TKI masih minim kemampuan Teknologi Informasi Komunikasi
A
A
A
Sindonews.com - Kurang optimalnya pemerintah dalam meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) dikhawatirkan akan menyingkirkan potensi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di pentas dunia.
Terlebih, tahun 2016 Indonesia akan memasuki era area perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area) dan di tahun 2020 Indonesia memasuki era pasar bebas global (Globalisasi). Ini harus menjadi fokus perhatian pemerintah agar tenaga kerja Indonesia tetap bisa bersaing.
"Karena kedua era pasar bebas tersebut mendorong kebebasan transaksi barang dan jasa, dimana yang dimaksud dengan jasa adalah tenaga kerja terampil bersertifikasi profesi atau keahlian," kata Ketua Badan Pembina Indonesia-ITU Concern Forum (IICF), Eddy Setiawan, Jakarta, Kamis 16 Januari 2014 malam.
Namun, sambung Eddy, yang terlihat saat ini aspek tenaga kerja terampil bersertifikasi bidang TIK di Indonesia sangat tidak siap. Ini terjadi akibat kurang gencarnya sosialisasi dan upaya Pemerintah untuk mendesak para pengusaha agar mendorong para pekerjanya melaksanakan sertifikasi profesi TIK. Ditambah dengan rendahnya kesadaran para pekerja TIK Indonesia untuk meningkatkan kualifikasinya.
"Dampak dari keadaan ini adalah Indonesia akan menjadi lahan pekerjaan bagi tenaga kerja asing yang lebih besar dan menyingkirkan peluang-peluang pekerjaan dari para TKI. Ditambah para TKI akan kesulitan memasuki pasar-pasar tenaga kerja di negara-negara lain dengan jumlah penduduk yang besar, namun kompetensi tenaga kerjanya lemah secara pasti akan memperlemah daya saing bangsa Indonesia dipercaturan dunia," tuturnya.
Sementara itu, menurut Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Erwin Ramali, minimnya kemampuan TKI juga akan membuat semakin suburnya kejahatan di sektor TIK.
Pasalnya, kesadaran untuk memahami bentuk kejahatan TIK ini masih sangat kurang dipahami oleh masyarakat dalam hal ini TKI. "Khususnya dalam hal identifikasi, antisipasi dan pencegahan kejahatan TIK," tandasnya.
Dengan latar belakang tersebut maka IICF, LCKI dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) telematika bersepakat membuat Nota Kesepahaman (MoU) dengan membuat program-program pelatihan dan sertifikasi guna mendorong pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan kompetensi TKI.
Serta meningkatkan pemahaman masyarakat luas untuk secara aktif dapat mencegah kejahatan di bidang TIK di masa-masa yang akan datang.
Baca berita:
Perlindungan TKI, polemik yang belum selesai
Terlebih, tahun 2016 Indonesia akan memasuki era area perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area) dan di tahun 2020 Indonesia memasuki era pasar bebas global (Globalisasi). Ini harus menjadi fokus perhatian pemerintah agar tenaga kerja Indonesia tetap bisa bersaing.
"Karena kedua era pasar bebas tersebut mendorong kebebasan transaksi barang dan jasa, dimana yang dimaksud dengan jasa adalah tenaga kerja terampil bersertifikasi profesi atau keahlian," kata Ketua Badan Pembina Indonesia-ITU Concern Forum (IICF), Eddy Setiawan, Jakarta, Kamis 16 Januari 2014 malam.
Namun, sambung Eddy, yang terlihat saat ini aspek tenaga kerja terampil bersertifikasi bidang TIK di Indonesia sangat tidak siap. Ini terjadi akibat kurang gencarnya sosialisasi dan upaya Pemerintah untuk mendesak para pengusaha agar mendorong para pekerjanya melaksanakan sertifikasi profesi TIK. Ditambah dengan rendahnya kesadaran para pekerja TIK Indonesia untuk meningkatkan kualifikasinya.
"Dampak dari keadaan ini adalah Indonesia akan menjadi lahan pekerjaan bagi tenaga kerja asing yang lebih besar dan menyingkirkan peluang-peluang pekerjaan dari para TKI. Ditambah para TKI akan kesulitan memasuki pasar-pasar tenaga kerja di negara-negara lain dengan jumlah penduduk yang besar, namun kompetensi tenaga kerjanya lemah secara pasti akan memperlemah daya saing bangsa Indonesia dipercaturan dunia," tuturnya.
Sementara itu, menurut Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Erwin Ramali, minimnya kemampuan TKI juga akan membuat semakin suburnya kejahatan di sektor TIK.
Pasalnya, kesadaran untuk memahami bentuk kejahatan TIK ini masih sangat kurang dipahami oleh masyarakat dalam hal ini TKI. "Khususnya dalam hal identifikasi, antisipasi dan pencegahan kejahatan TIK," tandasnya.
Dengan latar belakang tersebut maka IICF, LCKI dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) telematika bersepakat membuat Nota Kesepahaman (MoU) dengan membuat program-program pelatihan dan sertifikasi guna mendorong pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan kompetensi TKI.
Serta meningkatkan pemahaman masyarakat luas untuk secara aktif dapat mencegah kejahatan di bidang TIK di masa-masa yang akan datang.
Baca berita:
Perlindungan TKI, polemik yang belum selesai
(kri)