Halal tapi banyak mudarat
A
A
A
Sindonews.com - Geger reformasi dengan demokrasi langsung melahirkan biaya politik supermahal. Kabarnya, mendirikan partai dan menjadikannya peserta pemilu membutuhkan dana triliunan rupiah. Sebab itu, wajar jika partai haus fulus dalam jumlah besar.
Dari kebutuhan tersebut, masuklah kepentingan bisnis dan para pemilik modal ke dalam partai. Tentu saja, tak ada makan siang gratis. Pemilik modal masuk bukan tanpa syarat. Biasanya mereka ingin berkuasa di dalam partai atau menempatkan orang pilihan mereka.
Tak aneh jika kemudian pemilik modal yang menjadi penguasa ini berambisi menempatkan keluarga dan kerabat di posisi strategis, baik di pemerintahan maupun partai. Tujuannya, agar kendali tetap ada di tangan mereka dan uang mereka tak sia-sia.
“Modal awalnya adalah bisnis, baru kemudian (membangun) dinasti politik. Seperti di Banten, ayah Atut (Chasan Shohib) sudah memiliki jaringan bisnis dan punya kedekatan dengan oknum tentara dan polisi,” jelas peneliti ICW Firdaus Ilyas.
Perselingkuhan bisnis dan politik di era demokrasi menghasilkan paradoks: dinastik politik bak sistem monarki semakin mencengkeram di sejumlah daerah. Pemilu kepala daerah pun tak ubahnya pesta keluarga tertentu.
Ada anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah kepala daerah berkuasa yang mencalonkan diri dalam arena pemilu. Bahkan para menantu juga tak mau ketinggalan. Total, menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, ada 57 kepala daerah yang membangun trah politik di wilayah kekuasaan mereka.
Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman, adik tiri Atut, menolak keluarga besarnya dianggap membangun dinasti politik. Bagi Haerul, mereka tidak diangkat layaknya suksesi dalam kerajaan tetapi dipilih rakyat dalam pemilu. “Saya dipilih rakyat dan Ibu Atut Juga demikian. Kami dipercaya oleh masyarakat.”
Alasan yang sama disampaikan Gubernur Lampung Sjachroedin Zainal Pagaralam. Oedin, panggilan kecil Sjachroedin, tercatat sebagai Gubernur pertama yang melantik putranya sendiri, Rycko Menoza, sebagai Bupati Lampung Selatan, Agustus 2010. Putranya yang lain, Handitya Narapati, juga terpilih sebagai Wakil Bupati Pringsewu.
“Orang banyak omong. Dinasti politik ini dipilih langsung oleh rakyat dan sudah kehendak Tuhan. Kalau banyak rakyat yang milih, berarti dia orang baik.”
Firdaus tak menampik bahwa dinasti politik bisa jadi ‘halal’ karena terpilih secara demokratis. “Secara aturan tidak masalah.” Persoalannya, yang halal belum tentu bermanfaat. Dibanding manfaatnya, politik kekerabatan menimbulkan lebih banyak mudarat. Secara membabi-buta mereka menguasai akses kepada sumber daya.
Banten dan Ratu Atut adalah contoh nyata. Kecenderungan korupsi berkeluarga pun tinggi. “Dinasti politik tak peduli pada masyarakat luas, hanya pada keluarga mereka,” kata Uchok Sky Kadhafi, Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA.
Parahnya, untuk ‘menghalalkan’ yang haram itu, tentakel mereka menjulur hingga ke lembaga legislatif. Akibatnya, mekanisme pengawasan mandul. Sebab, DPRD sudah berada dalam ketiak kekuasaan mereka. “Lihat saja Atut! Setelah 12 tahun berkuasa, sanak familinya ada di mana-mana: DPRD, DPR dan DPD,” kata Firdaus.
Demi mempertahankan kekuasaan, mereka juga kerap ‘menghalalkan’ segala cara agar mereka atau keluarga terus terpilih. Praktik yang biasa dilakukan adalah politik uang secara telanjang atau memanfaatkan dana negara untuk proyek sosial—biasa diistilahkan dengan “gentong babi” (pork barrel).
