Keajaiban Tuhan pada bayi mungil kami
A
A
A
Sindonews.com - Dua persalinan yang saya alami dahulu, berjalan lancar. Dan kali ini, saya mengharapkan hal yang sama terjadi kembali. Tetapi, ternyata, dua bulan sebelum waktunya, kedua kaki saya mengalami pembengkakan. Lengan dan wajah saya berubah menjadi tembem. Karena timbul bercak-bercak di tubuh, dokter menganjurkan saya agar memeriksakan diri ke rumah sakit.
Dua hari berikutnya saya harus berbaring di tempat tidur rumah sakit. Letaknya di sebelah kiri dalam sebuah kamar yang sinar lampunya remang-remang. Saya tidak boleh dikunjungi, nonton televisi atau berbicara melalui telepon. Para dokter amat prihatin dengan tekanan darah saya yang naik dan dengan terdapatnya sejumlah besar protein di dalam urine saya.
Indikasi itu menunjukkan bahwa kedua ginjal saya tidak berfungsi normal. Setelah dua hari menjalani pemeriksaan yang intensif, akhirnya para dokter memutuskan melakukan bedah caesar. Saya sebenarnya memang tidak tahan lagi mengalami keadaan seperti ini sedangkan masa kehamilan yang masih harus saya lalui adalah sekitar dua bulan lagi.
Saya dipindahkan ke rumah sakit lain yang merupakan pusat perawatan neonatal yang lengkap. Kami percaya sepenuhnya bahwa Tuhanlah yang akan menangani segalanya. Apa pun kehendak-Nya adalah pasti yang terbaik bagi kami. Namun, kekhawatiran saya belum reda juga. Setelah mendengar pertama kali tentang toxemia (keracunan darah), hati saya rasanya seperti mau copot.
Setelah rasa takut itu saya coba pendam, maka emosi saya jadi mudah dikendalikan. Dengan hati-hati saya sembunyikan rasa takut itu supaya tidak ketahuan para dokter dan perawat pada waktu mereka hadir di sekeliling saya.
Akhirnya, pada pukul 6.58 sore, lahirlah seorang bayi perempuan dengan berat satu setengah kilo. Suatu kenyataan telah terjadi di luar dugaan. Bayi itu bukan laki-laki seperti yang kami doakan. Ia tidak lahir di rumah sakit yang telah kami pilih. Dan dokter kami tidak mampu menangani proses kelahirannya. Kami juga tahu bahwa ia tidak boleh dibawa pulang selama beberapa waktu.
Begitu saya siuman setelah dioperasi, ternyata suami saya, Cal bersama pendeta sudah ada di samping tempat tidur saya. Saya menangkap sinar mata mereka yang penuh was-was dan keprihatinan atas keadaan bayi kami. Lalu, saya memaksakan diri melampiaskan segala pertanyaan yang selama ini sangat mengganjal di dalam pikiran saya sambil tersengal-sengal menahan rasa sakit. Selamatkah si kecil buah hati kami itu?
Cal pura-pura tidak kecewa. Ia bilang kami mendapat bayi perempuan lagi. Bagi saya, tidak menjadi masalah apakah bayi saya yang baru lahir itu laki-laki atau perempuan. Yang saya ingin tahu adalah apakah nanti bila saya meninggalkan rumah sakit saya akan menggendong makhluk aneh atau bayi yang masih bernapas.
Saya menarik napas lega ketika mendengar bahwa bayi kami itu ternyata masih hidup. Tetapi, ketika Cal bilang bahwa berat badan Charity hanya sekitar satu setengah kilo, maka hati saya sudah pesimis atas keselamatan bayi kami itu. "Kau sudah lihat dia?" tanya saya. "Ya, malahan sayalah yang mendorong kereta tidurnya dari kamar operasi ke kamar perawatan intensif (ICU)", jawab suami saya dengan rasa bangga.
Sungguh tak terkatakan perasaan saya ketika itu. Saya tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Pokoknya, saya tak mau mengalami peristiwa apa pun yang tidak enak. Perlahan-lahan perasaan panik mulai merayap dan menghantui pikiran saya selama berbaring di rumah sakit. Ruang perawatan intensif terasa seperti tempat menunggu datangnya maut sewaktu-waktu.
Bagai pencuri, maut mengendap-endap hendak merampas nyawa para pasien di ruang itu dari orang-orang yang mengasihi mereka. Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah berdoa terus bagi bayi perempuan kami yang "mini" itu. Bagaimanapun juga, kami yakin Tuhan dapat mengubah hidup kami. Namun, sebuah pertanyaan besar masih saja tetap menghantui kami. Kematian atau kehidupankah yang akan Allah pilih untuk mendidik kami?
Meskipun Cal sering mengunjungi bayi kami, saya tetap tidak diperkenankan turun dari tempat tidur. Beberapa perawat Charity cukup peka sehingga mereka membuatkan foto close up Polaroid dari bayi saya itu dan memberikan kepada Cal untuk diserahkan kepada saya.
Bersama foto itu mereka juga menyisipkan sebuah popok bayi yang ekstra kecil dan baru kali itulah saya melihatnya. Hasil jepretan foto itu bahkan memperlihatkan dengan jelas sekali bahwa popok yang sudah super kecil itu masih terlampau besar untuk ukuran tubuh buah hati kami.
Rasa kantuk menghilang pada sisa malam hari itu ketika saya dengan perasaan takut yang amat mencekam berdoa agar Charity dapat lolos dari maut. Keesokan harinya, pendeta kami bersama istrinya menjenguk. Mereka memang tidak memberi jaminan yang muluk-muluk. Tetapi, hati kami yang sedang terhimpit kesedihan menjadi lega dibungkus penghiburan.
"Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam. Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan." (Mazmur 91:5,15).
Tiga hari kemudian, suami saya menawarkan masuk ke ruang perawatan dengan memakai kursi roda. Dengan malu harus saya akui bahwa pada waktu itu saya sungguh enggan untuk menengok Charity. Saya sudah sangat yakin bahwa ia pasti akan mati. Sebab semua dokter sudah angkat tangan.
Saya khawatir pada waktu melihatnya nanti saya tidak akan mampu menyaksikan bayi saya yang sedang menderita. Tetapi, bagaimana caranya untuk dapat mengutarakan perasaan saya itu kepada suami saya? Tak ada pilihan lain. Saya terpaksa pergi juga.
Kami turun ke lantai bawah dan melewati ruang perawatan biasa yang di dalamnya penuh bayi-bayi sehat yang baru lahir dan montok. Akhirnya, kami berhenti di ruang perawatan khusus. Di situlah kenyataan menampar wajah saya dengan keras dan telak. Segera saya tahu bahwa diri saya tidak siap menghadapi situasi sengeri itu.
Inkubator-inkubator dan alat-alat pemisah berderet di ruang itu. Dalam setiap inkubator terdapat seorang anak manusia bertubuh kecil sekali. Tak seorang pun dari mereka yang sedikit saja mirip bayi montok pada umumnya, sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan oleh setiap orang tua.
Pada tubuh bayi-bayi itu penuh dilengkapi selang-selang dan tabung-tabung dari berbagai peralatan mesin yang mencatat angka-angka dan membuat grafik. Sesekali mesin-mesin tersebut berbunyi. Petugas dengan gerak cepat menanggapi peringatan itu secara profesional.
Lebih Kecil dari yang Diharapkan
Cal berhenti mendorong kursi roda saya di dekat sebuah pemisah (isolasi) yang sudah saya duga merupakan tempat tidur Charity. Bayi mungil yang saya saksikan di depan saya itu ternyata jauh lebih kecil daripada yang terlihat dalam foto close up polaroid yang dibuat dahulu itu.
Saya berusaha keras menyingkirkan suara-suara mesin yang gaduh dan menghalau para perawat yang sedang sibuk agar saya dapat melihat dengan jelas dan leluasa sosok bayi saya itu. Sebuah masker hitam menutup rapat kepala Charity agar kedua matanya terlindung dari sinar.
Rambutnya yang putih halus memenuhi pundak dan punggungnya. Sedangkan seluruh tubuhnya hanya tulang berbalut kulit. Yang lebih mengejutkan lagi, bayi-bayi lain di sekitarnya malah tubuhnya jauh lebih kecil daripada Charity.
Sementara itu, seorang perawat wanita yang ramah dan baik hati menemani kami di kamar isolasi itu. Ia mengerti sekali bahwa itulah kunjungan saya yang pertama kali. Dengan ringkas dan jelas ia menjelaskan fungsi semua kabel dan monitor yang ada. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum seakan-akan mengerti dengan baik semua penjelasannya itu.
