Ketika kasih melampaui sekat perbedaan
A
A
A
Sindonews.com - Suasana rumah sederhana di Jalan Semeru Kelurahan/Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri terlihat lengang. Sekilas tidak ada yang istimewa di rumah itu. Hanya sejumlah foto tampak terpajang di dinding maupun kaca depan rumah.
Namun kalau dicermati, sejumlah peristiwa menarik terekam dalam foto. Seperti gambar sekelompok orang yang sedang membendung sungai yang meluap, penyaluran air bersih dan anak-anak yang sedang bermain. Begitulah suasana rumah yang menjadi tempat berkumpulnya relawan sosial dari Gereja Katolik Santo Matius yang tergabung dalam lembaga Karina (Charitas Indonesia).
Siang itu, tiga orang relawan sedang berkumpul di dalam rumah. Mereka terlihat serius berbincang, membicarakan kegiatan yang bakal digelar untuk merayakan Natal. Seperti biasanya, perayaan Natal akan diisi dengan acara untuk sekitar 20 anak yang tergabung dalam sanggar bocah dolanan (Sang Bodol) yang dikelola para relawan.
Jika tahun lalu, beberapa anak akan diajak tamasya ke Surabaya untuk merayakan Natal, begitupula yang akan berlangsung tahun ini. Kegiatan ini dilakukan agar anak-anak bisa merasakan keceriaan Natal. “Tahun ini rencananya beberapa anak akan kami ajak rekreasi ke Pandaan. Tapi ini masih rencana dan sedang kami bahas,” ujar FA Yunianto (37), salah satu relawan.
Kegiatan yang digelar Yunianto tidak terbatas bagi anak-anak. Pasalnya kegiatan utama yang dilakukan para relawan tersebut sebenarnya justru seputar bencana. Ya, Yunianto dan 12 rekannya yang tergabung dalam Karina selama ini memfokuskan kegiatannya pada program pengurangan risiko bencana.
Mereka aktif mendampingi ratusan warga di tiga wilayah yaitu Dusun Sumbersuko Desa Asmorobangun Kecamatan Puncu, Dusun Kapasan Desa Gadungan Kecamatan Puncu dan Dusun Sumberdono Kelurahan/Kecamatan Pare. Ketiga wilayah itu merupakan daerah rawan bencana banjir lahar dingin Gunung Kelud.
Sejak tahun 2008, para relawan tersebut rajin memberikan sosialisasi pada warga tentang antisipasi dini terjadinya bencana alam. Mereka memberikan berbagai pelatihan tentang bencana, seperti pembuatan dapur alam, pendirian tenda evakuasi dan tanda-tanda terjadinya bencana alam.
Semua materi itu diberikan agar masyarakat memahami pentingnya upaya penyelamatan dan langkah yang harus diambil jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam. “Kami ingin masyarakat peka dan tanggap terhadap lingkungan,terutama jika bencana alam terjadi,” imbuh Yunianto.
Tidak hanya antisipasi bencana. Para relawan juga terjun langsung membantu warga ketika bencana benar-benar terjadi. Hal ini terlihat, ketika tahun 2008 lalu, Dusun Sumberdono, salah satu dusun binaan mereka pora-poranda disapu banjir lahar dingin Gunung Kelud. Para relawan langsung melakukan evakuasi dan membantu warga membendung luapan sungai aliran lahar.
Bahkan aksi relawan tidak hanya pada tingkat lokal. Mereka juga terlibat pada sejumlah aksi kemanusiaan di daerah bencana di luar Kediri, seperti gempa Padang dan Tasikmalaya yang berlangsung dua tahun lalu. Saat itu, seorang relawan bahkan sempat disandera saat menyalurkan bantuan bagi korban gempa Padang.
“Ada kesalahpahaman dengan warga, sehingga ketika kami sedang menyalurkan bantuan, warga menghadang kami dengan membawa senjata tajam dan bom Molotov,” kenang Vulgensius Mugi Santoso (40), relawan lainnya.
Selama lebih dari tiga tahun, para relawan yang juga aktifis gereja itu tidak menerima dana sepeser pun untuk membiayai kegiatannya tersebut. Mereka rela merogoh kocek pribadinya demi kerja sosial yang mereka lakukan. Padahal, kebanyakan relawan hidup pas-pasan. Para relawan itu ada yang menjadi pedagang jajanan ,penjual ikan dan buruh pabrik.
