Metode pembelajaran SD wajib berubah
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana menerapkan sistem rapor tanpa angka bagi siswa SD mulai 2014. Untuk melaksanakannya, DI Yogyakarta mewajibkan adanya perubahan terhadap metode pembelajaran untuk siswa SD.
"Kami sendiri belum menerima pemberitahuan dari Kemendikbud mengenai rencana ini. Namun jika benar akan dilaksanakan, jelas metode pembelajaran siswa SD tidak bisa terus seperti saat ini. Jika tidak berubah, tentu dapat menimbulkan masalah," ujar Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Kadarmanta Baskara Aji, Senin, 2 Desember 2013.
Kemendikbud sendiri berencana mulai 2014 akan menerapkan sistem rapor di mana tidak akan ada siswa SD yang tidak naik kelas. Dalam rapor siswa SD nantinya penilaian tidak dilakukan dengan angka tapi menuliskan deskripsi mengenai prestasi, kemampuan serta kekurangan
masing-masing siswa.
Hal tersebut dilakukan Kemendikbud karena mempertimbangkan dampak negatif psikologi bagi anak. Dan sebagai wujud keseriusan pelaksanaan, Kemendikbud pun telah melakukan pelatihan tentang sistem raport tersebut pada perwakilan dari 6.000 sekolah se-Indonesia di tahun ini.
Kepada wartawan, Aji menuturkan, dengan metode pembelajaran yang diterapkan saat ini tidak mungkin tidak ada anak yang tidak naik kelas, dimana semua anak dikumpulkan dan mendapat materi dan treatment yang sama. Karenanya perlu metode pembelajaran yang disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing anak.
"Setidaknya metode dan penerapan ini dilakukan mulai kelas 4 SD. Identifikasi kemampuan anak bisa dilakukan untuk membedakan metode pembelajaran yang diterapkan. Anak-anak dengan kemampuan yang sama memeroleh materi dan treatment yang sama pula. Ini bukan membedakan
anak tapi cara pembelajarannya yang berbeda," jelasnya.
Menurut Aji, sistem raport SD tanpa angka tersebut sebenarnya sudah diamanatkan dalam kurikulum 2013. Dan jika rencana tersebut benar-benar diterapkan, tidak menjadi masalah bagi DIY karena selama ini hampir tidak ada siswa SD di DIY yang tidak naik kelas.
"Di DIY sendiri juga sudah banyak sekolah yang menerapkan sistem rapor seperti itu, bahkan tanpa melakukan perangkingan hasil pembelajaran siswa. Penilaian lebih bersifat pada saran dan memberikan apresiasi terhadap apa yang sudah dilakukan siswa. Bentuk raport
seperti inilah yang memang tepat bagi siswa SD," ungkapnya.
Aji juga menegaskan, DIY siap melaksanakan dan mensosialisasikan jika rencana sistem raport siswa SD tersebut dilaksanakan. Baginya, tidak ada kata sulit jika berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan siswa.
Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi menuturkan, munculnya kebijakan sistem raport baru bagi siswa SD tersebut menandakan pemerintah tidak berpikir komperhensif. Menurutnya, suatu kebijakan haruslah disertai dengan dasar yang kuat, bukan hanya merupakan hasil pikiran lingkungan terbatas yang kemudian diberlakukan secara luas.
"Seharusnya sebuah kebijakan dikaji, ditelaah dan disosialisasikan terlebih dahulu. Bahkan harusnya juga melibatkan para ahli dan guru yang nantinya menjadi pelaksanan di lapangan. Apalagi ini mengenai kemamuan anak," ujarnya.
Dikatakan Wuryadi, kapasitas masing-masing anak pasti berbeda. Dan tentu akan sangat sulit mensejajarkan semua anak apalagi jika faktor rendahnya IQ menjadi alasan tidak naik kelasnya seorang anak.