Padahal, hati saya penuh diliputi tanda tanya. Cal dengan lembut mengusap-usap kulit Charity yang keriput sedangkan saya tak henti-henti mengamatinya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut saya. Sampai berakhir jam kunjungan, saya terus diliputi perasaan aneh.
Kunjungan saya yang pertama kali ke bangsal anak-anak itu terasa singkat. Selain itu fisik saya belum cukup kuat bila harus terlalu lama berada di luar tempat tidur. Saya juga tidak akan mampu bila harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan, yaitu kemungkinan bayi kami tidak akan dapat bertahan hidup lebih lama lagi.
Lewat beberapa hari kemudian, kesehatan saya mulai pulih. Tetapi, kami semakin was-was dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi atas diri Charity. Pada pukul dua subuh, seorang perawat ICU membangunkan saya dengan membawa berita bahwa Charity mengalami sesak napas. Dadanya harus dilubangi agar udara dapat ke luar dari paru-parunya. Para dokter perlu tanda tangan saya sebelum memasukkan sebuah tabung ke dalam dada yang sangat kecil itu.
Setiap laporan medis ibarat angin yang tak dapat ditebak arahnya. Perasaan kami terombang-ombang dari penuh harap menjadi kuatir lalu berharap lagi. Selama tujuh puluh dua hari di rumah sakit, ancaman kematian semakin menjadi-jadi. Dan sementara Charity sedang bergumul terus supaya tetap hidup, kematian terus pula menyelinap di balik masalah-masalah baru yang muncul.
Pada saat meninggalkan rumah sakit, saya menangis sedih. Ibu-ibu yang melahirkan sudah diizinkan pulang semuanya. Bayi-bayi sehat asyik terlelap dalam dekapan lengan ibu mereka. Sedangkan bayi saya masih mengalami penderitaan yang berat.
Tetapi, untunglah Tuhan terus menyediakan keluarga dan teman-teman yang penuh kasih untuk membantu menjaga anak-anak, mengantar saya dengan mobil ke rumah sakit. Teman-teman membawakan makanan untuk kami, menelepon, mengirim ucapan dan kartu serta membelikan pakaian-pakaian kecil untuk Charity walaupun kami tidak yakin benar apakah pakaian-pakaian tersebut pas untuk tubuhnya.
Bersamaan dengan dukungan itu, kami memperoleh beberapa teman baru lagi yaitu pada waktu kami mulai mengasihi dan menghargai para perawat yang amat memperhatikan Charity dari hari ke hari. Sering kali kami merasa lebih mudah membicarakan tentang keadaan Charity kepada para petugas rumah sakit itu ketimbang dengan teman-teman dan anggota-anggota keluarga kami.
Para ahli sangat mengerti akan keadaan Charity, sementara orang lain mengalami kebingungan atau was-was jika kami memberikan jawaban-jawaban yang jujur atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang perkembangan Charity.
Pengalaman ini membuat saya segera mengerti tentang dasar-dasar perawatan. Saya memberikan waktu semaksimal mungkin di rumah sakit. Bila saya harus pulang ke rumah, saya yakin bahwa para perawat akan menelepon saya andaikata terjadi perubahan sekecil apa pun dalam kondisi tubuh Charity.
Suatu hari, belum lama saya tiba di rumah, seorang perawat bernama Pam menelepon saya. "Kami harus mengubah tempat tidur Charity. Maukah Anda datang kemari untuk menggendongnya sebentar supaya kami dapat mengerjakannya dengan baik?"
Tanpa pikir panjang lagi saya langsung masuk ke mobil dan segera menuju rumah sakit. Itulah saat pertama kali saya mengemong bayi putri saya. Tubuhnya belum cukup stabil untuk dipindahkan dari tempat tidurnya yang mungil. Para perawat membuntel tubuh Charity dengan selimut lembut.
Tetapi, kabel dan tabungnya masih tetap dalam keadaan terpasang. Kemudian, ia diangkat dan dipindahkan ke pangkuan saya. Sambil menimang-nimang dan mendekap erat, perlahan-lahan saya menyenandungkan pujian yang sama saya lagukan pada putri-putri saya yang lain (sekarang mereka berumur 9 dan 6 tahun), "Yesusku, aku mengasihi Engkau. Aku tahu Engkau adalah milikku."
Tak lama kemudian saya dengar suara lain yang lembut menyelaraskan alunan suara saya. Belakangan saya tahu bahwa Christy adalah perawat Kristen. Beberapa orang muda di gerejanya adalah murid-murid kelas Cal. Christy dan suaminya serta jemaat di gerejanya terus-menerus mendoakan kami.
Tak terhitung lagi jumlah kebaikan yang diberikan oleh para perawat itu kepada keluarga saya selama lebih dari dua setengah bulan. Saya mulai terbiasa datang ke bangsal anak-anak untuk menengok seorang bayi perempuan mini yang rambutnya diikat benang kecil warna jingga.
Berhubung ia belum boleh memakai baju apa pun, maka hanya simpul-simpul pita itulah yang menjadi dandanannya. Kata mereka, diperlukan dua orang perawat untuk melakukan pekerjaan itu. Yang satu memegangi helaian rambut Charity yang halus sedangkan yang lain mengikatkan benang di sekitar rambutnya itu.
Pada kesempatan lainnya, saya menemukan ketikan puisi-puisi yang ditempelkan di sisi tempat tidur Charity, "Nama saya Charity. Yesus sangat mengasihi saya. Nanti bila tubuh saya kuat, saya akan pulang ke rumah!"
Lolos dari Ventilator
Ketika Charity akhirnya dikeluarkan dari ventilator dan dipindahkan dari inkubatornya ke kereta bayi yang terbuka, para karyawan rumah sakit merayakan keberhasilannya lolos dari masa krisis. Salah seorang perawat membawa kue kering.
Ketika saya berusaha mencari tahu siapa saja perawat yang telah berbuat baik dan telah memberi semangat itu, mereka semua tetap merahasiakannya. Mereka benar-benar merupakan sebuah tim yang penuh kasih yang tidak mencari pujian atau perhatian pribadi.
Dari hari ke hari rasa hormat saya pada "malaikat-malaikat jubah putih" ini semakin bertambah saja ketika saya memperhatikan mereka merawat seorang anak kecil yang ditinggalkan oleh orang-tuanya. Seperti halnya beberapa bayi lainnya, berat badan dia kurang dari satu kilo.
Tetapi, karena keluarganya tidak mau datang menengoknya atau membawakan hadiah untuknya, maka para perawat itu mengangkat diri mereka menjadi keluarga angkatnya. Mereka membelikan pakaian-pakaian mungil untuknya dan membisikkan janji-janji akan memakaikan baju yang lebih besar lagi kepadanya suatu hari bila ia besar.
Mereka juga membuat catatan harian tentang kelahiran dan perkembangannya untuk diberikan kepada orangtua angkatnya kelak. Tetapi, ketika ternyata bayi perempuan itu akhirnya meninggal, mereka meratapi dia dan mengadakan kebaktian duka di kapel rumah sakit.
Persis dua minggu sebelum Natal, kerabat, teman-teman dan para karyawan rumah sakit bersukacita bersama kami. Karena pada hari itulah kami diperbolehkan membawa pulang bayi kami yang berumur dua setengah bulan itu dengan berat badan dua setengah kilo lebih.
Di rumah, berduaan dengan Charity yang masih harus mengenakan alat pantau jantung dan pernapasan, saya memang merasakan surutnya penderitaan demi penderitaan tetapi sering kali amat merindukan dukungan dan persahabatan yang dahulu saya alami setiap kali mengunjungi bangsal anak-anak.
Dari waktu ke waktu salah seorang perawat akan memanggil saya untuk memeriksa kesehatan Charity. Kapan saja saya membawa Charity ke dokter, saya sering menyempatkan diri mampir ke bangsal anak-anak untuk menceritakan kepada mereka tentang pertumbuhannya.
Kami mengamati dengan perasaan sedih ketika empat bayi lainnya yang dirumahsakitkan bersama Charity, meninggal. Yang lainnya menjadi buta akibat pemakaian oksigen yang sama yang telah "menyelamatkan" hidup putri saya. Tuhan dalam kemurahan-Nya telah memperkenankan Charity Joy menjadi bagian dari keluarga kami.
Ia kini berumur empat tahun, aktif sekali dan sehat. Tetapi, kami tidak akan pernah dapat melupakan awal kehidupannya yang berat. Kami juga tidak akan melupakan orang-orang yang telah mengulurkan persahabatan, harapan dan dukungan kepada kami.
Kami bersyukur kepada setiap orang yang istimewa ini. Namun, ucapan terima kasih dan pujian yang tak terhingga kami terutama tertuju kepada Bapa di surga dalam Yesus Kristus. Ia sungguh adalah Pembangun dan Penopang hidup kita semua.
