Ancaman siswa tak lulus UN makin besar
A
A
A
Sindonews.com - Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) menilai ancaman ketidaklulusan siswa karena amburadulnya Ujian Nasional (UN) tahun ini akan sangat besar.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan PB PGRI Mohammad Abduhzen mengatakan, akan banyak siswa yang tidak lulus karena penundaan pelaksanaan UN di 11 provinsi.
"Ada beban psikologis yang ditanggung anak. Secara logika, siswa ingin UN sesuai jadwal karena mereka sudah belajar sekian lama sehingga tidak mau terlalu lama stress dengan ujian," ujar Abduhzen melalui rilisnya yang diterima SINDO, Rabu (7/4/2013).
Diketahui, tahun kemarin kelulusan UN siswa SMA mencapai 99,50 persen.
“Bagi siswa lebih cepat lebih baik karena ini adalah ujian penentu tiga tahun mereka bersekolah,” tukasnya.
Abduhzen tak bisa memprediksi berapa siswa yang tidak lulus. Namun akan dipastikan siswa di 11 provinsi sangat terancam kelulusannya.
Apalagi diketahui 11 provinsi ini seperti di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tengga Barat dan Timur banyak sekolah yang terisolir.
Ia mencontohkan, seperti peserta UN di Krayan (Kalimantan Timur) yang harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah yang ditunjuk menjadi sekolah pelaksana UN di Malinau.
“Siswa itu dari Krayan harus terbang dulu ke Tarakan. Pesawatnya hanya terbang sekali seminggu. Lalu dari Tarakan ke Malinau dilanjutkan dengan speedboat selama empat jam. Di Malinau mereka harus sewa kos. Lalu jika UN ditunda mereka harus menambah biaya kos. Apa mau Mendikbud menanggung biaya tambahan ini,” ujarnya.
Dengan ancaman ketidaklulusan tersebut, ia meminta pemerintah menunda nilai UN sebagai persyaratan lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan.
Menurut pendapatnya, ada baiknya dengan adanya penundaan ini maka ujian tulis di SNMPTN di dibuka kembali.
Ia menegaskan, UN yang menjadi pemetaan dan syarat kelulusan itu adalah kesalahan besar. Jika pemerintah ingin UN menjadi alat pemetaan maka tidak boleh berimplikasi pada lulus tidaknya siswa.
Selain itu pemetaan tidak perlu dilakukan setiap tahun karena dinamika pendiidkan juga tidak terjadi setahun sekali. Seperti halnya survei maka pemetaan tidak perlu dilakukan secara nasional, cukup dengan mengambil sample saja.
Sementara itu, Ketua PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo mengatakan, karut marutnya UN tahun ini bukan hanya sekedar masalah teknis namun masalah humanis.
Hal ini merupakan cerminan dari tidak beresnya manajemen Kemendikbud dalam memegang amanah penyelenggaran pendidikan nasional. Pemerintah dan percetakan pun saling lempar tanggung jawab.
Keduanya menganggap ini sekedar masalah teknis yang dapat diselesaikan dengan kata maaf.
"Pendidikan adalah episentrum yang menentukan perjalanan bangsa. Jangan mempercayakan pendidikan pada pihak yang tidak berkompeten," jelasnya.
Oleh karena itu dengan kajian mendalam atas fakta di atas pihaknya meminta UN untuk dihapuskan. Pemerintah wajib merumuskan kembali model evaluasi dan pembelajaran yang sesuai dengan perundang-undangan.
Secara prinsipil, sambungnya UN melanggar UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Amanatnya jelas bahwa evaluasi hasil belajar siswa dilakukan oleh guru. Penilaian itu disebabkan karena ternyata UN tidak berhasil mengingkatkan semangat belajar, menimbulkan kecurangan, menimbulkan ketegangan murid, dan menanamkan mental koruptif pada anak," ungkapnya.
Secara terpisah, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, tidak hanya siswa di 11 provinsi yang terancam tidak lulus namun di provinsi lain yang mengalami keterlambatan soal tiba di lokasi juga terancam.
Ia mengungkapkan, di Riau, Jawa Timur dan Sumatera Utara soal telat hingga 1,5 jam. Akibatnya siswa lelah menunggu dan ketika mengerjakan soal sudah kelelahan.
“Tidak hanya siswa yang tertekan namun juga pengawas ruang dari sekolah lain yang stress dan kelelahan,” ungkapnya.
Selain itu rendahnya kualitas kertas naskah menyebabkan sobeknya lembar jawaban. Para siswa sempat stress dan panic karena dibayangi ketakutan lembaran jawabannya tidak dapat terbaca komputer.
Kekurangan soal yang terjadi di Sumut, Riau dan Banten juga menjadikan anak stress. Pasalnya, siswa takut lembar jawaban yang difotokopi kemungkinan tidak terbaca oleh sistem lomputer dan siswa dapat dinyatakan tidak lulus.