Dalam kasus Banten, ICW mencatat kenaikan fantastis dana hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Gubernur pada 2011. Pada 2009, total dana hibah dan bansos dianggarkan sebesar Rp74 miliar. Tapi pada 2010, anggaran hibah dan bansos melonjak hingga empat kali lipat, Rp290,7 miliar. Peningkatan cukup tajam juga terlihat pada 2011 ketika anggaran hibah dan bansos nyaris menyentuh angka Rp400 miliar.
Modus lain adalah dengan ‘membeli’ aparat penegak hukum. FITRA menemukan anggaran Banten 2013 dalam jumlah cukup besar diberikan kepada lembaga-lembaga vertikal, seperti Pengadilan Negeri dan Komando Resor Militer. Nilainya Rp6,27 miliar.
Selain lembaga vertikal tersebut sudah mendapat jatah dari APBN, penyaluran seperti itu juga menyalahi peraturan Menteri Dalam Negeri. “Patut diduga pemberian ini dilakukan agar pemimpin daerah ‘nyaman’ dan tidak ‘diganggu’,” kata Uchok.
Ayah, ibu, istri, anak, adik, kakak, dan bahkan menantu atau mertua kepala daerah berkuasa tampaknya harus bersiap-siap “berpuasa” takhta—setidaknya selama lima tahun atau satu periode masa jabatan.
Rancangan revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Pemerintah dirancang untuk menjadi pisau ampuh yang membabat nafsu berkuasa trah politik.
Beleid tersebut melarang calon kepala daerah memiliki ikatan perkawinan dan garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan kepala daerah berkuasa, kecuali ada selang waktu tertentu. “Kita harus batasi ini,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek.
Namun, rancangan belum tentu diamini DPR. Ketua Komisi Pemerintahan Agun Gunandjar Sudarsa menilai inti persoalan bukan pada pembatasan hak politik bagi keluarga dan kerabat kepada daerah berkuasa tapi pada isu pembiayaan partai politik. “Selama pembiayaan partai tidak diatur, maka partai hanya akan dikuasai orang-orang yang punya duit,” kata politisi Golkar itu.
Baca selengkapnya di SINDO Weekly No. 35/Tahun 2, 2013, terbit Kamis 31 Oktober 2013.
Dari kebutuhan tersebut, masuklah kepentingan bisnis dan para pemilik modal ke dalam partai. Tentu saja, tak ada makan siang gratis. Pemilik modal masuk bukan tanpa syarat. Biasanya mereka ingin berkuasa di dalam partai atau menempatkan orang pilihan mereka.
Tak aneh jika kemudian pemilik modal yang menjadi penguasa ini berambisi menempatkan keluarga dan kerabat di posisi strategis, baik di pemerintahan maupun partai. Tujuannya, agar kendali tetap ada di tangan mereka dan uang mereka tak sia-sia.
“Modal awalnya adalah bisnis, baru kemudian (membangun) dinasti politik. Seperti di Banten, ayah Atut (Chasan Shohib) sudah memiliki jaringan bisnis dan punya kedekatan dengan oknum tentara dan polisi,” jelas peneliti ICW Firdaus Ilyas.
Perselingkuhan bisnis dan politik di era demokrasi menghasilkan paradoks: dinastik politik bak sistem monarki semakin mencengkeram di sejumlah daerah. Pemilu kepala daerah pun tak ubahnya pesta keluarga tertentu.
Ada anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah kepala daerah berkuasa yang mencalonkan diri dalam arena pemilu. Bahkan para menantu juga tak mau ketinggalan. Total, menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, ada 57 kepala daerah yang membangun trah politik di wilayah kekuasaan mereka.
Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman, adik tiri Atut, menolak keluarga besarnya dianggap membangun dinasti politik. Bagi Haerul, mereka tidak diangkat layaknya suksesi dalam kerajaan tetapi dipilih rakyat dalam pemilu. “Saya dipilih rakyat dan Ibu Atut Juga demikian. Kami dipercaya oleh masyarakat.”