Keajaiban Tuhan bagi bayi mungil kami
Sindonews.com - Dua persalinan yang saya alami dahulu, berjalan lancar. Dan kali ini, saya mengharapkan hal yang sama terjadi kembali. Tetapi, ternyata, dua bulan sebelum waktunya, kedua kaki saya mengalami pembengkakan. Lengan dan wajah saya berubah menjadi tembem. Karena timbul bercak-bercak di tubuh, dokter menganjurkan saya agar memeriksakan diri ke rumah sakit.
Dua hari berikutnya saya harus berbaring di tempat tidur rumah sakit. Letaknya di sebelah kiri dalam sebuah kamar yang sinar lampunya remang-remang. Saya tidak boleh dikunjungi, nonton televisi atau berbicara melalui telepon. Para dokter amat prihatin dengan tekanan darah saya yang naik dan dengan terdapatnya sejumlah besar protein di dalam urine saya.
Indikasi itu menunjukkan bahwa kedua ginjal saya tidak berfungsi normal. Setelah dua hari menjalani pemeriksaan yang intensif, akhirnya para dokter memutuskan melakukan bedah caesar. Saya sebenarnya memang tidak tahan lagi mengalami keadaan seperti ini sedangkan masa kehamilan yang masih harus saya lalui adalah sekitar dua bulan lagi.
Saya dipindahkan ke rumah sakit lain yang merupakan pusat perawatan neonatal yang lengkap. Kami percaya sepenuhnya bahwa Tuhanlah yang akan menangani segalanya. Apa pun kehendak-Nya adalah pasti yang terbaik bagi kami. Namun, kekhawatiran saya belum reda juga. Setelah mendengar pertama kali tentang toxemia (keracunan darah), hati saya rasanya seperti mau copot.
Setelah rasa takut itu saya coba pendam, maka emosi saya jadi mudah dikendalikan. Dengan hati-hati saya sembunyikan rasa takut itu supaya tidak ketahuan para dokter dan perawat pada waktu mereka hadir di sekeliling saya.
Akhirnya, pada pukul 6.58 sore, lahirlah seorang bayi perempuan dengan berat satu setengah kilo. Suatu kenyataan telah terjadi di luar dugaan. Bayi itu bukan laki-laki seperti yang kami doakan. Ia tidak lahir di rumah sakit yang telah kami pilih. Dan dokter kami tidak mampu menangani proses kelahirannya. Kami juga tahu bahwa ia tidak boleh dibawa pulang selama beberapa waktu.
Begitu saya siuman setelah dioperasi, ternyata suami saya, Cal bersama pendeta sudah ada di samping tempat tidur saya. Saya menangkap sinar mata mereka yang penuh was-was dan keprihatinan atas keadaan bayi kami. Lalu, saya memaksakan diri melampiaskan segala pertanyaan yang selama ini sangat mengganjal di dalam pikiran saya sambil tersengal-sengal menahan rasa sakit. Selamatkah si kecil buah hati kami itu?
Cal pura-pura tidak kecewa. Ia bilang kami mendapat bayi perempuan lagi. Bagi saya, tidak menjadi masalah apakah bayi saya yang baru lahir itu laki-laki atau perempuan. Yang saya ingin tahu adalah apakah nanti bila saya meninggalkan rumah sakit saya akan menggendong makhluk aneh atau bayi yang masih bernapas.
Saya menarik napas lega ketika mendengar bahwa bayi kami itu ternyata masih hidup. Tetapi, ketika Cal bilang bahwa berat badan Charity hanya sekitar satu setengah kilo, maka hati saya sudah pesimis atas keselamatan bayi kami itu. "Kau sudah lihat dia?" tanya saya. "Ya, malahan sayalah yang mendorong kereta tidurnya dari kamar operasi ke kamar perawatan intensif (ICU)", jawab suami saya dengan rasa bangga.
Sungguh tak terkatakan perasaan saya ketika itu. Saya tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Pokoknya, saya tak mau mengalami peristiwa apa pun yang tidak enak. Perlahan-lahan perasaan panik mulai merayap dan menghantui pikiran saya selama berbaring di rumah sakit. Ruang perawatan intensif terasa seperti tempat menunggu datangnya maut sewaktu-waktu.
Bagai pencuri, maut mengendap-endap hendak merampas nyawa para pasien di ruang itu dari orang-orang yang mengasihi mereka. Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah berdoa terus bagi bayi perempuan kami yang "mini" itu. Bagaimanapun juga, kami yakin Tuhan dapat mengubah hidup kami. Namun, sebuah pertanyaan besar masih saja tetap menghantui kami. Kematian atau kehidupankah yang akan Allah pilih untuk mendidik kami?
Meskipun Cal sering mengunjungi bayi kami, saya tetap tidak diperkenankan turun dari tempat tidur. Beberapa perawat Charity cukup peka sehingga mereka membuatkan foto close up Polaroid dari bayi saya itu dan memberikan kepada Cal untuk diserahkan kepada saya.
Bersama foto itu mereka juga menyisipkan sebuah popok bayi yang ekstra kecil dan baru kali itulah saya melihatnya. Hasil jepretan foto itu bahkan memperlihatkan dengan jelas sekali bahwa popok yang sudah super kecil itu masih terlampau besar untuk ukuran tubuh buah hati kami.
Rasa kantuk menghilang pada sisa malam hari itu ketika saya dengan perasaan takut yang amat mencekam berdoa agar Charity dapat lolos dari maut. Keesokan harinya, pendeta kami bersama istrinya menjenguk. Mereka memang tidak memberi jaminan yang muluk-muluk. Tetapi, hati kami yang sedang terhimpit kesedihan menjadi lega dibungkus penghiburan.
"Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam. Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan." (Mazmur 91:5,15).
Tiga hari kemudian, suami saya menawarkan masuk ke ruang perawatan dengan memakai kursi roda. Dengan malu harus saya akui bahwa pada waktu itu saya sungguh enggan untuk menengok Charity. Saya sudah sangat yakin bahwa ia pasti akan mati. Sebab semua dokter sudah angkat tangan.
Saya khawatir pada waktu melihatnya nanti saya tidak akan mampu menyaksikan bayi saya yang sedang menderita. Tetapi, bagaimana caranya untuk dapat mengutarakan perasaan saya itu kepada suami saya? Tak ada pilihan lain. Saya terpaksa pergi juga.
Kami turun ke lantai bawah dan melewati ruang perawatan biasa yang di dalamnya penuh bayi-bayi sehat yang baru lahir dan montok. Akhirnya, kami berhenti di ruang perawatan khusus. Di situlah kenyataan menampar wajah saya dengan keras dan telak. Segera saya tahu bahwa diri saya tidak siap menghadapi situasi sengeri itu.
Inkubator-inkubator dan alat-alat pemisah berderet di ruang itu. Dalam setiap inkubator terdapat seorang anak manusia bertubuh kecil sekali. Tak seorang pun dari mereka yang sedikit saja mirip bayi montok pada umumnya, sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan oleh setiap orang tua.
Pada tubuh bayi-bayi itu penuh dilengkapi selang-selang dan tabung-tabung dari berbagai peralatan mesin yang mencatat angka-angka dan membuat grafik. Sesekali mesin-mesin tersebut berbunyi. Petugas dengan gerak cepat menanggapi peringatan itu secara profesional.
Lebih Kecil dari yang Diharapkan
Cal berhenti mendorong kursi roda saya di dekat sebuah pemisah (isolasi) yang sudah saya duga merupakan tempat tidur Charity. Bayi mungil yang saya saksikan di depan saya itu ternyata jauh lebih kecil daripada yang terlihat dalam foto close up polaroid yang dibuat dahulu itu.
Saya berusaha keras menyingkirkan suara-suara mesin yang gaduh dan menghalau para perawat yang sedang sibuk agar saya dapat melihat dengan jelas dan leluasa sosok bayi saya itu. Sebuah masker hitam menutup rapat kepala Charity agar kedua matanya terlindung dari sinar.
Rambutnya yang putih halus memenuhi pundak dan punggungnya. Sedangkan seluruh tubuhnya hanya tulang berbalut kulit. Yang lebih mengejutkan lagi, bayi-bayi lain di sekitarnya malah tubuhnya jauh lebih kecil daripada Charity.
Sementara itu, seorang perawat wanita yang ramah dan baik hati menemani kami di kamar isolasi itu. Ia mengerti sekali bahwa itulah kunjungan saya yang pertama kali. Dengan ringkas dan jelas ia menjelaskan fungsi semua kabel dan monitor yang ada. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum seakan-akan mengerti dengan baik semua penjelasannya itu.
