Pasal penghinaan presiden di RUU KUHP harus dihapus
A
A
A
Sindonews.com - Pasal penghinaan presiden dalam draf perubahan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) disarankan dihapus. Alternatif lain, redaksional pasal tersebut direkonstruksi.
"Saya menyayangkan adanya atau dimasukkannya pasal tentang delik pidana penghinaan presiden dalam draf perubahan KUHP (Pasal 265)," ujar anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Indra, melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Minggu (7/4/2013).
Indra mengingatkan, pasal penghinaan presiden di KUHP sudah pernah diujimaterikan, dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal-pasal terkait penghinaan presiden tersebut.
Tentunya, kata dia, Pemerintah harus patuh dengan keputusan MK yang sudah membatalkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan wakil presiden tersebut.
"Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau masuk kembali ke dalam RUU KUHP," tuturnya.
Apabila pasal ini dipaksakan masuk, lanjut dia, maka ini patut diduga sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah atau presiden, dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum.
"Ini jelas sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang belakangan sudah berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal penginaan presiden berpotensi mengembalikan pemeritahan yang represif dan otoriter," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, penggunaan kata 'menghina', jelas-jelas rancu, lentur, dan pasal karet. Kata tersebut bisa ditafsirkan lebih luas, sehingga bisa disalahgunakan. Jika disalahgunakan dapat berdampak negatif pada demokratisasi Indonesia.
"Menurut saya, harga diri presiden dibangun berdasarkan kebijakan yang pro rakyat, program-program yang bisa mensejahteraan rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan narkoba, pemberantasan premanisme, dan sebagainya," ungkapnya.
Jadi, sambung dia, menjaga marwah kepala negara cukup dengan menampilkan sosok presiden yang beritegritas, cerdas, dan konsisten dengan program pro-rakyat. "Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet," pungkasnya.
"Saya menyayangkan adanya atau dimasukkannya pasal tentang delik pidana penghinaan presiden dalam draf perubahan KUHP (Pasal 265)," ujar anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Indra, melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Minggu (7/4/2013).
Indra mengingatkan, pasal penghinaan presiden di KUHP sudah pernah diujimaterikan, dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut pasal-pasal terkait penghinaan presiden tersebut.
Tentunya, kata dia, Pemerintah harus patuh dengan keputusan MK yang sudah membatalkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan wakil presiden tersebut.
"Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut dihidupkan atau masuk kembali ke dalam RUU KUHP," tuturnya.
Apabila pasal ini dipaksakan masuk, lanjut dia, maka ini patut diduga sebagai upaya untuk membungkam sikap-sikap kritis masyarakat kepada pemerintah atau presiden, dan upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum.
"Ini jelas sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang belakangan sudah berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal penginaan presiden berpotensi mengembalikan pemeritahan yang represif dan otoriter," imbuhnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, penggunaan kata 'menghina', jelas-jelas rancu, lentur, dan pasal karet. Kata tersebut bisa ditafsirkan lebih luas, sehingga bisa disalahgunakan. Jika disalahgunakan dapat berdampak negatif pada demokratisasi Indonesia.
"Menurut saya, harga diri presiden dibangun berdasarkan kebijakan yang pro rakyat, program-program yang bisa mensejahteraan rakyat, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan narkoba, pemberantasan premanisme, dan sebagainya," ungkapnya.
Jadi, sambung dia, menjaga marwah kepala negara cukup dengan menampilkan sosok presiden yang beritegritas, cerdas, dan konsisten dengan program pro-rakyat. "Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet," pungkasnya.
(hyk)