Kisah nyata istri yang memandang rendah sang suami

Senin, 23 Desember 2013 - 06:35 WIB
Kisah nyata istri yang...
Kisah nyata istri yang memandang rendah sang suami
A A A
Sindonews.com - Dapur Solo, salah satu restoran di tengah kota Jakarta yang ramai dikunjungi banyak orang, bahkan tawaran franchise pun banyak berdatangan. Namun, kesuksesan yang diperolehnya tidaklah mudah diraih. Bermula dari rasa kejenuhan, sebuah inspirasi muncul secara tiba-tiba.

"Tiba-tiba saya ingat saya suka makan rujak. Memang setiap hari waktu saya ngidam, saya selalu makan rujak dan ternyata ide itu terus menggebu-gebu di hati saya. Udah lah, jalanin," ujar Swandani membuka kesaksian hidupnya.

Hanya bermodalkan uang seratus ribu rupiah, Swandani memulai usahanya berjualan rujak. Dengan gigihnya dan tanpa rasa malu, dia berkeliling dengan sepeda untuk menawarkan dagangannya.

"Setiap orang yang ketemu saya di komplek perumahan, saya kasih brosur dan ternyata hasilnya memang lumayan. Besoknya seorang tetangga menelepon, "Saya mau rujak dua bungkus', wah saya gembira sekali saat itu. Wah, Laku deh rujaknya padahal dengan fotokopi brosur. Saya bikin, seenak mungkin pada saat itu."

Banyaknya pelanggan membuat Swandani membuka garasi di rumahnya sebagai tempat berjualan. Namun, batinnya mulai bertanya ketika kesuksesan itu datang dalam hidupnya. Ia sebenarnya kesal saat mau memulai usaha di bidang makanan, namun karena paksaan suami, ia pun melakukan juga.

Sejak kuliah, Swandani mempunyai cita-cita untuk keliling dunia, namun pupus sudah harapannya ketika dia menikah dengan Heru, suaminya. Ia tidak dapat bekerja di luar kantor. Berbagai usaha dilakukan agar suaminya mau mengizinkannya untuk mengembangkan karir, tetapi itu sia-sia.

Heru berpikiran bila Swandani mau bekerja maka ia harus bekerja di rumah saja. Menurutnya, usia pernikahan yang masih muda dan masih belum memiliki anak sangatlah rentan dengan permasalahan klasik orang tua yang keduanya berkarir ke depannya, yakni apakah berkarir atau membiarkan anak diurus oleh sang pembantu atau suster. Namun, hal itu ternyata merupakan seperti kekangan bagi istrinya dan ia tidak menyadarinya.

Swandani yang sudah mulai kesal dengan perilaku sang suami pun mulai membuat perhitungan. Karirnya yang sudah terhambat dijadikan sebagai motif pembuktian bahwa dengan bekerja di rumah pun, ia dapat sukses bahkan bisa lebih sukses daripada penghasilan suaminya. Dan hal itu menjadi benar-benar menjadi kenyataan.

Keberhasilan yang ia terima dengan berjualan membuat Swandini menjadi seorang yang sombong. Ia mulai merendahkan Heru, suaminya yang pendapatannya lebih kecil daripadanya. Konflik pun mulai terjadi setelah itu. Tidak ada hari tanpa bertengkar dan bertengkar.

Saat terjadi keributan, Swandini tidak jarang mengeluarkan kata-kata pelecehan kepada sang suami. Seringnya kata-kata kasar yang dikeluarkan istrinya, membuat Heru menjadi sakit hati. Dalam batinnya, ia mulai berjanji bahwa apa yang dikatakan oleh istrinya itu adalah salah besar.

Konflik keluarga pun terus berlanjut ketika suaminya ingin bergabung dengan usaha Swandani. "Saya mau ikut kelola rumah makan ini. Saya mau bikin menjadi besar. Saya punya obsesi seperti itu karena saya punya komitmen bahwa satu keluarga satu kepemilikkan gitu," kata Heru.

Permintaan suaminya itu ditolak oleh sang istri yang menganggap bahwa suaminya hanya mencari keuntungan setelah ia seorang diri membangun usahanya dengan berjerih lelah. Selain itu, rasa dendam yang masih tersimpan kuat dalam diri Swandini karena suruhan melakukan hal yang tidak disukainya adalah alasan terkuat untuk tidak menerima Heru menjadi bagian dalam perusahaan itu.

Namun, di saat kesuksesan telah Swandini dapatkan ada satu perasaan yang menghantui dirinya. Perasaan yang selama ini belum pernah dialaminya.

"Saya mempunyai penghasilan yang sekarang ini boleh dibilang suami saya sudah kalah dengan saya. Saya lebih besar penghasilannya. Konflik-konflik itu yang membuat hidup saya pada saat itu saya merasakan suatu kekosongan dan saya ingin mempunyai suatu keluarga yang dimana saya mempunyai penghasilan yang cukup. Di samping itu, saya juga ingin saya punya keluarga yang rukun, yang saling menerima. Itu kerinduan saya saat itu," ujarnya.

"Dan kebanyakan selama ini kami saling menuntut seperti itu. Istrinya saya menuntut saya berubah jadi saya bisa ikut apa saja. Saya bilang kamu yang harus berubah dan itulah konflik yang tidak berkesudahan," kata Heru dengan nada datar.

Dalam waktu dan tempat yang berbeda, Swandani dan Heru mengikuti sebuah pertemuan. Heru mengikuti camp khusus pria, sedangkan Swandani mengikuti camp wanita bijak. Di sana, tanpa disadari mereka membuat sebuah keputusan yang akan mengubah kehidupan keluarga mereka.

Sepasang suami istri ini mendapatkan pencerahan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah. Pihak wanita sadar bahwa selama ini ia tidak tunduk terhadap sang suami dan menganggap bahwa berkat yang datang itu benar-benar atas kerja kerasnya. Sedangkan, di pihak pria menyadari bahwa ia sedikit sekali mendengarkan apa yang dikatakan oleh sang istri, padahal hanya itu yang perlu dia sediakan bagi istrinya.

Pada saat sepasang suami istri itu pulang ke rumah mereka dari tempat pertemuan yang berbeda tersebut, mereka pun saling membuka hati dan bermaafan. Mereka berkomitmen membuka lembaran yang baru. Saat terjadi rekonsiliasi itulah, sebuah kata-kata ajaib keluar dari mulut Swandini.

"Saya mempersilakan suami saya untuk mengambil alih pimpinan atau nahkoda kapal ini dan suami saya menerima dengan senang hati. Selama ini, dia pun merasakan penolakan terhadap dirinya untuk mengemudikan perusahaan ini."

Penundukkan diri Swandani terhadap suaminya dan kesehatian mereka berdua, Tuhan memberkati usaha mereka dengan luar biasa. Dari sebuah garasi, kini Dapur Solo berkembang dengan dua outlet dan mengayomi 80 karyawan.

"Terbukti ketika kita setia dan kita taat pada firman-Nya dan hukum-Nya dalam menjalani proses ini ternyata kita dibentuk dalam sesuatu yang lebih indah," kata Heru.

"Saya sangat bersyukur sekali pada Tuhan Yesus dan saya merasakan Tuhan Yesus begitu baik pada saya. Tuhan telah memberi semua apa yang saya impikan, apa yang saya cita-citakan. Keluarga saya dipulihkan dan saya merasakan sekali berkat Tuhan di keluarga saya saat ini," ujar Swandani mengakhiri kesaksian keluarga mereka.

(Sumber Kesaksian: Swandani Kumarga/www.jawaban.com)
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0621 seconds (0.1#10.140)