Pasal penghinaan presiden, demokrasi harus tetap berjalan
A
A
A
Sindonews.com - Rencana memunculkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden di dalam RUU KUHP yang sedang digodok oleh DPR membuat kontroversi dikalangan masyarakat. Tetapi, ada juga yang tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Salah satunya adalah, Ketua Pengurus Nasional Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PN GMII) Mercyano Niko Kapisan mengatakan, tidak mempermasalahkan pasal itu, asalnya tidak menghilangkan nilai-nilai demokrasi yang ada di Indonesia.
"Semangat yang harus dibawa adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yang diatur dalam UUD ketika hak seseorang mengeluarkan pendapat," katanya kepada Sindonews, Sabtu (6/4/2013).
Selanjutnya, kata dia, ketika pasal itu akan dimasukan kembali pertimbangannya harus seesuai dengan kaidah demokrasi yang bermartabat dan menghormati presiden sebagai kepala negara. Kata dia, harus tegas kenapa pasal itu dimasukkan kembali di UU KUHP.
"Jadi pasal itu harus diubah redaksionalnya dan pasal itu batasannya harus jelas tidak ada kata-kata yang bisa menyebabkan multitafsir sehingga nantinya yang menjadi kekhawatiran para penggiat demokrasi, pasal ini akan digunakan para penguasa untuk menjerat para kaum oposisi ataupun para penggiat demokrasi yang berseberangan dengan pemerintah tidak terjadi," paparnya.
Meskipun dengan adanya pasal tersebut, dia berharap, masyarakat harus kritiss dan partisipasi demokrasi harus ditingkatkan.
"Tetapi yang dijaga adalah martabat demokrasi sesungguhnya yang tidak bertentangan dengan pasal 28 UUD tentang kebebasan berserikat dan berkumpul," tandasnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Ahmad Basarah memandang perlu diatur pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Basarah, hal itu perlu dilakukan, agar bisa melindungi martabat kepala negara. "Saya kira perlu, pasal penghinaan terhadap warga negara saja diatur dalam pasal perbuatan tidak menyenangkan, masa presiden kita sendiri tidak boleh dilindungi hak dan martabatnya," ujar Basarah melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Jumat 5 April 2013 kemarin.
Sekadar diketahui, pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan pengujian Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang diajukan Eggi Sudjana.
MK membatalkan ketiga pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. Terkait dengan pasal penghinaan presiden, MK juga telah mencabut Pasal154 dan pasal 155 KUHP yang dimohonkan R Panji Utomo. Dalam pertimbangan kedua putusan itu, MK telahmenegaskan agar tidak ada lagi pasal yang bunyinya sama atau mirip dengan pasal itu.
Salah satunya adalah, Ketua Pengurus Nasional Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PN GMII) Mercyano Niko Kapisan mengatakan, tidak mempermasalahkan pasal itu, asalnya tidak menghilangkan nilai-nilai demokrasi yang ada di Indonesia.
"Semangat yang harus dibawa adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yang diatur dalam UUD ketika hak seseorang mengeluarkan pendapat," katanya kepada Sindonews, Sabtu (6/4/2013).
Selanjutnya, kata dia, ketika pasal itu akan dimasukan kembali pertimbangannya harus seesuai dengan kaidah demokrasi yang bermartabat dan menghormati presiden sebagai kepala negara. Kata dia, harus tegas kenapa pasal itu dimasukkan kembali di UU KUHP.
"Jadi pasal itu harus diubah redaksionalnya dan pasal itu batasannya harus jelas tidak ada kata-kata yang bisa menyebabkan multitafsir sehingga nantinya yang menjadi kekhawatiran para penggiat demokrasi, pasal ini akan digunakan para penguasa untuk menjerat para kaum oposisi ataupun para penggiat demokrasi yang berseberangan dengan pemerintah tidak terjadi," paparnya.
Meskipun dengan adanya pasal tersebut, dia berharap, masyarakat harus kritiss dan partisipasi demokrasi harus ditingkatkan.
"Tetapi yang dijaga adalah martabat demokrasi sesungguhnya yang tidak bertentangan dengan pasal 28 UUD tentang kebebasan berserikat dan berkumpul," tandasnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Ahmad Basarah memandang perlu diatur pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Basarah, hal itu perlu dilakukan, agar bisa melindungi martabat kepala negara. "Saya kira perlu, pasal penghinaan terhadap warga negara saja diatur dalam pasal perbuatan tidak menyenangkan, masa presiden kita sendiri tidak boleh dilindungi hak dan martabatnya," ujar Basarah melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Jumat 5 April 2013 kemarin.
Sekadar diketahui, pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan pengujian Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang diajukan Eggi Sudjana.
MK membatalkan ketiga pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. Terkait dengan pasal penghinaan presiden, MK juga telah mencabut Pasal154 dan pasal 155 KUHP yang dimohonkan R Panji Utomo. Dalam pertimbangan kedua putusan itu, MK telahmenegaskan agar tidak ada lagi pasal yang bunyinya sama atau mirip dengan pasal itu.
(mhd)