinya, contoh yang diberikan public figure maka itulah yang akan diikuti. Berbeda dengan negara yang sudah high context society, masyarakatnya lebih menyaring apa yang disajikan.
"Mereka lebih melek aksara dan makna. Mereka lebih bisa mengkritik dan menyaring. Dan sebagai public figure, seharusnya juga lebih menyadari lingkungan dan konteks masyarakatnya," saran dia.
Yang perlu dimiliki pula oleh public figure, sambung Ida, adalah kemampuan mendefinisikan kondisi sosial atau lebih dikenal dengan istilah social skill. Artinya, seseorang yang sudah mampu menguasai kondisi sosial maka dia akan bersikap sesuai kondisi yang ada.
Misalnya, dalam mengeluarkan simbol komunikasi maka harus disadari reaksi dari lingkungan sosialnya akan seperti apa. Dan lebih dalam lagi dikatakan, dalam mengungkapkan komunikasi di media sosial juga jangan mengedepankan sisi pribadi.
"Seseorang yang menjabat sebagai public figure harus menguasai sosialisasi antisipator. Artinya, dia harus sudah memahami do dan don't dan tidak mengedepankan individu expectation," paparnya.
Contoh sederhana, jika seorang guru ingin mengeluarkan simbol komunikasi maka dia harus menyadari jabatan yang melekat padanya. Kemudian, dia harus mengetahui respon apa yang diterima dan bagaimana jika anak muridnya merespon. Jika itu sudah disadari dan dikuasai barulah dia dikatakan memiliki social skill yang baik.
"Semakin tinggi jabatan yang diemban maka semakin tinggi social skill yang harus dimiliki," tutupnya.
(hyk)