Padahal, hati saya penuh diliputi tanda tanya. Cal dengan lembut mengusap-usap kulit Charity yang keriput sedangkan saya tak henti-henti mengamatinya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut saya. Sampai berakhir jam kunjungan, saya terus diliputi perasaan aneh.
Kunjungan saya yang pertama kali ke bangsal anak-anak itu terasa singkat. Selain itu fisik saya belum cukup kuat bila harus terlalu lama berada di luar tempat tidur. Saya juga tidak akan mampu bila harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan, yaitu kemungkinan bayi kami tidak akan dapat bertahan hidup lebih lama lagi.
Lewat beberapa hari kemudian, kesehatan saya mulai pulih. Tetapi, kami semakin was-was dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi atas diri Charity. Pada pukul dua subuh, seorang perawat ICU membangunkan saya dengan membawa berita bahwa Charity mengalami sesak napas. Dadanya harus dilubangi agar udara dapat ke luar dari paru-parunya. Para dokter perlu tanda tangan saya sebelum memasukkan sebuah tabung ke dalam dada yang sangat kecil itu.
Setiap laporan medis ibarat angin yang tak dapat ditebak arahnya. Perasaan kami terombang-ombang dari penuh harap menjadi kuatir lalu berharap lagi. Selama tujuh puluh dua hari di rumah sakit, ancaman kematian semakin menjadi-jadi. Dan sementara Charity sedang bergumul terus supaya tetap hidup, kematian terus pula menyelinap di balik masalah-masalah baru yang muncul.
Pada saat meninggalkan rumah sakit, saya menangis sedih. Ibu-ibu yang melahirkan sudah diizinkan pulang semuanya. Bayi-bayi sehat asyik terlelap dalam dekapan lengan ibu mereka. Sedangkan bayi saya masih mengalami penderitaan yang berat.
Tetapi, untunglah Tuhan terus menyediakan keluarga dan teman-teman yang penuh kasih untuk membantu menjaga anak-anak, mengantar saya dengan mobil ke rumah sakit. Teman-teman membawakan makanan untuk kami, menelepon, mengirim ucapan dan kartu serta membelikan pakaian-pakaian kecil untuk Charity walaupun kami tidak yakin benar apakah pakaian-pakaian tersebut pas untuk tubuhnya.
Bersamaan dengan dukungan itu, kami memperoleh beberapa teman baru lagi yaitu pada waktu kami mulai mengasihi dan menghargai para perawat yang amat memperhatikan Charity dari hari ke hari. Sering kali kami merasa lebih mudah membicarakan tentang keadaan Charity kepada para petugas rumah sakit itu ketimbang dengan teman-teman dan anggota-anggota keluarga kami.
Para ahli sangat mengerti akan keadaan Charity, sementara orang lain mengalami kebingungan atau was-was jika kami memberikan jawaban-jawaban yang jujur atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang perkembangan Charity.
Pengalaman ini membuat saya segera mengerti tentang dasar-dasar perawatan. Saya memberikan waktu semaksimal mungkin di rumah sakit. Bila saya harus pulang ke rumah, saya yakin bahwa para perawat akan menelepon saya andaikata terjadi perubahan sekecil apa pun dalam kondisi tubuh Charity.
Suatu hari, belum lama saya tiba di rumah, seorang perawat bernama Pam menelepon saya. "Kami harus mengubah tempat tidur Charity. Maukah Anda datang kemari untuk menggendongnya sebentar supaya kami dapat mengerjakannya dengan baik?"
Tanpa pikir panjang lagi saya langsung masuk ke mobil dan segera menuju rumah sakit. Itulah saat pertama kali saya mengemong bayi putri saya. Tubuhnya belum cukup stabil untuk dipindahkan dari tempat tidurnya yang mungil. Para perawat membuntel tubuh Charity dengan selimut lembut.
Tetapi, kabel dan tabungnya masih tetap dalam keadaan terpasang. Kemudian, ia diangkat dan dipindahkan ke pangkuan saya. Sambil menimang-nimang dan mendekap erat, perlahan-lahan saya menyenandungkan pujian yang sama saya lagukan pada putri-putri saya yang lain (sekarang mereka berumur 9 dan 6 tahun), "Yesusku, aku mengasihi Engkau. Aku tahu Engkau adalah milikku."
Tak lama kemudian saya dengar suara lain yang lembut menyelaraskan alunan suara saya. Belakangan saya tahu bahwa Christy adalah perawat Kristen. Beberapa orang muda di gerejanya adalah murid-murid kelas Cal. Christy dan suaminya serta jemaat di gerejanya terus-menerus mendoakan kami.
Tak terhitung lagi jumlah kebaikan yang diberikan oleh para perawat itu kepada keluarga saya selama lebih dari dua setengah bulan. Saya mulai terbiasa datang ke bangsal anak-anak untuk menengok seorang bayi perempuan mini yang rambutnya diikat benang kecil warna jingga.
Berhubung ia belum boleh memakai baju apa pun, maka hanya simpul-simpul pita itulah yang menjadi dandanannya. Kata mereka, diperlukan dua orang perawat untuk melakukan pekerjaan itu. Yang satu memegangi helaian rambut Charity yang halus sedangkan yang lain mengikatkan benang di sekitar rambutnya itu.
Pada kesempatan lainnya, saya menemukan ketikan puisi-puisi yang ditempelkan di sisi tempat tidur Charity, "Nama saya Charity. Yesus sangat mengasihi saya. Nanti bila tubuh saya kuat, saya akan pulang ke rumah!"
Lolos dari Ventilator
Ketika Charity akhirnya dikeluarkan dari ventilator dan dipindahkan dari inkubatornya ke kereta bayi yang terbuka, para karyawan rumah sakit merayakan keberhasilannya lolos dari masa krisis. Salah seorang perawat membawa kue kering.
Ketika saya berusaha mencari tahu siapa saja perawat yang telah berbuat baik dan telah memberi semangat itu, mereka semua tetap merahasiakannya. Mereka benar-benar merupakan sebuah tim yang penuh kasih yang tidak mencari pujian atau perhatian pribadi.
Dari hari ke hari rasa hormat saya pada "malaikat-malaikat jubah putih" ini semakin bertambah saja ketika saya memperhatikan mereka merawat seorang anak kecil yang ditinggalkan oleh orang-tuanya. Seperti halnya beberapa bayi lainnya, berat badan dia kurang dari satu kilo.
Tetapi, karena keluarganya tidak mau datang menengoknya atau membawakan hadiah untuknya, maka para perawat itu mengangkat diri mereka menjadi keluarga angkatnya. Mereka membelikan pakaian-pakaian mungil untuknya dan membisikkan janji-janji akan memakaikan baju yang lebih besar lagi kepadanya suatu hari bila ia besar.
Mereka juga membuat catatan harian tentang kelahiran dan perkembangannya untuk diberikan kepada orangtua angkatnya kelak. Tetapi, ketika ternyata bayi perempuan itu akhirnya meninggal, mereka meratapi dia dan mengadakan kebaktian duka di kapel rumah sakit.
Persis dua minggu sebelum Natal, kerabat, teman-teman dan para karyawan rumah sakit bersukacita bersama kami. Karena pada hari itulah kami diperbolehkan membawa pulang bayi kami yang berumur dua setengah bulan itu dengan berat badan dua setengah kilo lebih.
Di rumah, berduaan dengan Charity yang masih harus mengenakan alat pantau jantung dan pernapasan, saya memang merasakan surutnya penderitaan demi penderitaan tetapi sering kali amat merindukan dukungan dan persahabatan yang dahulu saya alami setiap kali mengunjungi bangsal anak-anak.
Dari waktu ke waktu salah seorang perawat akan memanggil saya untuk memeriksa kesehatan Charity. Kapan saja saya membawa Charity ke dokter, saya sering menyempatkan diri mampir ke bangsal anak-anak untuk menceritakan kepada mereka tentang pertumbuhannya.
Kami mengamati dengan perasaan sedih ketika empat bayi lainnya yang dirumahsakitkan bersama Charity, meninggal. Yang lainnya menjadi buta akibat pemakaian oksigen yang sama yang telah "menyelamatkan" hidup putri saya. Tuhan dalam kemurahan-Nya telah memperkenankan Charity Joy menjadi bagian dari keluarga kami.
Ia kini berumur empat tahun, aktif sekali dan sehat. Tetapi, kami tidak akan pernah dapat melupakan awal kehidupannya yang berat. Kami juga tidak akan melupakan orang-orang yang telah mengulurkan persahabatan, harapan dan dukungan kepada kami.