Tak ayal, mereka sering mendapat cibiran atas aktifitas yang dijalaninya. Namun, dukungan dari keluarga membuat para relawan tidak kendur untuk tetap menjalani jalan pengabdian yang telah dipilihnya. “Kami sering mendapat omongan sinis, wong ngurus keluarga tidak becus kok mau ngurus orang lain. Maklum,penghasilan kami memang kecil. Tapi karena keluarga ternyata justru ikut mendorong kami untuk maju, kami akhirnya mampu bertahan dengan pelayanan kami sampai sekarang,” kata Yunianto.
Mulai tahun ini, para relawan tersebut bisa bernafas lega. Lembaga yang menaungi mereka mulai memberikan insentif bulanan. Tapi hal itu tidak banyak berpengaruh bagi aksi para relawan. Insentif bulanan yang besarnya berkisar antara Rp500.000-1 juta itu sangat kecil dibanding kebutuhan operasional yang harus mereka keluarkan.
Pasalnya, hampir setiap hari mereka harus berkeliling menyambangi daerah binaannya dan mengeluarkan uang untuk ongkos transportasi. Namun, lagi-lagi hal tersebut tidak menyurutkan langkah para relawan. “Kalau dihitung-hitung memang kurang. Tapi dulu pun,sewaktu belum ada insentif kami juga bisa melangkah. Artinya,sisi materi tidak terlalu berpengaruh pada kegiatan kami. Ada atau tidak ada uang, kami tetap jalan,” tandas Yunianto.
Berkutat dengan kegiatan penanganan bencana tidak selamanya berjalan mulus. Para relawan merasakan kesulitan,terutama ketika harus bersinggungan dengan kepercayaan masyarakat yang berhubungan dengan mitos dan adat setempat.
Misalnya,kepercayaan masyarakat tentang pemilihan lokasi evakuasi yang seringkali justru bisa membahayakan keselamatan mereka. “Ada mitos, kalau mau menyelamatkan diri harus lari ke selatan sungai, padahal selatan sungai itu kerawanannya justru lebih besar,” ujar Mugi Santoso.
Awalnya, para relawan sulit untuk mengatasi benturan itu. Tapi dengan pendekatan dan penjelasan yang terus dilakukan,warga akhirnya sadar. Bahkan warga saat ini telah memahami peta kerawanan bencana di sekitar tempat tinggalnya. “Kami berusaha mendekati warga. Kami berbicara dari hati ke hati, tidak kaku atau formal sehingga akhirnya mereka bisa memahami penjelasan dari kami,”imbuhnya.
Tidak hanya itu. Latar belakang agama yang berbeda, sempat menjadi ganjalan bagi aktifitas para relawan. Mereka sempat dipandang sebelah mata karena beragama Katolik. Isu miring terkait agama tidak jarang menerpa karya kemanusiaan yang mereka jalankan. Rasa curiga seolah membayangi langkah mereka.
Tapi para relawan itu menunjukkan apa yang mereka perbuat semata-mata demi kemanusiaan. Tidak ada embel-embel misi agama di baliknya. Sikap ini pun berbuah manis. Kini warga tidak lagi mempersoalkan perbedaan agama.
Sebaliknya, justru bekerja sama erat dengan para relawan untuk menanggulangi bencana. Bahkan, eratnya persaudaraan itu semakin meluas. Tidak hanya menanggulangi bencana alam, melainkan juga bencana sosial.
Warga dan para relawan kini bahu membahu menumbuhkan kembali semangat gotong royong dan toleransi antar umat beragama. Misalnya, dengan saling menjaga rumah ibadah dan peribadatan ketika berlangsungnya perayaan hari raya keagamaan. Mereka juga bahu membahu mendirikan musala di lahan bekas bencana.
“Kami selalu berpegang pada motto kami yaitu belajar bersama, menyebarkan persaudaraan dan membumi. Kami ingin menunjukkan bahwa kemanusiaan itu mampu melampaui sekat-sekat perbedaan,” tegas Yunianto.
Datangnya Natal membawa semangat baru bagi para relawan. Peristiwa kelahiran Yesus membuat mereka semakin bersemangat menjalankan kegiatannya. “Bagi saya, inti Natal adalah kasih. Dan kasih itu juga yang kami perjuangkan dalam setiap aktifitas kami. Dengan bercermin pada peristiwa Natal, saya semakin dikuatkan dalam kegiatan ini,” tambah bapak tiga anak itu.
