Kasus pemalsuan transkrip nilai butuh kajian hukum
A
A
A
Sindonews.com - Ditemukannya kasus pemalsuan isi transkrip nilai di beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dinilai membutuhkan adanya kajian hukum.
Selain karena telah memasuki ranah hukum pidana, akar permasalahan kasus tersebut wajib pula diketahui.
Demikian yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat Prof Dr Edy Suandi Hamid. "Perlu adanya kajian hukum yang lebih dalam terkait kasus ini," ucap Edy kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis 9 Januari 2014.
"Dan saya menyarankan pada PTS yang merasa terlanjur menerima mahasiswa dengan transkrip nilai palsu, untuk langsung memberhentikannya. Jika sudah terlanjur lulus, gugurkan saja ijazahnya," tegasnya.
Seperti yang pernah diberitakan, Kopertis Wilayah V Yogyakarta menemukan tiga kasus pemalsuan isi transkrip nilai mahasiswa pindahan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) DIY.
Pemalsuan isi transkrip nilai tak hanya pada mahasiswa pindahan dari luar daerah DIY, mahasiswa pindahan antar kampus di wilayah DIY juga ditemukan. Kasus yang terjadi ialah pemalsuan nilai dan mark up jumlah SKS yang ditempuh mahasiswa.
Edy menuturkan, Aptisi sendiri tidak akan segan-segan memberikan peringatan bagi PTS yang terbukti terlibat dalam pemalsuan. Bagi mahasiswa yang bersangkutan pun wajib dikenai sanksi selayaknya.
Menurut Edy, Aptisi tidak memiliki hak menindak PTS jika terbukti melakukan kesalahan. Semua wewenang dipegang penuh oleh Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Jika ada PTS yang terbukti terlibat, tentu mereka tidak memiliki niat baik menyelenggarakan pendidikan tinggi," ucapnya.
"Saya tentu mendukung dilakukan tindakan tegas. Dan Dikti yang berwenang melakukan tindakan tegas sebagai pihak yang memberikan izin penyelenggaraan pendidikan tinggi," imbuhnya.
Diakui Edy, pihaknya tidak mampu setiap hari memantau perkembangan dari sekitar 3.400 PTS se-Indonesia. Karenanya, jika terjadi kasus-kasus pelanggaran, ia berharap Dikti mampu bersikap tegas menindak pihak yang bersalah. Edy pun menuntut adanya penegakan aturan main secara adil.
Karena menurutnya, tidak menutup kemungkinan kejadian yang sama juga terjadi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). "Harusnya sudah tidak ada diskriminasi terhadap PTS. Jika memang bersalah tentu harus ditindak meski itu PTN," ungkapnya.
Penindakan bukan selalu berarti pencabutan izin, bisa juga dengan pencabutan pemberian beasiswa atau dana bantuan. Dan ini harus berlaku adil untuk PTS maupun PTN," tuturnya.
Selain karena telah memasuki ranah hukum pidana, akar permasalahan kasus tersebut wajib pula diketahui.
Demikian yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat Prof Dr Edy Suandi Hamid. "Perlu adanya kajian hukum yang lebih dalam terkait kasus ini," ucap Edy kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis 9 Januari 2014.
"Dan saya menyarankan pada PTS yang merasa terlanjur menerima mahasiswa dengan transkrip nilai palsu, untuk langsung memberhentikannya. Jika sudah terlanjur lulus, gugurkan saja ijazahnya," tegasnya.
Seperti yang pernah diberitakan, Kopertis Wilayah V Yogyakarta menemukan tiga kasus pemalsuan isi transkrip nilai mahasiswa pindahan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) DIY.
Pemalsuan isi transkrip nilai tak hanya pada mahasiswa pindahan dari luar daerah DIY, mahasiswa pindahan antar kampus di wilayah DIY juga ditemukan. Kasus yang terjadi ialah pemalsuan nilai dan mark up jumlah SKS yang ditempuh mahasiswa.
Edy menuturkan, Aptisi sendiri tidak akan segan-segan memberikan peringatan bagi PTS yang terbukti terlibat dalam pemalsuan. Bagi mahasiswa yang bersangkutan pun wajib dikenai sanksi selayaknya.
Menurut Edy, Aptisi tidak memiliki hak menindak PTS jika terbukti melakukan kesalahan. Semua wewenang dipegang penuh oleh Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. "Jika ada PTS yang terbukti terlibat, tentu mereka tidak memiliki niat baik menyelenggarakan pendidikan tinggi," ucapnya.
"Saya tentu mendukung dilakukan tindakan tegas. Dan Dikti yang berwenang melakukan tindakan tegas sebagai pihak yang memberikan izin penyelenggaraan pendidikan tinggi," imbuhnya.
Diakui Edy, pihaknya tidak mampu setiap hari memantau perkembangan dari sekitar 3.400 PTS se-Indonesia. Karenanya, jika terjadi kasus-kasus pelanggaran, ia berharap Dikti mampu bersikap tegas menindak pihak yang bersalah. Edy pun menuntut adanya penegakan aturan main secara adil.
Karena menurutnya, tidak menutup kemungkinan kejadian yang sama juga terjadi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). "Harusnya sudah tidak ada diskriminasi terhadap PTS. Jika memang bersalah tentu harus ditindak meski itu PTN," ungkapnya.
Penindakan bukan selalu berarti pencabutan izin, bisa juga dengan pencabutan pemberian beasiswa atau dana bantuan. Dan ini harus berlaku adil untuk PTS maupun PTN," tuturnya.
(maf)