Kami bersyukur kepada setiap orang yang istimewa ini. Namun, ucapan terima kasih dan pujian yang tak terhingga kami terutama tertuju kepada Bapa di surga dalam Yesus Kristus. Ia sungguh adalah Pembangun dan Penopang hidup kita semua.
(Penulis Artikel: Joyce Voelker)
Dua hari berikutnya saya harus berbaring di tempat tidur rumah sakit. Letaknya di sebelah kiri dalam sebuah kamar yang sinar lampunya remang-remang. Saya tidak boleh dikunjungi, nonton televisi atau berbicara melalui telepon. Para dokter amat prihatin dengan tekanan darah saya yang naik dan dengan terdapatnya sejumlah besar protein di dalam urine saya.
Indikasi itu menunjukkan bahwa kedua ginjal saya tidak berfungsi normal. Setelah dua hari menjalani pemeriksaan yang intensif, akhirnya para dokter memutuskan melakukan bedah caesar. Saya sebenarnya memang tidak tahan lagi mengalami keadaan seperti ini sedangkan masa kehamilan yang masih harus saya lalui adalah sekitar dua bulan lagi.
Saya dipindahkan ke rumah sakit lain yang merupakan pusat perawatan neonatal yang lengkap. Kami percaya sepenuhnya bahwa Tuhanlah yang akan menangani segalanya. Apa pun kehendak-Nya adalah pasti yang terbaik bagi kami. Namun, kekhawatiran saya belum reda juga. Setelah mendengar pertama kali tentang toxemia (keracunan darah), hati saya rasanya seperti mau copot.
Setelah rasa takut itu saya coba pendam, maka emosi saya jadi mudah dikendalikan. Dengan hati-hati saya sembunyikan rasa takut itu supaya tidak ketahuan para dokter dan perawat pada waktu mereka hadir di sekeliling saya.
Akhirnya, pada pukul 6.58 sore, lahirlah seorang bayi perempuan dengan berat satu setengah kilo. Suatu kenyataan telah terjadi di luar dugaan. Bayi itu bukan laki-laki seperti yang kami doakan. Ia tidak lahir di rumah sakit yang telah kami pilih. Dan dokter kami tidak mampu menangani proses kelahirannya. Kami juga tahu bahwa ia tidak boleh dibawa pulang selama beberapa waktu.
Begitu saya siuman setelah dioperasi, ternyata suami saya, Cal bersama pendeta sudah ada di samping tempat tidur saya. Saya menangkap sinar mata mereka yang penuh was-was dan keprihatinan atas keadaan bayi kami. Lalu, saya memaksakan diri melampiaskan segala pertanyaan yang selama ini sangat mengganjal di dalam pikiran saya sambil tersengal-sengal menahan rasa sakit. Selamatkah si kecil buah hati kami itu?
Cal pura-pura tidak kecewa. Ia bilang kami mendapat bayi perempuan lagi. Bagi saya, tidak menjadi masalah apakah bayi saya yang baru lahir itu laki-laki atau perempuan. Yang saya ingin tahu adalah apakah nanti bila saya meninggalkan rumah sakit saya akan menggendong makhluk aneh atau bayi yang masih bernapas.
Saya menarik napas lega ketika mendengar bahwa bayi kami itu ternyata masih hidup. Tetapi, ketika Cal bilang bahwa berat badan Charity hanya sekitar satu setengah kilo, maka hati saya sudah pesimis atas keselamatan bayi kami itu. "Kau sudah lihat dia?" tanya saya. "Ya, malahan sayalah yang mendorong kereta tidurnya dari kamar operasi ke kamar perawatan intensif (ICU)", jawab suami saya dengan rasa bangga.
Sungguh tak terkatakan perasaan saya ketika itu. Saya tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Pokoknya, saya tak mau mengalami peristiwa apa pun yang tidak enak. Perlahan-lahan perasaan panik mulai merayap dan menghantui pikiran saya selama berbaring di rumah sakit. Ruang perawatan intensif terasa seperti tempat menunggu datangnya maut sewaktu-waktu.
Bagai pencuri, maut mengendap-endap hendak merampas nyawa para pasien di ruang itu dari orang-orang yang mengasihi mereka. Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah berdoa terus bagi bayi perempuan kami yang "mini" itu. Bagaimanapun juga, kami yakin Tuhan dapat mengubah hidup kami. Namun, sebuah pertanyaan besar masih saja tetap menghantui kami. Kematian atau kehidupankah yang akan Allah pilih untuk mendidik kami?
Meskipun Cal sering mengunjungi bayi kami, saya tetap tidak diperkenankan turun dari tempat tidur. Beberapa perawat Charity cukup peka sehingga mereka membuatkan foto close up Polaroid dari bayi saya itu dan memberikan kepada Cal untuk diserahkan kepada saya.
Bersama foto itu mereka juga menyisipkan sebuah popok bayi yang ekstra kecil dan baru kali itulah saya melihatnya. Hasil jepretan foto itu bahkan memperlihatkan dengan jelas sekali bahwa popok yang sudah super kecil itu masih terlampau besar untuk ukuran tubuh buah hati kami.
Rasa kantuk menghilang pada sisa malam hari itu ketika saya dengan perasaan takut yang amat mencekam berdoa agar Charity dapat lolos dari maut. Keesokan harinya, pendeta kami bersama istrinya menjenguk. Mereka memang tidak memberi jaminan yang muluk-muluk. Tetapi, hati kami yang sedang terhimpit kesedihan menjadi lega dibungkus penghiburan.
"Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam. Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan." (Mazmur 91:5,15).
Tiga hari kemudian, suami saya menawarkan masuk ke ruang perawatan dengan memakai kursi roda. Dengan malu harus saya akui bahwa pada waktu itu saya sungguh enggan untuk menengok Charity. Saya sudah sangat yakin bahwa ia pasti akan mati. Sebab semua dokter sudah angkat tangan.
Saya khawatir pada waktu melihatnya nanti saya tidak akan mampu menyaksikan bayi saya yang sedang menderita. Tetapi, bagaimana caranya untuk dapat mengutarakan perasaan saya itu kepada suami saya? Tak ada pilihan lain. Saya terpaksa pergi juga.
Kami turun ke lantai bawah dan melewati ruang perawatan biasa yang di dalamnya penuh bayi-bayi sehat yang baru lahir dan montok. Akhirnya, kami berhenti di ruang perawatan khusus. Di situlah kenyataan menampar wajah saya dengan keras dan telak. Segera saya tahu bahwa diri saya tidak siap menghadapi situasi sengeri itu.
Inkubator-inkubator dan alat-alat pemisah berderet di ruang itu. Dalam setiap inkubator terdapat seorang anak manusia bertubuh kecil sekali. Tak seorang pun dari mereka yang sedikit saja mirip bayi montok pada umumnya, sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan oleh setiap orang tua.
Pada tubuh bayi-bayi itu penuh dilengkapi selang-selang dan tabung-tabung dari berbagai peralatan mesin yang mencatat angka-angka dan membuat grafik. Sesekali mesin-mesin tersebut berbunyi. Petugas dengan gerak cepat menanggapi peringatan itu secara profesional.
Lebih Kecil dari yang Diharapkan
Cal berhenti mendorong kursi roda saya di dekat sebuah pemisah (isolasi) yang sudah saya duga merupakan tempat tidur Charity. Bayi mungil yang saya saksikan di depan saya itu ternyata jauh lebih kecil daripada yang terlihat dalam foto close up polaroid yang dibuat dahulu itu.
Saya berusaha keras menyingkirkan suara-suara mesin yang gaduh dan menghalau para perawat yang sedang sibuk agar saya dapat melihat dengan jelas dan leluasa sosok bayi saya itu. Sebuah masker hitam menutup rapat kepala Charity agar kedua matanya terlindung dari sinar.
Rambutnya yang putih halus memenuhi pundak dan punggungnya. Sedangkan seluruh tubuhnya hanya tulang berbalut kulit. Yang lebih mengejutkan lagi, bayi-bayi lain di sekitarnya malah tubuhnya jauh lebih kecil daripada Charity.
Sementara itu, seorang perawat wanita yang ramah dan baik hati menemani kami di kamar isolasi itu. Ia mengerti sekali bahwa itulah kunjungan saya yang pertama kali. Dengan ringkas dan jelas ia menjelaskan fungsi semua kabel dan monitor yang ada. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum seakan-akan mengerti dengan baik semua penjelasannya itu.
Padahal, hati saya penuh diliputi tanda tanya. Cal dengan lembut mengusap-usap kulit Charity yang keriput sedangkan saya tak henti-henti mengamatinya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut saya. Sampai berakhir jam kunjungan, saya terus diliputi perasaan aneh.