Ketakutan ini adalah logis karena soal dan jawaban merupakan satu paket dari percetakan dan memiliki kode khusus dari percetakan sehingga renntan dibaca di komputer.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan PB PGRI Mohammad Abduhzen mengatakan, akan banyak siswa yang tidak lulus karena penundaan pelaksanaan UN di 11 provinsi.
"Ada beban psikologis yang ditanggung anak. Secara logika, siswa ingin UN sesuai jadwal karena mereka sudah belajar sekian lama sehingga tidak mau terlalu lama stress dengan ujian," ujar Abduhzen melalui rilisnya yang diterima SINDO, Rabu (7/4/2013).
Diketahui, tahun kemarin kelulusan UN siswa SMA mencapai 99,50 persen.
“Bagi siswa lebih cepat lebih baik karena ini adalah ujian penentu tiga tahun mereka bersekolah,” tukasnya.
Abduhzen tak bisa memprediksi berapa siswa yang tidak lulus. Namun akan dipastikan siswa di 11 provinsi sangat terancam kelulusannya.
Apalagi diketahui 11 provinsi ini seperti di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tengga Barat dan Timur banyak sekolah yang terisolir.
Ia mencontohkan, seperti peserta UN di Krayan (Kalimantan Timur) yang harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah yang ditunjuk menjadi sekolah pelaksana UN di Malinau.
“Siswa itu dari Krayan harus terbang dulu ke Tarakan. Pesawatnya hanya terbang sekali seminggu. Lalu dari Tarakan ke Malinau dilanjutkan dengan speedboat selama empat jam. Di Malinau mereka harus sewa kos. Lalu jika UN ditunda mereka harus menambah biaya kos. Apa mau Mendikbud menanggung biaya tambahan ini,” ujarnya.
Dengan ancaman ketidaklulusan tersebut, ia meminta pemerintah menunda nilai UN sebagai persyaratan lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan.
Menurut pendapatnya, ada baiknya dengan adanya penundaan ini maka ujian tulis di SNMPTN di dibuka kembali.
Ia menegaskan, UN yang menjadi pemetaan dan syarat kelulusan itu adalah kesalahan besar. Jika pemerintah ingin UN menjadi alat pemetaan maka tidak boleh berimplikasi pada lulus tidaknya siswa.
Selain itu pemetaan tidak perlu dilakukan setiap tahun karena dinamika pendiidkan juga tidak terjadi setahun sekali. Seperti halnya survei maka pemetaan tidak perlu dilakukan secara nasional, cukup dengan mengambil sample saja.
Sementara itu, Ketua PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo mengatakan, karut marutnya UN tahun ini bukan hanya sekedar masalah teknis namun masalah humanis.
Hal ini merupakan cerminan dari tidak beresnya manajemen Kemendikbud dalam memegang amanah penyelenggaran pendidikan nasional. Pemerintah dan percetakan pun saling lempar tanggung jawab.
Keduanya menganggap ini sekedar masalah teknis yang dapat diselesaikan dengan kata maaf.
"Pendidikan adalah episentrum yang menentukan perjalanan bangsa. Jangan mempercayakan pendidikan pada pihak yang tidak berkompeten," jelasnya.
Oleh karena itu dengan kajian mendalam atas fakta di atas pihaknya meminta UN untuk dihapuskan. Pemerintah wajib merumuskan kembali model evaluasi dan pembelajaran yang sesuai dengan perundang-undangan.
Secara prinsipil, sambungnya UN melanggar UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Amanatnya jelas bahwa evaluasi hasil belajar siswa dilakukan oleh guru. Penilaian itu disebabkan karena ternyata UN tidak berhasil mengingkatkan semangat belajar, menimbulkan kecurangan, menimbulkan ketegangan murid, dan menanamkan mental koruptif pada anak," ungkapnya.
Secara terpisah, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan, tidak hanya siswa di 11 provinsi yang terancam tidak lulus namun di provinsi lain yang mengalami keterlambatan soal tiba di lokasi juga terancam.
Ia mengungkapkan, di Riau, Jawa Timur dan Sumatera Utara soal telat hingga 1,5 jam. Akibatnya siswa lelah menunggu dan ketika mengerjakan soal sudah kelelahan.
“Tidak hanya siswa yang tertekan namun juga pengawas ruang dari sekolah lain yang stress dan kelelahan,” ungkapnya.
Selain itu rendahnya kualitas kertas naskah menyebabkan sobeknya lembar jawaban. Para siswa sempat stress dan panic karena dibayangi ketakutan lembaran jawabannya tidak dapat terbaca komputer.
Kekurangan soal yang terjadi di Sumut, Riau dan Banten juga menjadikan anak stress. Pasalnya, siswa takut lembar jawaban yang difotokopi kemungkinan tidak terbaca oleh sistem lomputer dan siswa dapat dinyatakan tidak lulus.
Ketakutan ini adalah logis karena soal dan jawaban merupakan satu paket dari percetakan dan memiliki kode khusus dari percetakan sehingga renntan dibaca di komputer.
(lns)