Media massa berperan jadi kontrol sosial
A
A
A
Sindonews.com - Festival Jurnalistik kembali digelar Kampus IISIP, Jakarta. Seminar kali ini dikemas dalam bentuk talkshow atau bincang santai yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang umumnya tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (Himajur) IISIP.
Wartawan senior yang juga dosen mata kuliah Penulisan Berita di IISIP Gantyo Koespradono mengatakan, jika berbicara bahwa media massa atau pers sebagai kekuatan keempat artinya saat ini praktis tak ada lagi lembaga yang super power di Indonesia. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, DPR setara dengan eksekutif,
"Dan yudikatif juga punya kekuatan dan kelemahan. Lembaga yang paling ditakuti hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak ada satupun pejabat menang pilkada tanpa peran pers. Jurkamnya wartawan, kepala daerah belum tentu bisa jadi gubernur, dan wakil gubernur tanpa media, contohnya seperti Jokowi-Ahok," ungkapnya di Auditorium IISIP, Jakarta, Rabu (12/6/2013).
Namun, Gantyo menegaskan bahwa pers tak boleh sombong. Sebab wartawan harus mempunyai karakter dan mengedepankan fakta, bukan opini. "Fakta itu suci, tak boleh dinodai. Harus mengedepankan fakta," tegasnya.
Redpel Kompas James Novak Luhulima mengatakan, media massa dalam kontrol sosial masyarakat, yakni masyarakat bisa mengawasi langsung jika tak suka maka akan langsung ditinggalkan oleh masyarakat. Wartawan dalam bekerja diikat kode etik dan peraturan perundang-undanganan, pers akan menjadi baik, jika mematuhi kode etik.
"Kontrol masyarakat terhadap pers enggak beli saja kalau enggak suka. Enggak suka melihat televisi, tinggal ganti channel, dan sebagai wartawan media cetak, kertas tetap media yang dicetak, tetap dianggap banyak orang, akurat dan kredibel, dalam banyak hal media cetak mewakili kredibilitas tertentu," ungkap James.
James menjelaskan agar masyarakat bisa memprotes langsung tulisan wartawan, media bisa memulai mencantumkan alamat email wartawan. "Ini barangkali bisa dimulai jadi masyarakat bisa menanggapi langsung," jelasnya.
Sementara itu, Redpel Okezone Fetra Hariandja mengatakan pertumbuhan media massa semakin pesat seiring berkembangnya media online. Disana, kata Fetra, masyarakat juga bisa menyampaikan pendapatnya secara langsung dengan ruang yang tak terbatas.
"Di Okezone kita memberikan ruang namanya MyZone, seperti halnya di Kompas ada Kompasiana. Kita memberikan ruang khalayak luas untuk mengemukakan pendapat, bangsa ini seperti apa. Trendnya apa, sehingga komunitas harus dijaga," papar Fetra.
Fetra menambahkan, kesempatan mengeluarkan pendapat, baru dimulai pada era Presiden BJ Habibie. "Disitulah baru masyarakat punya kesempatan. Begitu juga media, semua media yang naik jangan harap bisa mengkritisi pemerintah saat itu memberi pandangan solusi, kalau saat ini posisi media selalu berada di tengah kontrol sosial," tutup Fetra.
Wartawan senior yang juga dosen mata kuliah Penulisan Berita di IISIP Gantyo Koespradono mengatakan, jika berbicara bahwa media massa atau pers sebagai kekuatan keempat artinya saat ini praktis tak ada lagi lembaga yang super power di Indonesia. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, DPR setara dengan eksekutif,
"Dan yudikatif juga punya kekuatan dan kelemahan. Lembaga yang paling ditakuti hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak ada satupun pejabat menang pilkada tanpa peran pers. Jurkamnya wartawan, kepala daerah belum tentu bisa jadi gubernur, dan wakil gubernur tanpa media, contohnya seperti Jokowi-Ahok," ungkapnya di Auditorium IISIP, Jakarta, Rabu (12/6/2013).
Namun, Gantyo menegaskan bahwa pers tak boleh sombong. Sebab wartawan harus mempunyai karakter dan mengedepankan fakta, bukan opini. "Fakta itu suci, tak boleh dinodai. Harus mengedepankan fakta," tegasnya.
Redpel Kompas James Novak Luhulima mengatakan, media massa dalam kontrol sosial masyarakat, yakni masyarakat bisa mengawasi langsung jika tak suka maka akan langsung ditinggalkan oleh masyarakat. Wartawan dalam bekerja diikat kode etik dan peraturan perundang-undanganan, pers akan menjadi baik, jika mematuhi kode etik.
"Kontrol masyarakat terhadap pers enggak beli saja kalau enggak suka. Enggak suka melihat televisi, tinggal ganti channel, dan sebagai wartawan media cetak, kertas tetap media yang dicetak, tetap dianggap banyak orang, akurat dan kredibel, dalam banyak hal media cetak mewakili kredibilitas tertentu," ungkap James.
James menjelaskan agar masyarakat bisa memprotes langsung tulisan wartawan, media bisa memulai mencantumkan alamat email wartawan. "Ini barangkali bisa dimulai jadi masyarakat bisa menanggapi langsung," jelasnya.
Sementara itu, Redpel Okezone Fetra Hariandja mengatakan pertumbuhan media massa semakin pesat seiring berkembangnya media online. Disana, kata Fetra, masyarakat juga bisa menyampaikan pendapatnya secara langsung dengan ruang yang tak terbatas.
"Di Okezone kita memberikan ruang namanya MyZone, seperti halnya di Kompas ada Kompasiana. Kita memberikan ruang khalayak luas untuk mengemukakan pendapat, bangsa ini seperti apa. Trendnya apa, sehingga komunitas harus dijaga," papar Fetra.
Fetra menambahkan, kesempatan mengeluarkan pendapat, baru dimulai pada era Presiden BJ Habibie. "Disitulah baru masyarakat punya kesempatan. Begitu juga media, semua media yang naik jangan harap bisa mengkritisi pemerintah saat itu memberi pandangan solusi, kalau saat ini posisi media selalu berada di tengah kontrol sosial," tutup Fetra.
(kri)