Kunjungan saya yang pertama kali ke bangsal anak-anak itu terasa singkat. Selain itu fisik saya belum cukup kuat bila harus terlalu lama berada di luar tempat tidur. Saya juga tidak akan mampu bila harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan, yaitu kemungkinan bayi kami tidak akan dapat bertahan hidup lebih lama lagi.
Lewat beberapa hari kemudian, kesehatan saya mulai pulih. Tetapi, kami semakin was-was dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi atas diri Charity. Pada pukul dua subuh, seorang perawat ICU membangunkan saya dengan membawa berita bahwa Charity mengalami sesak napas. Dadanya harus dilubangi agar udara dapat ke luar dari paru-parunya. Para dokter perlu tanda tangan saya sebelum memasukkan sebuah tabung ke dalam dada yang sangat kecil itu.
Setiap laporan medis ibarat angin yang tak dapat ditebak arahnya. Perasaan kami terombang-ombang dari penuh harap menjadi kuatir lalu berharap lagi. Selama tujuh puluh dua hari di rumah sakit, ancaman kematian semakin menjadi-jadi. Dan sementara Charity sedang bergumul terus supaya tetap hidup, kematian terus pula menyelinap di balik masalah-masalah baru yang muncul.
Pada saat meninggalkan rumah sakit, saya menangis sedih. Ibu-ibu yang melahirkan sudah diizinkan pulang semuanya. Bayi-bayi sehat asyik terlelap dalam dekapan lengan ibu mereka. Sedangkan bayi saya masih mengalami penderitaan yang berat.
Tetapi, untunglah Tuhan terus menyediakan keluarga dan teman-teman yang penuh kasih untuk membantu menjaga anak-anak, mengantar saya dengan mobil ke rumah sakit. Teman-teman membawakan makanan untuk kami, menelepon, mengirim ucapan dan kartu serta membelikan pakaian-pakaian kecil untuk Charity walaupun kami tidak yakin benar apakah pakaian-pakaian tersebut pas untuk tubuhnya.
Bersamaan dengan dukungan itu, kami memperoleh beberapa teman baru lagi yaitu pada waktu kami mulai mengasihi dan menghargai para perawat yang amat memperhatikan Charity dari hari ke hari. Sering kali kami merasa lebih mudah membicarakan tentang keadaan Charity kepada para petugas rumah sakit itu ketimbang dengan teman-teman dan anggota-anggota keluarga kami.
Para ahli sangat mengerti akan keadaan Charity, sementara orang lain mengalami kebingungan atau was-was jika kami memberikan jawaban-jawaban yang jujur atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang perkembangan Charity.
Pengalaman ini membuat saya segera mengerti tentang dasar-dasar perawatan. Saya memberikan waktu semaksimal mungkin di rumah sakit. Bila saya harus pulang ke rumah, saya yakin bahwa para perawat akan menelepon saya andaikata terjadi perubahan sekecil apa pun dalam kondisi tubuh Charity.
Suatu hari, belum lama saya tiba di rumah, seorang perawat bernama Pam menelepon saya. "Kami harus mengubah tempat tidur Charity. Maukah Anda datang kemari untuk menggendongnya sebentar supaya kami dapat mengerjakannya dengan baik?"
Tanpa pikir panjang lagi saya langsung masuk ke mobil dan segera menuju rumah sakit. Itulah saat pertama kali saya mengemong bayi putri saya. Tubuhnya belum cukup stabil untuk dipindahkan dari tempat tidurnya yang mungil. Para perawat membuntel tubuh Charity dengan selimut lembut.
Tetapi, kabel dan tabungnya masih tetap dalam keadaan terpasang. Kemudian, ia diangkat dan dipindahkan ke pangkuan saya. Sambil menimang-nimang dan mendekap erat, perlahan-lahan saya menyenandungkan pujian yang sama saya lagukan pada putri-putri saya yang lain (sekarang mereka berumur 9 dan 6 tahun), "Yesusku, aku mengasihi Engkau. Aku tahu Engkau adalah milikku."
Tak lama kemudian saya dengar suara lain yang lembut menyelaraskan alunan suara saya. Belakangan saya tahu bahwa Christy adalah perawat Kristen. Beberapa orang muda di gerejanya adalah murid-murid kelas Cal. Christy dan suaminya serta jemaat di gerejanya terus-menerus mendoakan kami.
Tak terhitung lagi jumlah kebaikan yang diberikan oleh para perawat itu kepada keluarga saya selama lebih dari dua setengah bulan. Saya mulai terbiasa datang ke bangsal anak-anak untuk menengok seorang bayi perempuan mini yang rambutnya diikat benang kecil warna jingga.
Berhubung ia belum boleh memakai baju apa pun, maka hanya simpul-simpul pita itulah yang menjadi dandanannya. Kata mereka, diperlukan dua orang perawat untuk melakukan pekerjaan itu. Yang satu memegangi helaian rambut Charity yang halus sedangkan yang lain mengikatkan benang di sekitar rambutnya itu.
Pada kesempatan lainnya, saya menemukan ketikan puisi-puisi yang ditempelkan di sisi tempat tidur Charity, "Nama saya Charity. Yesus sangat mengasihi saya. Nanti bila tubuh saya kuat, saya akan pulang ke rumah!"
Lolos dari Ventilator
Ketika Charity akhirnya dikeluarkan dari ventilator dan dipindahkan dari inkubatornya ke kereta bayi yang terbuka, para karyawan rumah sakit merayakan keberhasilannya lolos dari masa krisis. Salah seorang perawat membawa kue kering.
Ketika saya berusaha mencari tahu siapa saja perawat yang telah berbuat baik dan telah memberi semangat itu, mereka semua tetap merahasiakannya. Mereka benar-benar merupakan sebuah tim yang penuh kasih yang tidak mencari pujian atau perhatian pribadi.
Dari hari ke hari rasa hormat saya pada "malaikat-malaikat jubah putih" ini semakin bertambah saja ketika saya memperhatikan mereka merawat seorang anak kecil yang ditinggalkan oleh orang-tuanya. Seperti halnya beberapa bayi lainnya, berat badan dia kurang dari satu kilo.
Tetapi, karena keluarganya tidak mau datang menengoknya atau membawakan hadiah untuknya, maka para perawat itu mengangkat diri mereka menjadi keluarga angkatnya. Mereka membelikan pakaian-pakaian mungil untuknya dan membisikkan janji-janji akan memakaikan baju yang lebih besar lagi kepadanya suatu hari bila ia besar.
Mereka juga membuat catatan harian tentang kelahiran dan perkembangannya untuk diberikan kepada orangtua angkatnya kelak. Tetapi, ketika ternyata bayi perempuan itu akhirnya meninggal, mereka meratapi dia dan mengadakan kebaktian duka di kapel rumah sakit.
Persis dua minggu sebelum Natal, kerabat, teman-teman dan para karyawan rumah sakit bersukacita bersama kami. Karena pada hari itulah kami diperbolehkan membawa pulang bayi kami yang berumur dua setengah bulan itu dengan berat badan dua setengah kilo lebih.
Di rumah, berduaan dengan Charity yang masih harus mengenakan alat pantau jantung dan pernapasan, saya memang merasakan surutnya penderitaan demi penderitaan tetapi sering kali amat merindukan dukungan dan persahabatan yang dahulu saya alami setiap kali mengunjungi bangsal anak-anak.
Dari waktu ke waktu salah seorang perawat akan memanggil saya untuk memeriksa kesehatan Charity. Kapan saja saya membawa Charity ke dokter, saya sering menyempatkan diri mampir ke bangsal anak-anak untuk menceritakan kepada mereka tentang pertumbuhannya.
Kami mengamati dengan perasaan sedih ketika empat bayi lainnya yang dirumahsakitkan bersama Charity, meninggal. Yang lainnya menjadi buta akibat pemakaian oksigen yang sama yang telah "menyelamatkan" hidup putri saya. Tuhan dalam kemurahan-Nya telah memperkenankan Charity Joy menjadi bagian dari keluarga kami.
Ia kini berumur empat tahun, aktif sekali dan sehat. Tetapi, kami tidak akan pernah dapat melupakan awal kehidupannya yang berat. Kami juga tidak akan melupakan orang-orang yang telah mengulurkan persahabatan, harapan dan dukungan kepada kami.
Kami bersyukur kepada setiap orang yang istimewa ini. Namun, ucapan terima kasih dan pujian yang tak terhingga kami terutama tertuju kepada Bapa di surga dalam Yesus Kristus. Ia sungguh adalah Pembangun dan Penopang hidup kita semua.