Bagi warga, kiprah para relawan ini sangat berarti. Pemahaman tentang bencana menjadi pengetahuan baru bagi warga. Bahkan selama ini, pemahaman tersebut tidak pernah diperoleh dari pemerintah daerah. Selain itu, para relawan juga dinilai cepat memberikan bantuan bagi warga ketika bencana terjadi. Itulah yang membuat warga tidak lagi mempersoalkan masalah perbedaan keyakinan diantara mereka.
“Tahun 2008 ketika banjir lahar menimpa daerah ini, relawan Karina yang pertama masuk. Saat itu, tiga hari setelah peristiwa berlangsung, sebelum pemerintah datang, mereka sudah melakukan penyelamatan dan memberikan bantuan pada warga,” kata Karyono (40), Ketua RW 2 Dusun Kapasan.
Sementara itu, pastor kepala Paroki Santo Matius Pare Rm Yuni Wimarta CM mengatakan, aktifitas para relawan Karina itu murni demi kemanusiaan. Pihak gereja hanya memberikan dukungan dan memfasilitas kegiatan para relawan tanpa menyangkut misi tertentu.
Bahkan, pihak gereja berharap banyak pihak lain yang tergerak untuk menjalankan karya serupa. “Semakin banyak yang terdorong semakin baik karena ini menyangkut keselamatan warga kita,” katanya.
Bertepatan dengan momentum hari raya Natal, pastor yang juga menjadi vikaris episkopal (koordinator gereja Katolik) di Kediri itu berharap, karya para relawan bisa menjadi terang bagi masyarakat. Terang tersebut diharapkan bisa menuntun warga pada kehidupan yang lebih baik.
“Sebagaimana tema natal kita tahun ini tentang terang,saya berharap relawan Karina bisa menjadi terang. Karena uluran tangan bagi warga yang tertimpa bencana seperti terang dalam kegelapan. Mereka yang kena bencana biasanya bingung dan tidak bisa berbuat banyak, sehingga jika ada yang mengulurkan tangan tentu akan sangat berarti. Tapi sekali lagi, terang ini adalah terang kemanusiaan tanpa tendensi apapun,” imbuhnya.
(Sumber kesaksian: Cornelius Vrian/www.ekaristi.org)
Namun kalau dicermati, sejumlah peristiwa menarik terekam dalam foto. Seperti gambar sekelompok orang yang sedang membendung sungai yang meluap, penyaluran air bersih dan anak-anak yang sedang bermain. Begitulah suasana rumah yang menjadi tempat berkumpulnya relawan sosial dari Gereja Katolik Santo Matius yang tergabung dalam lembaga Karina (Charitas Indonesia).
Siang itu, tiga orang relawan sedang berkumpul di dalam rumah. Mereka terlihat serius berbincang, membicarakan kegiatan yang bakal digelar untuk merayakan Natal. Seperti biasanya, perayaan Natal akan diisi dengan acara untuk sekitar 20 anak yang tergabung dalam sanggar bocah dolanan (Sang Bodol) yang dikelola para relawan.
Jika tahun lalu, beberapa anak akan diajak tamasya ke Surabaya untuk merayakan Natal, begitupula yang akan berlangsung tahun ini. Kegiatan ini dilakukan agar anak-anak bisa merasakan keceriaan Natal. “Tahun ini rencananya beberapa anak akan kami ajak rekreasi ke Pandaan. Tapi ini masih rencana dan sedang kami bahas,” ujar FA Yunianto (37), salah satu relawan.
Kegiatan yang digelar Yunianto tidak terbatas bagi anak-anak. Pasalnya kegiatan utama yang dilakukan para relawan tersebut sebenarnya justru seputar bencana. Ya, Yunianto dan 12 rekannya yang tergabung dalam Karina selama ini memfokuskan kegiatannya pada program pengurangan risiko bencana.
Mereka aktif mendampingi ratusan warga di tiga wilayah yaitu Dusun Sumbersuko Desa Asmorobangun Kecamatan Puncu, Dusun Kapasan Desa Gadungan Kecamatan Puncu dan Dusun Sumberdono Kelurahan/Kecamatan Pare. Ketiga wilayah itu merupakan daerah rawan bencana banjir lahar dingin Gunung Kelud.
