Transformasi paradigma sandi negara

Senin, 19 Agustus 2013 - 13:08 WIB
Transformasi paradigma sandi negara
Transformasi paradigma sandi negara
A A A
PENGATURAN informasi strategis yang menopang terbentuknya sistem keamanan nasional mendapatkan dua tantangan empiris. Pertama, difusi informasi tidak dapat dikendalikan. Kedua, persandian informasi tidak mungkin sempurna dilakukan karena kerahasiaan tidak dapat dipertahankan (every code is breakable).

Tantangan terbaru yang muncul saat ini terlihat dalam tiga contoh kasus, yaitu pembocoran dokumen-dokumen strategis di situs wikileaks, penggunaan media sosial sebagai alat komunikasi politik oleh birokrat, elit politik, bahkan kepala negara, serta salah satu kasus terkini, pembocoran operasi mata-mata AS dan Inggris oleh Edward Snowden.

“Ketiga kasus tersebut menunjukkan bahwa saat ini kita masuk ke suatu era keterbukaan yang meningkatkan sumber-sumber kerawanan bagi pengamanan informasi strategis,” ujar pengamat militer dan intelejen, Andi Widjajanto.

Menurutnya, era keterbukaan ini memberikan pekerjaan rumah baru bagi negara untuk mengurangi kerawanan sistem keamanan nasional yang diakibatkan oleh luasnya difusi informasi strategis. Namun, difusi informasi strategis di satu sisi menjadi kebutuhan dasar negara sebagai organisasi birokratis yang makin besar sehingga dispersi otoritas di dalam negara juga semakin lebar. Konsekuensinya, budaya ketertutupan (culture of secrecy) tidak bisa lagi dipertahankan.

Di sisi lain, difusi informasi strategis menyebabkan peningkatan kerawanan negara sehingga negara harus menciptakan metode-metode baru untuk memperketat pengamanan informasi strategis.

Perpaduan antara eliminasi budaya ketertutupan dan pengurangan kerawanan negara menghasilkan suatu prinsip baru bagi pengelolaan informasi strategis, yaitu penciptaan metode kendali risiko, bukan pengamanan maksimum.

“Metode kendali risiko dibuat dengan asumsi bahwa lawan memiliki kapasitas teknologi tinggi yang memungkinkan membuka seluruh sistem persandian yang kita bangun. Untuk itu, negara harus terus menerus mengejar teknologi persandian terkini dan membangun sistem pengamanan berlapis dan tumpang tindih (necessary redundancy) untuk mengecilkan risiko yang ada,” terang Andi.

Dia menerangkan, metode kendali risiko ini diciptakan dengan menempatkan Lembaga Sandi Negara sebagai lembaga utama yang memiliki kewajiban untuk menegakkan prinsip secured and reliable access control.

Kendali atas akses informasi yang aman dan handal ini dibentuk oleh Lembaga Sandi Negara dengan menciptakan beragam mekanisme dan prosedur yang didasarkan atas aturan perundangan-undangan untuk meningkatkan legitimasi politik fungsi pengamanan informasi dan menjamin tetap tegaknya prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, kebebesan sipil, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Prinsip baru tersebut pada intinya berupaya menguji adaptabilitas dari pengaturan informasi strategis. Adaptabilitas mengharuskan negara menyiapkan pembentukan masyarakat terbuka (open society) dan meninggalkan budaya ketertutupan (culture of secrecy).

Saat ini, kendali risiko yang seharusnya secara penuh dilakukan oleh Lembaga Sandi Negara tersebar di seluruh Kementerian dan Lembaga pemerintah. Ketiadaan UU Rahasia Negara dan UU Persandian Negara membuat kendali risiko ini belum dilakukan dengan suatu standar nasional yang baku.

Tentunya, ini memunculkan kerawanan baru yang akan terus ada hingga kerangka regulasi lengkap yang memberikan otoritas penuh bagi Lembaga Sandi Negara untuk mengembangkan standar pengamanan informasi strategis terbentuk.

Tiga Pendekatan

Untuk mengimplementasikan mekanisme kendali risiko, Lembaga Sandi Negara dapat menerapkan salah satu atau kombinasi dari tiga pendekatan pengelolaan informasi strategis. Pertama, pendekatan konstitusionalis. Pendekatan ini menginginkan adanya suatu perangkat regulasi yang menyediakan kerangka pengaturan yang jelas tentang tataran kewenangan dalam mengelola informasi.

Kedua, pendekatan demokratisasi informasi. Pendekatan ini sangat menekankan dijaminnya hak rakyat untuk mendapat akses atas informasi publik, serta terselenggaranya kewajiban negara untuk melakukan distribusi informasi publik.