Keajaiban Tuhan bagi bayi mungil kami
Sindonews.com - Dua persalinan yang saya alami dahulu, berjalan lancar. Dan kali ini, saya mengharapkan hal yang sama terjadi kembali. Tetapi, ternyata, dua bulan sebelum waktunya, kedua kaki saya mengalami pembengkakan. Lengan dan wajah saya berubah menjadi tembem. Karena timbul bercak-bercak di tubuh, dokter menganjurkan saya agar memeriksakan diri ke rumah sakit.
Dua hari berikutnya saya harus berbaring di tempat tidur rumah sakit. Letaknya di sebelah kiri dalam sebuah kamar yang sinar lampunya remang-remang. Saya tidak boleh dikunjungi, nonton televisi atau berbicara melalui telepon. Para dokter amat prihatin dengan tekanan darah saya yang naik dan dengan terdapatnya sejumlah besar protein di dalam urine saya.
Indikasi itu menunjukkan bahwa kedua ginjal saya tidak berfungsi normal. Setelah dua hari menjalani pemeriksaan yang intensif, akhirnya para dokter memutuskan melakukan bedah caesar. Saya sebenarnya memang tidak tahan lagi mengalami keadaan seperti ini sedangkan masa kehamilan yang masih harus saya lalui adalah sekitar dua bulan lagi.
Saya dipindahkan ke rumah sakit lain yang merupakan pusat perawatan neonatal yang lengkap. Kami percaya sepenuhnya bahwa Tuhanlah yang akan menangani segalanya. Apa pun kehendak-Nya adalah pasti yang terbaik bagi kami. Namun, kekhawatiran saya belum reda juga. Setelah mendengar pertama kali tentang toxemia (keracunan darah), hati saya rasanya seperti mau copot.
Setelah rasa takut itu saya coba pendam, maka emosi saya jadi mudah dikendalikan. Dengan hati-hati saya sembunyikan rasa takut itu supaya tidak ketahuan para dokter dan perawat pada waktu mereka hadir di sekeliling saya.
Akhirnya, pada pukul 6.58 sore, lahirlah seorang bayi perempuan dengan berat satu setengah kilo. Suatu kenyataan telah terjadi di luar dugaan. Bayi itu bukan laki-laki seperti yang kami doakan. Ia tidak lahir di rumah sakit yang telah kami pilih. Dan dokter kami tidak mampu menangani proses kelahirannya. Kami juga tahu bahwa ia tidak boleh dibawa pulang selama beberapa waktu.
Begitu saya siuman setelah dioperasi, ternyata suami saya, Cal bersama pendeta sudah ada di samping tempat tidur saya. Saya menangkap sinar mata mereka yang penuh was-was dan keprihatinan atas keadaan bayi kami. Lalu, saya memaksakan diri melampiaskan segala pertanyaan yang selama ini sangat mengganjal di dalam pikiran saya sambil tersengal-sengal menahan rasa sakit. Selamatkah si kecil buah hati kami itu?
Cal pura-pura tidak kecewa. Ia bilang kami mendapat bayi perempuan lagi. Bagi saya, tidak menjadi masalah apakah bayi saya yang baru lahir itu laki-laki atau perempuan. Yang saya ingin tahu adalah apakah nanti bila saya meninggalkan rumah sakit saya akan menggendong makhluk aneh atau bayi yang masih bernapas.
Saya menarik napas lega ketika mendengar bahwa bayi kami itu ternyata masih hidup. Tetapi, ketika Cal bilang bahwa berat badan Charity hanya sekitar satu setengah kilo, maka hati saya sudah pesimis atas keselamatan bayi kami itu. "Kau sudah lihat dia?" tanya saya. "Ya, malahan sayalah yang mendorong kereta tidurnya dari kamar operasi ke kamar perawatan intensif (ICU)", jawab suami saya dengan rasa bangga.
Sungguh tak terkatakan perasaan saya ketika itu. Saya tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Pokoknya, saya tak mau mengalami peristiwa apa pun yang tidak enak. Perlahan-lahan perasaan panik mulai merayap dan menghantui pikiran saya selama berbaring di rumah sakit. Ruang perawatan intensif terasa seperti tempat menunggu datangnya maut sewaktu-waktu.
Bagai pencuri, maut mengendap-endap hendak merampas nyawa para pasien di ruang itu dari orang-orang yang mengasihi mereka. Satu-satunya yang bisa kami lakukan adalah berdoa terus bagi bayi perempuan kami yang "mini" itu. Bagaimanapun juga, kami yakin Tuhan dapat mengubah hidup kami. Namun, sebuah pertanyaan besar masih saja tetap menghantui kami. Kematian atau kehidupankah yang akan Allah pilih untuk mendidik kami?
Meskipun Cal sering mengunjungi bayi kami, saya tetap tidak diperkenankan turun dari tempat tidur. Beberapa perawat Charity cukup peka sehingga mereka membuatkan foto close up Polaroid dari bayi saya itu dan memberikan kepada Cal untuk diserahkan kepada saya.
Bersama foto itu mereka juga menyisipkan sebuah popok bayi yang ekstra kecil dan baru kali itulah saya melihatnya. Hasil jepretan foto itu bahkan memperlihatkan dengan jelas sekali bahwa popok yang sudah super kecil itu masih terlampau besar untuk ukuran tubuh buah hati kami.
Rasa kantuk menghilang pada sisa malam hari itu ketika saya dengan perasaan takut yang amat mencekam berdoa agar Charity dapat lolos dari maut. Keesokan harinya, pendeta kami bersama istrinya menjenguk. Mereka memang tidak memberi jaminan yang muluk-muluk. Tetapi, hati kami yang sedang terhimpit kesedihan menjadi lega dibungkus penghiburan.
"Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam. Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan." (Mazmur 91:5,15).
Tiga hari kemudian, suami saya menawarkan masuk ke ruang perawatan dengan memakai kursi roda. Dengan malu harus saya akui bahwa pada waktu itu saya sungguh enggan untuk menengok Charity. Saya sudah sangat yakin bahwa ia pasti akan mati. Sebab semua dokter sudah angkat tangan.
Saya khawatir pada waktu melihatnya nanti saya tidak akan mampu menyaksikan bayi saya yang sedang menderita. Tetapi, bagaimana caranya untuk dapat mengutarakan perasaan saya itu kepada suami saya? Tak ada pilihan lain. Saya terpaksa pergi juga.
Kami turun ke lantai bawah dan melewati ruang perawatan biasa yang di dalamnya penuh bayi-bayi sehat yang baru lahir dan montok. Akhirnya, kami berhenti di ruang perawatan khusus. Di situlah kenyataan menampar wajah saya dengan keras dan telak. Segera saya tahu bahwa diri saya tidak siap menghadapi situasi sengeri itu.
Inkubator-inkubator dan alat-alat pemisah berderet di ruang itu. Dalam setiap inkubator terdapat seorang anak manusia bertubuh kecil sekali. Tak seorang pun dari mereka yang sedikit saja mirip bayi montok pada umumnya, sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan oleh setiap orang tua.
Pada tubuh bayi-bayi itu penuh dilengkapi selang-selang dan tabung-tabung dari berbagai peralatan mesin yang mencatat angka-angka dan membuat grafik. Sesekali mesin-mesin tersebut berbunyi. Petugas dengan gerak cepat menanggapi peringatan itu secara profesional.
Lebih Kecil dari yang Diharapkan
Cal berhenti mendorong kursi roda saya di dekat sebuah pemisah (isolasi) yang sudah saya duga merupakan tempat tidur Charity. Bayi mungil yang saya saksikan di depan saya itu ternyata jauh lebih kecil daripada yang terlihat dalam foto close up polaroid yang dibuat dahulu itu.
Saya berusaha keras menyingkirkan suara-suara mesin yang gaduh dan menghalau para perawat yang sedang sibuk agar saya dapat melihat dengan jelas dan leluasa sosok bayi saya itu. Sebuah masker hitam menutup rapat kepala Charity agar kedua matanya terlindung dari sinar.
Rambutnya yang putih halus memenuhi pundak dan punggungnya. Sedangkan seluruh tubuhnya hanya tulang berbalut kulit. Yang lebih mengejutkan lagi, bayi-bayi lain di sekitarnya malah tubuhnya jauh lebih kecil daripada Charity.
Sementara itu, seorang perawat wanita yang ramah dan baik hati menemani kami di kamar isolasi itu. Ia mengerti sekali bahwa itulah kunjungan saya yang pertama kali. Dengan ringkas dan jelas ia menjelaskan fungsi semua kabel dan monitor yang ada. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum seakan-akan mengerti dengan baik semua penjelasannya itu.
Padahal, hati saya penuh diliputi tanda tanya. Cal dengan lembut mengusap-usap kulit Charity yang keriput sedangkan saya tak henti-henti mengamatinya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut saya. Sampai berakhir jam kunjungan, saya terus diliputi perasaan aneh.