Sejak tahun 2008, para relawan tersebut rajin memberikan sosialisasi pada warga tentang antisipasi dini terjadinya bencana alam. Mereka memberikan berbagai pelatihan tentang bencana, seperti pembuatan dapur alam, pendirian tenda evakuasi dan tanda-tanda terjadinya bencana alam.
Semua materi itu diberikan agar masyarakat memahami pentingnya upaya penyelamatan dan langkah yang harus diambil jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam. “Kami ingin masyarakat peka dan tanggap terhadap lingkungan,terutama jika bencana alam terjadi,” imbuh Yunianto.
Tidak hanya antisipasi bencana. Para relawan juga terjun langsung membantu warga ketika bencana benar-benar terjadi. Hal ini terlihat, ketika tahun 2008 lalu, Dusun Sumberdono, salah satu dusun binaan mereka pora-poranda disapu banjir lahar dingin Gunung Kelud. Para relawan langsung melakukan evakuasi dan membantu warga membendung luapan sungai aliran lahar.
Bahkan aksi relawan tidak hanya pada tingkat lokal. Mereka juga terlibat pada sejumlah aksi kemanusiaan di daerah bencana di luar Kediri, seperti gempa Padang dan Tasikmalaya yang berlangsung dua tahun lalu. Saat itu, seorang relawan bahkan sempat disandera saat menyalurkan bantuan bagi korban gempa Padang.
“Ada kesalahpahaman dengan warga, sehingga ketika kami sedang menyalurkan bantuan, warga menghadang kami dengan membawa senjata tajam dan bom Molotov,” kenang Vulgensius Mugi Santoso (40), relawan lainnya.
Selama lebih dari tiga tahun, para relawan yang juga aktifis gereja itu tidak menerima dana sepeser pun untuk membiayai kegiatannya tersebut. Mereka rela merogoh kocek pribadinya demi kerja sosial yang mereka lakukan. Padahal, kebanyakan relawan hidup pas-pasan. Para relawan itu ada yang menjadi pedagang jajanan ,penjual ikan dan buruh pabrik.
Tak ayal, mereka sering mendapat cibiran atas aktifitas yang dijalaninya. Namun, dukungan dari keluarga membuat para relawan tidak kendur untuk tetap menjalani jalan pengabdian yang telah dipilihnya. “Kami sering mendapat omongan sinis, wong ngurus keluarga tidak becus kok mau ngurus orang lain. Maklum,penghasilan kami memang kecil. Tapi karena keluarga ternyata justru ikut mendorong kami untuk maju, kami akhirnya mampu bertahan dengan pelayanan kami sampai sekarang,” kata Yunianto.
Mulai tahun ini, para relawan tersebut bisa bernafas lega. Lembaga yang menaungi mereka mulai memberikan insentif bulanan. Tapi hal itu tidak banyak berpengaruh bagi aksi para relawan. Insentif bulanan yang besarnya berkisar antara Rp500.000-1 juta itu sangat kecil dibanding kebutuhan operasional yang harus mereka keluarkan.
Pasalnya, hampir setiap hari mereka harus berkeliling menyambangi daerah binaannya dan mengeluarkan uang untuk ongkos transportasi. Namun, lagi-lagi hal tersebut tidak menyurutkan langkah para relawan. “Kalau dihitung-hitung memang kurang. Tapi dulu pun,sewaktu belum ada insentif kami juga bisa melangkah. Artinya,sisi materi tidak terlalu berpengaruh pada kegiatan kami. Ada atau tidak ada uang, kami tetap jalan,” tandas Yunianto.
Berkutat dengan kegiatan penanganan bencana tidak selamanya berjalan mulus. Para relawan merasakan kesulitan,terutama ketika harus bersinggungan dengan kepercayaan masyarakat yang berhubungan dengan mitos dan adat setempat.
Misalnya,kepercayaan masyarakat tentang pemilihan lokasi evakuasi yang seringkali justru bisa membahayakan keselamatan mereka. “Ada mitos, kalau mau menyelamatkan diri harus lari ke selatan sungai, padahal selatan sungai itu kerawanannya justru lebih besar,” ujar Mugi Santoso.
Awalnya, para relawan sulit untuk mengatasi benturan itu. Tapi dengan pendekatan dan penjelasan yang terus dilakukan,warga akhirnya sadar. Bahkan warga saat ini telah memahami peta kerawanan bencana di sekitar tempat tinggalnya. “Kami berusaha mendekati warga. Kami berbicara dari hati ke hati, tidak kaku atau formal sehingga akhirnya mereka bisa memahami penjelasan dari kami,”imbuhnya.