"Karenanya, penyamarataan kenaikan kelas semua siswa SD masih perlu diperdebatkan karena pendidikan masih akan terlanjut sampai SMP dan SMA," imbuhnya.
UN SD dihapus
"Kami sendiri belum menerima pemberitahuan dari Kemendikbud mengenai rencana ini. Namun jika benar akan dilaksanakan, jelas metode pembelajaran siswa SD tidak bisa terus seperti saat ini. Jika tidak berubah, tentu dapat menimbulkan masalah," ujar Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Kadarmanta Baskara Aji, Senin, 2 Desember 2013.
Kemendikbud sendiri berencana mulai 2014 akan menerapkan sistem rapor di mana tidak akan ada siswa SD yang tidak naik kelas. Dalam rapor siswa SD nantinya penilaian tidak dilakukan dengan angka tapi menuliskan deskripsi mengenai prestasi, kemampuan serta kekurangan
masing-masing siswa.
Hal tersebut dilakukan Kemendikbud karena mempertimbangkan dampak negatif psikologi bagi anak. Dan sebagai wujud keseriusan pelaksanaan, Kemendikbud pun telah melakukan pelatihan tentang sistem raport tersebut pada perwakilan dari 6.000 sekolah se-Indonesia di tahun ini.
Kepada wartawan, Aji menuturkan, dengan metode pembelajaran yang diterapkan saat ini tidak mungkin tidak ada anak yang tidak naik kelas, dimana semua anak dikumpulkan dan mendapat materi dan treatment yang sama. Karenanya perlu metode pembelajaran yang disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing anak.
"Setidaknya metode dan penerapan ini dilakukan mulai kelas 4 SD. Identifikasi kemampuan anak bisa dilakukan untuk membedakan metode pembelajaran yang diterapkan. Anak-anak dengan kemampuan yang sama memeroleh materi dan treatment yang sama pula. Ini bukan membedakan
anak tapi cara pembelajarannya yang berbeda," jelasnya.
Menurut Aji, sistem raport SD tanpa angka tersebut sebenarnya sudah diamanatkan dalam kurikulum 2013. Dan jika rencana tersebut benar-benar diterapkan, tidak menjadi masalah bagi DIY karena selama ini hampir tidak ada siswa SD di DIY yang tidak naik kelas.
"Di DIY sendiri juga sudah banyak sekolah yang menerapkan sistem rapor seperti itu, bahkan tanpa melakukan perangkingan hasil pembelajaran siswa. Penilaian lebih bersifat pada saran dan memberikan apresiasi terhadap apa yang sudah dilakukan siswa. Bentuk raport
seperti inilah yang memang tepat bagi siswa SD," ungkapnya.
Aji juga menegaskan, DIY siap melaksanakan dan mensosialisasikan jika rencana sistem raport siswa SD tersebut dilaksanakan. Baginya, tidak ada kata sulit jika berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan siswa.
Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi menuturkan, munculnya kebijakan sistem raport baru bagi siswa SD tersebut menandakan pemerintah tidak berpikir komperhensif. Menurutnya, suatu kebijakan haruslah disertai dengan dasar yang kuat, bukan hanya merupakan hasil pikiran lingkungan terbatas yang kemudian diberlakukan secara luas.
"Seharusnya sebuah kebijakan dikaji, ditelaah dan disosialisasikan terlebih dahulu. Bahkan harusnya juga melibatkan para ahli dan guru yang nantinya menjadi pelaksanan di lapangan. Apalagi ini mengenai kemamuan anak," ujarnya.
Dikatakan Wuryadi, kapasitas masing-masing anak pasti berbeda. Dan tentu akan sangat sulit mensejajarkan semua anak apalagi jika faktor rendahnya IQ menjadi alasan tidak naik kelasnya seorang anak.
"Karenanya, penyamarataan kenaikan kelas semua siswa SD masih perlu diperdebatkan karena pendidikan masih akan terlanjut sampai SMP dan SMA," imbuhnya.
UN SD dihapus
(lal)