Kunjungan saya yang pertama kali ke bangsal anak-anak itu terasa singkat. Selain itu fisik saya belum cukup kuat bila harus terlalu lama berada di luar tempat tidur. Saya juga tidak akan mampu bila harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan, yaitu kemungkinan bayi kami tidak akan dapat bertahan hidup lebih lama lagi.
Lewat beberapa hari kemudian, kesehatan saya mulai pulih. Tetapi, kami semakin was-was dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi atas diri Charity. Pada pukul dua subuh, seorang perawat ICU membangunkan saya dengan membawa berita bahwa Charity mengalami sesak napas. Dadanya harus dilubangi agar udara dapat ke luar dari paru-parunya. Para dokter perlu tanda tangan saya sebelum memasukkan sebuah tabung ke dalam dada yang sangat kecil itu.
Setiap laporan medis ibarat angin yang tak dapat ditebak arahnya. Perasaan kami terombang-ombang dari penuh harap menjadi kuatir lalu berharap lagi. Selama tujuh puluh dua hari di rumah sakit, ancaman kematian semakin menjadi-jadi. Dan sementara Charity sedang bergumul terus supaya tetap hidup, kematian terus pula menyelinap di balik masalah-masalah baru yang muncul.
Pada saat meninggalkan rumah sakit, saya menangis sedih. Ibu-ibu yang melahirkan sudah diizinkan pulang semuanya. Bayi-bayi sehat asyik terlelap dalam dekapan lengan ibu mereka. Sedangkan bayi saya masih mengalami penderitaan yang berat.
Tetapi, untunglah Tuhan terus menyediakan keluarga dan teman-teman yang penuh kasih untuk membantu menjaga anak-anak, mengantar saya dengan mobil ke rumah sakit. Teman-teman membawakan makanan untuk kami, menelepon, mengirim ucapan dan kartu serta membelikan pakaian-pakaian kecil untuk Charity walaupun kami tidak yakin benar apakah pakaian-pakaian tersebut pas untuk tubuhnya.
Bersamaan dengan dukungan itu, kami memperoleh beberapa teman baru lagi yaitu pada waktu kami mulai mengasihi dan menghargai para perawat yang amat memperhatikan Charity dari hari ke hari. Sering kali kami merasa lebih mudah membicarakan tentang keadaan Charity kepada para petugas rumah sakit itu ketimbang dengan teman-teman dan anggota-anggota keluarga kami.
Para ahli sangat mengerti akan keadaan Charity, sementara orang lain mengalami kebingungan atau was-was jika kami memberikan jawaban-jawaban yang jujur atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang perkembangan Charity.
Pengalaman ini membuat saya segera mengerti tentang dasar-dasar perawatan. Saya memberikan waktu semaksimal mungkin di rumah sakit. Bila saya harus pulang ke rumah, saya yakin bahwa para perawat akan menelepon saya andaikata terjadi perubahan sekecil apa pun dalam kondisi tubuh Charity.
Suatu hari, belum lama saya tiba di rumah, seorang perawat bernama Pam menelepon saya. "Kami harus mengubah tempat tidur Charity. Maukah Anda datang kemari untuk menggendongnya sebentar supaya kami dapat mengerjakannya dengan baik?"
Tanpa pikir panjang lagi saya langsung masuk ke mobil dan segera menuju rumah sakit. Itulah saat pertama kali saya mengemong bayi putri saya. Tubuhnya belum cukup stabil untuk dipindahkan dari tempat tidurnya yang mungil. Para perawat membuntel tubuh Charity dengan selimut lembut.
Tetapi, kabel dan tabungnya masih tetap dalam keadaan terpasang. Kemudian, ia diangkat dan dipindahkan ke pangkuan saya. Sambil menimang-nimang dan mendekap erat, perlahan-lahan saya menyenandungkan pujian yang sama saya lagukan pada putri-putri saya yang lain (sekarang mereka berumur 9 dan 6 tahun), "Yesusku, aku mengasihi Engkau. Aku tahu Engkau adalah milikku."
Tak lama kemudian saya dengar suara lain yang lembut menyelaraskan alunan suara saya. Belakangan saya tahu bahwa Christy adalah perawat Kristen. Beberapa orang muda di gerejanya adalah murid-murid kelas Cal. Christy dan suaminya serta jemaat di gerejanya terus-menerus mendoakan kami.
Tak terhitung lagi jumlah kebaikan yang diberikan oleh para perawat itu kepada keluarga saya selama lebih dari dua setengah bulan. Saya mulai terbiasa datang ke bangsal anak-anak untuk menengok seorang bayi perempuan mini yang rambutnya diikat benang kecil warna jingga.
Berhubung ia belum boleh memakai baju apa pun, maka hanya simpul-simpul pita itulah yang menjadi dandanannya. Kata mereka, diperlukan dua orang perawat untuk melakukan pekerjaan itu. Yang satu memegangi helaian rambut Charity yang halus sedangkan yang lain mengikatkan benang di sekitar rambutnya itu.
Pada kesempatan lainnya, saya menemukan ketikan puisi-puisi yang ditempelkan di sisi tempat tidur Charity, "Nama saya Charity. Yesus sangat mengasihi saya. Nanti bila tubuh saya kuat, saya akan pulang ke rumah!"
Lolos dari Ventilator
Ketika Charity akhirnya dikeluarkan dari ventilator dan dipindahkan dari inkubatornya ke kereta bayi yang terbuka, para karyawan rumah sakit merayakan keberhasilannya lolos dari masa krisis. Salah seorang perawat membawa kue kering.
Ketika saya berusaha mencari tahu siapa saja perawat yang telah berbuat baik dan telah memberi semangat itu, mereka semua tetap merahasiakannya. Mereka benar-benar merupakan sebuah tim yang penuh kasih yang tidak mencari pujian atau perhatian pribadi.
Dari hari ke hari rasa hormat saya pada "malaikat-malaikat jubah putih" ini semakin bertambah saja ketika saya memperhatikan mereka merawat seorang anak kecil yang ditinggalkan oleh orang-tuanya. Seperti halnya beberapa bayi lainnya, berat badan dia kurang dari satu kilo.
Tetapi, karena keluarganya tidak mau datang menengoknya atau membawakan hadiah untuknya, maka para perawat itu mengangkat diri mereka menjadi keluarga angkatnya. Mereka membelikan pakaian-pakaian mungil untuknya dan membisikkan janji-janji akan memakaikan baju yang lebih besar lagi kepadanya suatu hari bila ia besar.
Mereka juga membuat catatan harian tentang kelahiran dan perkembangannya untuk diberikan kepada orangtua angkatnya kelak. Tetapi, ketika ternyata bayi perempuan itu akhirnya meninggal, mereka meratapi dia dan mengadakan kebaktian duka di kapel rumah sakit.
Persis dua minggu sebelum Natal, kerabat, teman-teman dan para karyawan rumah sakit bersukacita bersama kami. Karena pada hari itulah kami diperbolehkan membawa pulang bayi kami yang berumur dua setengah bulan itu dengan berat badan dua setengah kilo lebih.
Di rumah, berduaan dengan Charity yang masih harus mengenakan alat pantau jantung dan pernapasan, saya memang merasakan surutnya penderitaan demi penderitaan tetapi sering kali amat merindukan dukungan dan persahabatan yang dahulu saya alami setiap kali mengunjungi bangsal anak-anak.
Dari waktu ke waktu salah seorang perawat akan memanggil saya untuk memeriksa kesehatan Charity. Kapan saja saya membawa Charity ke dokter, saya sering menyempatkan diri mampir ke bangsal anak-anak untuk menceritakan kepada mereka tentang pertumbuhannya.
Kami mengamati dengan perasaan sedih ketika empat bayi lainnya yang dirumahsakitkan bersama Charity, meninggal. Yang lainnya menjadi buta akibat pemakaian oksigen yang sama yang telah "menyelamatkan" hidup putri saya. Tuhan dalam kemurahan-Nya telah memperkenankan Charity Joy menjadi bagian dari keluarga kami.
Ia kini berumur empat tahun, aktif sekali dan sehat. Tetapi, kami tidak akan pernah dapat melupakan awal kehidupannya yang berat. Kami juga tidak akan melupakan orang-orang yang telah mengulurkan persahabatan, harapan dan dukungan kepada kami.
Kami bersyukur kepada setiap orang yang istimewa ini. Namun, ucapan terima kasih dan pujian yang tak terhingga kami terutama tertuju kepada Bapa di surga dalam Yesus Kristus. Ia sungguh adalah Pembangun dan Penopang hidup kita semua.
(Penulis Artikel: Joyce Voelker)
(kri)