RUU P2H beri kelonggaran pembalakan liar
A
A
A
Sindonews.com - Pengurangan wilayah moratoirum hutan kerap terjadi. Diduga, pengurangan itu demi mengakomodasi kepentingan pelaku usaha.
Juru Kampanye Hutan Wahaba Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan, selama dua tahun, moratorium diwarnai pertimbangan politis. Akibatnya perbaikan fungsi lingkungan jadi terganggu.
"Dalam revisi per enam bulan, kerap terjadi pengurangan wilayah moratorium demi mengakomodasi kepentingan pelaku usaha yang konsesinya tumpang tindih dengan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB)," ujar Zenzi melalui rilisnya, Rabu (3/4/2013).
Praktik tersebut, lanjut Zensi diperburuk oleh keputusan Kepala Pemerintah Daerah dengan memasukan konsesi perkebunan dan pertambangan dalam kajian ulang (review) kawasan hutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Menurutnya, sampai Juli 2012, proses alih fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk kawasan administratif daerah dan kepentingan pembangunan sudah mencapai 12,35 juta hektar.
Yang terakhir, Aceh berpotensi kehilangan jutaan hektar hutannya karena tata ruang baru.
Sementara itu Koordinator Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik HuMa Rahma Mary, menambahkan berakhirnya moratorium akan lebih buruk terlebih jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) disahkan.
Sebab, RUU itu tak mengakui keberadaan hutan adat. Selain itu, UU P2H akan diberlakukan di kawasan hutan yang belum pasti, kawasan hutan yang baru ditunjuk dan belum ditetapkan.
Padahal menurut putusan MK No.45/2011, kawasan hutan adalah yang sudah ditetapkan.
"RUU ini memuat definisi longgar atas ‘pembalakan liar.’ Maka, akibatnya bisa terus memicu potensi kriminalisasi atas warga masyarakat hukum adat sekitar yang manfaatkan sumber daya hutan sebagai kebiasaan sehari-hari," papar Rahma.
Juru Kampanye Hutan Wahaba Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan, selama dua tahun, moratorium diwarnai pertimbangan politis. Akibatnya perbaikan fungsi lingkungan jadi terganggu.
"Dalam revisi per enam bulan, kerap terjadi pengurangan wilayah moratorium demi mengakomodasi kepentingan pelaku usaha yang konsesinya tumpang tindih dengan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB)," ujar Zenzi melalui rilisnya, Rabu (3/4/2013).
Praktik tersebut, lanjut Zensi diperburuk oleh keputusan Kepala Pemerintah Daerah dengan memasukan konsesi perkebunan dan pertambangan dalam kajian ulang (review) kawasan hutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Menurutnya, sampai Juli 2012, proses alih fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk kawasan administratif daerah dan kepentingan pembangunan sudah mencapai 12,35 juta hektar.
Yang terakhir, Aceh berpotensi kehilangan jutaan hektar hutannya karena tata ruang baru.
Sementara itu Koordinator Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik HuMa Rahma Mary, menambahkan berakhirnya moratorium akan lebih buruk terlebih jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) disahkan.
Sebab, RUU itu tak mengakui keberadaan hutan adat. Selain itu, UU P2H akan diberlakukan di kawasan hutan yang belum pasti, kawasan hutan yang baru ditunjuk dan belum ditetapkan.
Padahal menurut putusan MK No.45/2011, kawasan hutan adalah yang sudah ditetapkan.
"RUU ini memuat definisi longgar atas ‘pembalakan liar.’ Maka, akibatnya bisa terus memicu potensi kriminalisasi atas warga masyarakat hukum adat sekitar yang manfaatkan sumber daya hutan sebagai kebiasaan sehari-hari," papar Rahma.
(lns)