Indonesia sulit aksesi aturan soal rokok
A
A
A
Sindonews.com - Indonesia masih terganjal dalam mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau auran soal rokok, hal ini dikarenakan beberapa kementerian masih tidak bersepakat.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengatakan, pemerintah mengupayakan dalam mengakses FCTC masih terkendala oleh keberatan sejumlah kementerian. Namun, berbagai upaya terus dilakukan.
“Masih ada sejumlah pertanyaan dari kementerian lain soal perlunya aksesi FCTC. Namun, jalan tengahnya sedang diupayakan melalui rapat koordinasi,” ujar Nafsiah usai memimpin upacara peringatan Hari Kesehatan Nasional di Lapangan Monas Jakarta, kemarin.
Sebelumnya Menkes mengatakan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sempat mengajukan keberatan soal upaya aksesi FCTC.
Dalam hal ini Kemenperin berpendapat bahwa industri hasil tembakau adalah industri legal, berdasarkan Perpres Nomer 28 Tahun 2008 dimasukan dalam industri prioritas yang harus dipertahankan dengan iklim usaha yang kondusif.
"Di masa itu industri rokok sangat besar dan mengalahkan kepentingan kesehatan masyarakat. Pada 2012, bukti-bukti dampak negatif rokok terhadap kesehatan jauh lebih jelas," ujarnya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Balitbankes Kemenkes 2012, disebutkan sekitar 200 ribu orang meninggal di Indonesia karena penyakit yang berhubungan dengan rokok sebanyak 12,7 persen dari total kematian. Bahkan secara makro ekonomi, total kerugian terkait penyakit akibat rokok mencapai Rp245,41 triliun.
Dalam pidato HKN 2013, Menkes meminta pada seluruh jajaran di Kemenkes untuk berupaya keras menyehatkan masyarakat dan mampu membuahkan keberhasilan dalam pembangunan kesehatan. Menurut dia, saat ini sebanyak 2.186 rumah sakit, 9.599 puskemas dan lebih dari 23 ribu puskemas pembantu, lebih dari 54 ribu pos kesehatan desa, dan lebih dari 276 ribu posyandu tersebar di seluruh Indonesia untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Sementara itu Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ( P2PL) Kemenkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar prevalensinya setelah Cina dan India dengan pengkonsumsi produk tembakau tertinggi yang akan mengancam kesehatan kualitas SDM.
Menurut GATS 2011, menunjukan prevalensi merokok orang dewasa Indonesia sebesar 34,8 persen dengan presentase 67,4 persen laki-laki dan 4,5 persen perempuan. Sedangkan pada kalangan remaja 15-19 tahun 38,4 persen laki-laki dan 0,9 persen perempuan.
"Para perokok pemula usia 10-14 tahun naik dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5 persen pada tahun 2001 menjadi 17,5 persen pada tahun 2010," katanya.
Menurut Tjandra, faktor lingkuan dalam keluarga dan masyarakat sangat mempengaruhi. Dalam hal ini orang tua menjadi panutan dalam memberikan contoh anak-anaknya. Dari data GYTS 2009 menunjukan 72,4 persen remaja usia 13-15 tahun mempunyai orang tua yang merokok.
Berita terkait:
Indonesia belum ratifikasi FCTC.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengatakan, pemerintah mengupayakan dalam mengakses FCTC masih terkendala oleh keberatan sejumlah kementerian. Namun, berbagai upaya terus dilakukan.
“Masih ada sejumlah pertanyaan dari kementerian lain soal perlunya aksesi FCTC. Namun, jalan tengahnya sedang diupayakan melalui rapat koordinasi,” ujar Nafsiah usai memimpin upacara peringatan Hari Kesehatan Nasional di Lapangan Monas Jakarta, kemarin.
Sebelumnya Menkes mengatakan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sempat mengajukan keberatan soal upaya aksesi FCTC.
Dalam hal ini Kemenperin berpendapat bahwa industri hasil tembakau adalah industri legal, berdasarkan Perpres Nomer 28 Tahun 2008 dimasukan dalam industri prioritas yang harus dipertahankan dengan iklim usaha yang kondusif.
"Di masa itu industri rokok sangat besar dan mengalahkan kepentingan kesehatan masyarakat. Pada 2012, bukti-bukti dampak negatif rokok terhadap kesehatan jauh lebih jelas," ujarnya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Balitbankes Kemenkes 2012, disebutkan sekitar 200 ribu orang meninggal di Indonesia karena penyakit yang berhubungan dengan rokok sebanyak 12,7 persen dari total kematian. Bahkan secara makro ekonomi, total kerugian terkait penyakit akibat rokok mencapai Rp245,41 triliun.
Dalam pidato HKN 2013, Menkes meminta pada seluruh jajaran di Kemenkes untuk berupaya keras menyehatkan masyarakat dan mampu membuahkan keberhasilan dalam pembangunan kesehatan. Menurut dia, saat ini sebanyak 2.186 rumah sakit, 9.599 puskemas dan lebih dari 23 ribu puskemas pembantu, lebih dari 54 ribu pos kesehatan desa, dan lebih dari 276 ribu posyandu tersebar di seluruh Indonesia untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Sementara itu Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ( P2PL) Kemenkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar prevalensinya setelah Cina dan India dengan pengkonsumsi produk tembakau tertinggi yang akan mengancam kesehatan kualitas SDM.
Menurut GATS 2011, menunjukan prevalensi merokok orang dewasa Indonesia sebesar 34,8 persen dengan presentase 67,4 persen laki-laki dan 4,5 persen perempuan. Sedangkan pada kalangan remaja 15-19 tahun 38,4 persen laki-laki dan 0,9 persen perempuan.
"Para perokok pemula usia 10-14 tahun naik dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5 persen pada tahun 2001 menjadi 17,5 persen pada tahun 2010," katanya.
Menurut Tjandra, faktor lingkuan dalam keluarga dan masyarakat sangat mempengaruhi. Dalam hal ini orang tua menjadi panutan dalam memberikan contoh anak-anaknya. Dari data GYTS 2009 menunjukan 72,4 persen remaja usia 13-15 tahun mempunyai orang tua yang merokok.
Berita terkait:
Indonesia belum ratifikasi FCTC.
(maf)