Ketika dunia tak bersahabat, saatnya anak mencari taman

Selasa, 27 Agustus 2013 - 00:05 WIB
Ketika dunia tak bersahabat, saatnya anak mencari taman
Ketika dunia tak bersahabat, saatnya anak mencari taman
A A A
Sindonews.com - Ketika dunia sudah tidak bersahabat lagi dengan anak-anak, akankah permainan anak itu nampak nyata? Pertanyaan ini sejalan dengan kegundahan hati mengingat keberadaan Kota Solo, Jawa Tengah, yang kian hari kian macet, ramai, penuh tindak kriminalitas serta keberadaan masyarakatnya yang terlampau apatis dan tidak bersahabat.

Situasi Kota Solo saat ini, dimana selalu digadang-gadang sebagai kota layak anak, serasa tidak memiliki relevansinya ketika dihadapkan pada realitas yang kini terjadi. Namun siapa sangka, isu yang tak laku dibicarakan ini justru digarap apik oleh kumpulan teater sejumlah SMA dan SMP di kota Solo dalam sebuah drama realis berjudul Mencari Taman yang digelar di Teater Besar ISI Solo, Minggu (25/8/2013). Berangkat dari realitas itulah, para pelajar menuntut keberadaan taman bermain, yang kini hilang ditelan kemajuan zaman.

Bercerita tentang seorang anak gadis bernama Kasih. Meski namanya cukup indah, gadis ini justru kehilangan kasih dari kedua orang tuanya yang terlalu kawatir berlebihan dengan buah hatinya lantaran kondisi luar yang berbahaya. Tidak itu saja pada kenyataannya Kasih juga sudah kehilangan kasih dari dunia yang ia tinggali, dimana segala sesuatunya kini penuh kesemerawutan, apatis yang berlebihan. Dan anak-anak seperti Kasih kehilangan tempat bermainnya.

Dalam tidurnya yang lelap, Kasih tiba-tiba bermimpi. Boneka dan mainnya tiba-tiba bergerak dan berbicara, mengajaknya bermain dan bernyanyi. Begitupula dengan bulan yang juga tampak riang bermain dengan anak-anak yang kemudian satu per satu anak-anak yang mempunyai nasib sama seperti dengan Kasih pun berdatangan. Mereka nampak riang bersama bermain, mainan tradisional dibawah sinar terang rembulan, bahagia meski dalam mimpi.

Yogi Swara Manitis Aji, sang sutradara mengatakan isu yang dibangun dalam drama realis ini adalah keprihatinan dari kondisi globalisasi dimana taman sebagai lokasi bermain anak-anak kini mulai hilang. “Dahulu anak-anak yang sering bermain dibawah pancaran sinar bulan, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Kondisi zaman sudah berubah,” ujarnya kepada SINDO, Senin (26/2013).

Yogi mengatakan, naskah yang diperankan oleh siswa-siswi yang berasal dari Teater SMA N 1, SMA N 2, SMA N 6 dan SMP 14 Solo ini dekat dengan kondisi anak-anak zaman sekarang. Keberadaan taman sebagai lahan bermain, kondisi luar yang tidak bersahabat, serta orangtua yang protektif kini kerap menjadi pemandangan harian. “Mereka (anak-anak pemeran teater) saya tanya soal kondisi taman saat ini, dan secara lugas mengatakan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi taman yang benar-benar mendukung kebutuhan anak-anak bermain,” jelasnya.

Untuk membawakan isu yang dikemas dalam drama realis ini, Yogi mengaku menggunakan konsep yang jauh lebih mudah ditangkap penonton. Yakni dengan menggabungkan, gerak, nyanyian, dan dialog. Selama satu jam, indera penglihatan, indera pendengaran kita dimanjakan sajian yang menghibur, namun tidak kehilangan konteksnya yang kuat dalam menyuarakan keprihatinan akan keberadaan taman yang kini telah hilang.

“Jadi dalam pentas kali ini kami menggunakan sesuatu yang dekat dengan anak muda, seperti gerak tarian, dan nyanyi. kebetulan saat ini kan hal-hal semacam ini dekat sekali dengan anak-anak sekarang. Banyak sekarang teater yang bunuh diri dengan hanya mengunggulkan naskah pribadi, tanpa peduli bahwa penonton juga butuh sesuatu yang menarik,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa drama realis ini menjadi sesuatu yang baru, meski demikian, harus hati-hati jangan sampai kemudian anak-anak hanya sebatas memerankan. “Bagimanapun mereka adalah pelajar, sehingga dalam pelaksanaanya harus menjadi agen-agen yang bisa menyebarkan spirit keprihatinan kepada kawan-kawan mereka,” katanya.

Sementara itu, Miftakhurromah, pemeran Kasih menyampaikan bahwa sosok Kasih adalah seorang anak usia enam tahun yang terkungkung dalam keluarga sehingga tidak bisa bermain karena kekawatiran orang tua yang berlebihan. “Terlebih dunia luar yang tidak bersahabat lantaran banyaknya kendaraan yang berkeliaran di jalanan. Ini situasi yang sangat tidak mendukung anak-anak untuk bermain, bisa bermain lepas. Layaknya cerita-cerita dahulu dimana anak bisa bermain bebas di bawah sinar rembulan,” katanya.

Miftakh mengatakan cerita dalam drama realis ini sangat sesuai dengan realitas yang saat ini terjadi di dalam masyarakat. “Bahwa saat ini kondisi anak di kota metropolitan memang demikian. Mereka tidak lagi bisa bermaian bebas, karena situasi kota yang tidak mendukung, keberadaan globalisasi sudah menjauhkan mereka dari permaian-permainan anak yang dulu menjadi kegiatan sehari-anak-anak,” katanya.

Untuk memerankan tokok Kasih, Miftakh sendiri mempersiapkan diri sejak satu bulan sebelum pentas. Selain berlatih dan menghafalkan naskah, ia juga belajar banyak dengan melakukan observasi terhadap anak-anak zaman sekarang. “Saya belajar banyak dengan memerankan tokoh Kasih. Harapannya hal ini tidak lagi terjadi, anak-anak punya hak untuk bisa bermain lepas,” pungkasnya.
(lal)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6554 seconds (0.1#10.140)