Tidak hanya itu. Latar belakang agama yang berbeda, sempat menjadi ganjalan bagi aktifitas para relawan. Mereka sempat dipandang sebelah mata karena beragama Katolik. Isu miring terkait agama tidak jarang menerpa karya kemanusiaan yang mereka jalankan. Rasa curiga seolah membayangi langkah mereka.
Tapi para relawan itu menunjukkan apa yang mereka perbuat semata-mata demi kemanusiaan. Tidak ada embel-embel misi agama di baliknya. Sikap ini pun berbuah manis. Kini warga tidak lagi mempersoalkan perbedaan agama.
Sebaliknya, justru bekerja sama erat dengan para relawan untuk menanggulangi bencana. Bahkan, eratnya persaudaraan itu semakin meluas. Tidak hanya menanggulangi bencana alam, melainkan juga bencana sosial.
Warga dan para relawan kini bahu membahu menumbuhkan kembali semangat gotong royong dan toleransi antar umat beragama. Misalnya, dengan saling menjaga rumah ibadah dan peribadatan ketika berlangsungnya perayaan hari raya keagamaan. Mereka juga bahu membahu mendirikan musala di lahan bekas bencana.
“Kami selalu berpegang pada motto kami yaitu belajar bersama, menyebarkan persaudaraan dan membumi. Kami ingin menunjukkan bahwa kemanusiaan itu mampu melampaui sekat-sekat perbedaan,” tegas Yunianto.
Datangnya Natal membawa semangat baru bagi para relawan. Peristiwa kelahiran Yesus membuat mereka semakin bersemangat menjalankan kegiatannya. “Bagi saya, inti Natal adalah kasih. Dan kasih itu juga yang kami perjuangkan dalam setiap aktifitas kami. Dengan bercermin pada peristiwa Natal, saya semakin dikuatkan dalam kegiatan ini,” tambah bapak tiga anak itu.
Bagi warga, kiprah para relawan ini sangat berarti. Pemahaman tentang bencana menjadi pengetahuan baru bagi warga. Bahkan selama ini, pemahaman tersebut tidak pernah diperoleh dari pemerintah daerah. Selain itu, para relawan juga dinilai cepat memberikan bantuan bagi warga ketika bencana terjadi. Itulah yang membuat warga tidak lagi mempersoalkan masalah perbedaan keyakinan diantara mereka.
“Tahun 2008 ketika banjir lahar menimpa daerah ini, relawan Karina yang pertama masuk. Saat itu, tiga hari setelah peristiwa berlangsung, sebelum pemerintah datang, mereka sudah melakukan penyelamatan dan memberikan bantuan pada warga,” kata Karyono (40), Ketua RW 2 Dusun Kapasan.
Sementara itu, pastor kepala Paroki Santo Matius Pare Rm Yuni Wimarta CM mengatakan, aktifitas para relawan Karina itu murni demi kemanusiaan. Pihak gereja hanya memberikan dukungan dan memfasilitas kegiatan para relawan tanpa menyangkut misi tertentu.
Bahkan, pihak gereja berharap banyak pihak lain yang tergerak untuk menjalankan karya serupa. “Semakin banyak yang terdorong semakin baik karena ini menyangkut keselamatan warga kita,” katanya.
Bertepatan dengan momentum hari raya Natal, pastor yang juga menjadi vikaris episkopal (koordinator gereja Katolik) di Kediri itu berharap, karya para relawan bisa menjadi terang bagi masyarakat. Terang tersebut diharapkan bisa menuntun warga pada kehidupan yang lebih baik.
“Sebagaimana tema natal kita tahun ini tentang terang,saya berharap relawan Karina bisa menjadi terang. Karena uluran tangan bagi warga yang tertimpa bencana seperti terang dalam kegelapan. Mereka yang kena bencana biasanya bingung dan tidak bisa berbuat banyak, sehingga jika ada yang mengulurkan tangan tentu akan sangat berarti. Tapi sekali lagi, terang ini adalah terang kemanusiaan tanpa tendensi apapun,” imbuhnya.
(Sumber kesaksian: Cornelius Vrian/www.ekaristi.org)
(kri)