Cantumkan pasal penghinaan presiden, hidupkan pemerintah otoriter
A
A
A
Sindonews.com - Wacana pasal penghinaan presiden terus menuai kontroversi. Disebabkan, pasal itu pernah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada beberapa tahun yang lalu. Namun, pasal itu kini kembali dihidupkan dari RUU KUHP yang sedang digodok di DPR.
Menanggapi wacana itu anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Andi Mapetahang (A.M) Fatwa mengatakan, jika pasal itu kembali dihidupkan, maka akan menimbulkan pemerintahan yang otoriter.
"Nanti kita kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter, kalau kita mengembalikan lagi pasal penghinaan di dalam undang-undang kita," ujar Fatwa di kantor KPU DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2013).
Maka itu, dia menegaskan, sebaiknya pasal penghinaan presiden tersebut dihilangkan dari draf perubahan RUU KUHP.
"Saya pikir mundur ke belakang ya, kalau kita mau mencantumkan kembali di dalam KUHP. Karena sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," pungkasnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Indra mengatakan, pasal penghinaan presiden dalam draft perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus atau setidak-tidaknya dikonstruksi ulang redaksinya.
"Saya menyayangkan adanya atau dimasukannya pasal tentang delik pidana penghinaan presiden dalam draf perubahan KUHP (Pasal 265)," ujar Indra melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Minggu 7 April 2013 lalu.
Dia menjelaskan, pasal penghinaan presiden di KUHP sudah pernah di Judical Review dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal-pasal terkait penghinaan presiden tersebut.
Tentunya, kata dia, pemerintah harus patuh dengan keputusan MK yang sudah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tersebut.
"Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau dimasuk kembali ke dalam RUU KUHP," tuturnya.
Apabila pasal ini dipaksakan masuk, lanjut dia, maka ini patut diduga sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah atau presiden dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum.
"Ini jelas sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang belakangan sudah berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal penginaan presiden berpotensi mengembalikan pemeritahan yang represif dan otoriter," imbuhnya.
Menanggapi wacana itu anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Andi Mapetahang (A.M) Fatwa mengatakan, jika pasal itu kembali dihidupkan, maka akan menimbulkan pemerintahan yang otoriter.
"Nanti kita kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter, kalau kita mengembalikan lagi pasal penghinaan di dalam undang-undang kita," ujar Fatwa di kantor KPU DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2013).
Maka itu, dia menegaskan, sebaiknya pasal penghinaan presiden tersebut dihilangkan dari draf perubahan RUU KUHP.
"Saya pikir mundur ke belakang ya, kalau kita mau mencantumkan kembali di dalam KUHP. Karena sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," pungkasnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Indra mengatakan, pasal penghinaan presiden dalam draft perubahan RUU KUHP sebaiknya dihapus atau setidak-tidaknya dikonstruksi ulang redaksinya.
"Saya menyayangkan adanya atau dimasukannya pasal tentang delik pidana penghinaan presiden dalam draf perubahan KUHP (Pasal 265)," ujar Indra melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Minggu 7 April 2013 lalu.
Dia menjelaskan, pasal penghinaan presiden di KUHP sudah pernah di Judical Review dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal-pasal terkait penghinaan presiden tersebut.
Tentunya, kata dia, pemerintah harus patuh dengan keputusan MK yang sudah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tersebut.
"Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau dimasuk kembali ke dalam RUU KUHP," tuturnya.
Apabila pasal ini dipaksakan masuk, lanjut dia, maka ini patut diduga sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah atau presiden dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum.
"Ini jelas sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang belakangan sudah berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal penginaan presiden berpotensi mengembalikan pemeritahan yang represif dan otoriter," imbuhnya.
(mhd)