Alasan yang sama disampaikan Gubernur Lampung Sjachroedin Zainal Pagaralam. Oedin, panggilan kecil Sjachroedin, tercatat sebagai Gubernur pertama yang melantik putranya sendiri, Rycko Menoza, sebagai Bupati Lampung Selatan, Agustus 2010. Putranya yang lain, Handitya Narapati, juga terpilih sebagai Wakil Bupati Pringsewu.
“Orang banyak omong. Dinasti politik ini dipilih langsung oleh rakyat dan sudah kehendak Tuhan. Kalau banyak rakyat yang milih, berarti dia orang baik.”
Firdaus tak menampik bahwa dinasti politik bisa jadi ‘halal’ karena terpilih secara demokratis. “Secara aturan tidak masalah.” Persoalannya, yang halal belum tentu bermanfaat. Dibanding manfaatnya, politik kekerabatan menimbulkan lebih banyak mudarat. Secara membabi-buta mereka menguasai akses kepada sumber daya.
Banten dan Ratu Atut adalah contoh nyata. Kecenderungan korupsi berkeluarga pun tinggi. “Dinasti politik tak peduli pada masyarakat luas, hanya pada keluarga mereka,” kata Uchok Sky Kadhafi, Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA.
Parahnya, untuk ‘menghalalkan’ yang haram itu, tentakel mereka menjulur hingga ke lembaga legislatif. Akibatnya, mekanisme pengawasan mandul. Sebab, DPRD sudah berada dalam ketiak kekuasaan mereka. “Lihat saja Atut! Setelah 12 tahun berkuasa, sanak familinya ada di mana-mana: DPRD, DPR dan DPD,” kata Firdaus.
Demi mempertahankan kekuasaan, mereka juga kerap ‘menghalalkan’ segala cara agar mereka atau keluarga terus terpilih. Praktik yang biasa dilakukan adalah politik uang secara telanjang atau memanfaatkan dana negara untuk proyek sosial—biasa diistilahkan dengan “gentong babi” (pork barrel).
Dalam kasus Banten, ICW mencatat kenaikan fantastis dana hibah dan bantuan sosial menjelang Pemilihan Gubernur pada 2011. Pada 2009, total dana hibah dan bansos dianggarkan sebesar Rp74 miliar. Tapi pada 2010, anggaran hibah dan bansos melonjak hingga empat kali lipat, Rp290,7 miliar. Peningkatan cukup tajam juga terlihat pada 2011 ketika anggaran hibah dan bansos nyaris menyentuh angka Rp400 miliar.
Modus lain adalah dengan ‘membeli’ aparat penegak hukum. FITRA menemukan anggaran Banten 2013 dalam jumlah cukup besar diberikan kepada lembaga-lembaga vertikal, seperti Pengadilan Negeri dan Komando Resor Militer. Nilainya Rp6,27 miliar.
Selain lembaga vertikal tersebut sudah mendapat jatah dari APBN, penyaluran seperti itu juga menyalahi peraturan Menteri Dalam Negeri. “Patut diduga pemberian ini dilakukan agar pemimpin daerah ‘nyaman’ dan tidak ‘diganggu’,” kata Uchok.
Ayah, ibu, istri, anak, adik, kakak, dan bahkan menantu atau mertua kepala daerah berkuasa tampaknya harus bersiap-siap “berpuasa” takhta—setidaknya selama lima tahun atau satu periode masa jabatan.
Rancangan revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Pemerintah dirancang untuk menjadi pisau ampuh yang membabat nafsu berkuasa trah politik.
Beleid tersebut melarang calon kepala daerah memiliki ikatan perkawinan dan garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan kepala daerah berkuasa, kecuali ada selang waktu tertentu. “Kita harus batasi ini,” kata Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek.
Namun, rancangan belum tentu diamini DPR. Ketua Komisi Pemerintahan Agun Gunandjar Sudarsa menilai inti persoalan bukan pada pembatasan hak politik bagi keluarga dan kerabat kepada daerah berkuasa tapi pada isu pembiayaan partai politik. “Selama pembiayaan partai tidak diatur, maka partai hanya akan dikuasai orang-orang yang punya duit,” kata politisi Golkar itu.
Baca selengkapnya di SINDO Weekly No. 35/Tahun 2, 2013, terbit Kamis 31 Oktober 2013.
(hyk)