Ketiga adalah pendekatan institusionalisasi informasi yang menginginkan adanya, pembagian kewenangan yang jelas antara instansi pengelola informasi serta mekanime dan prosedur yang jelas untuk mengelola informasi.

“Tiga pendekatan tersebut belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Di satu sisi, kita hidup dalam suatu rezim tertutup yang secara akademik dikenal sebagai rezim arcana imperii (negara misterius). Instansi-instansi pemerintah memiliki ribuan dokumen yang tidak dapat diakses oleh publik karena diklasifikasikan sebagai rahasia negara,” ungkap Andi.

Pejabat negara memiliki kewenangan mutlak tanpa batas untuk menutup suatu informasi dan menetapkannya dalam kategori rahasia. Publik sama sekali tidak memiliki akses untuk mengetahui jenis-jenis informasi yang ditetapkan dalam kategori rahasia. Masyarakat tidak mengetahui mekanisme dan prosuder yang dipergunakan instansi pemerintah untuk menetapkan rahasia negara.

“Di sisi lain, saat ini kita digoda oleh Julian Assange, Mark Zuckerberg, dan Edward Snowden untuk memulai proses transparansi jejaring informasi melalui proses sebaran informasi tanpa batas. Melalui slogan “open government”, Assange dan Wikileaks berupaya memaksa pemerintah untuk membuat kebijakan dalam suatu ruang terbuka yang bisa diakses oleh publik,” terangnya.

Melalui slogan “global social network” Zuckerberg dan Facebook berupaya membuat pemerintah untuk melakukan komunikasi politik secara instan dengan konstituennya. Di mana Edward Snowden menampar pemerintah AS dan Inggris yang melakukan kegiatan mata-mata secara masif terhadap warga negaranya sendiri.

Arcana imperii dan transparansi jejaring informasi sama-sama melemahkan upaya untuk menerapkan tiga pendekatan pengelolaan informasi di era keterbukaan. Arcana Imperii jelas akan menciptakan suatu sistem informasi tertutup yang ditopang oleh kewenangan absolut negara untuk mengelola informasi strategis. Transparansi jejaring akan meniadakan kendali negara untuk mengelola informasi strategis.

Pendekatan konstitusionalis yang menginginkan adanya perangkat regulasi yang ketat untuk mengelola informasi akan tidak lagi relevan. Para hacktivist bekerja tanpa mempedulikan tataran kewenangan pengelolaan informasi yang merupakan manifestasi dari proses politik di suatu negara. Hackticist justru bercita-cita untuk membongkar tataran kewenangan tersebut sehingga setiap orang bisa memiliki akses bebas dan langsung ke informasi-informasi strategis.

Pendekatan demokratisasi dan institusionalisasi informasi juga cenderung ditabrak oleh para hacktivist. Tanpa suatu legitimasi politik dan kewenangan birokrasi yang jelas, para hacktivist dapat leluasa membuka akses seluas-luasnya kepada publik untuk memperoleh informasi strategis.

Ketiadaan legitimasi dan kewenangan yang jelas dalam bertindak ini merupakan awal dari munculnya gerakan anarki informasi yang bertujuan untuk membuat informasi bergerak liar tanpa bisa lagi dikendalikan oleh negara.

Paradigma Baru

Dalam era keterbukaan informasi ini, slogan “information is power” sudah waktunya diganti menjadi “sharing information is power”. Negara tidak boleh lagi berpikir bahwa kekuatan negara ditentukan oleh berapa banyak informasi yang dimiliki dan ditutup. Negara sudah harus berpikir mengintegrasikan keterbukaan ini ke dalam sistem informasi strategis.

Di era transpransi jejaring ini, Lembaga Sandi Negara harus mencari cara untuk mengamankan informasi strategis saat pemerintah memiliki kebutuhan nyata untuk membuka dan menyebarkan informasi secara masif dalam waktu yang cepat. Pendekatan tradisional persandian yang menekankan kombinasi tertutup-aman, harus segera dibalik menjadi terbuka-tersebar-aman.

“Saat ini, tantangan terbesar Lembaga Sandi Negara adalah menciptakan mekanisme kendali risiko untuk pengamanan informasi strategis dengan tujuan mempercepat dan memperluas distribusi informasi ke masyarakat. Jika ini bisa dilakukan, Lembaga Sandi Negara akan tetap relevan menjalankan fungsinya di era keterbukaan informasi,” jelas Andi.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8170 seconds (0.1#10.140)