Ratu langit VS super jumbo
A
A
A
Persaingan sengit antara industri pesawat terbang Boeing dan Airbus telah berlangsung lebih dari tiga dekade. Bahkan, peneliti Peterson Institute for International Economics Gary Clyde Hufbauer menulis persaingan dua industri pesawat terbang dunia Boeing dan Airbus layaknya sebuah perang pribadi (a private war) yang berlangsung lebih dari 30 tahun.
Begitulah dia menulis dalam analisanya bertajuk Boeing vs Airbus: Fighting the Last War. Tetapi menurut Hufbauer, medan perang saat ini sama sekali berbeda dibanding era 1970-an. Di awal berdirinya (1916), Boeing mendapat kontrak dari militer Amerika Serikat (AS).
Kemudian pada 1969, lahir Konsorsium Airbus dengan dukungan Jerman, Prancis, Spanyol, dan Inggris.Saat itu,Boeing memimpin produksi pesawat sipil berbadan besar.
“Kehadiran konsorsium Airbus (Eropa) menjanjikan dan menjamin persaingan di pasar industri pesawat sipil berbadan besar. Sejak Airbus diciptakan untuk bersaing dengan Boeing (AS), tidak mengherankan baik perusahaan (Boeing dan Airbus) dan pemerintah (AS dan Eropa) mulai bertempur di dua wilayah, komersial dan hukum,” papar Hufbauer seperti dilansir laman Peterson Institute for International Economics.com. Pertempuran sengit terjadi di ranah komersial karena tingginya permintaan pesawat berbadan besar.
Pada era 1970-an dan 1980- an, perusahaan-perusahaan pesawat AS menguasai lebih dari tiga perempat penjualan dunia untuk pesawat sipil berbadan besar. “Tetapi pada era 1990- an, Airbus meluncurkan seri A300. Produk ini menempatkan Airbus mulai memimpin pasar,” ujar Hufbauer.
Lalu pada tahun 2000-an, Boeing mengambil sejumlah langkah untuk mendapatkan kembali posisi teratas dengan mengeluarkan model 787,sementara Airbus tersandung dengan tertundanya debut model A380.
Pertempuran komersial mereda dengan adanya hukum kerja sama trans-Atlantik. Gencatan senjata mengenai perdagangan pesawat terbang sipil berbadan besar terjadi dengan adanya perjanjian 1.992 EC-AS, di mana kedua belah pihak berjanji mengurangi dukungan pemerintah.
Setelah perjanjian itu, pada 1990 produk seri Airbus A320, A330, A330 justru mendapat pesanan cukup besar. Sebaliknya pesanan Boeing menurun. Sejak itu, dalam beberapa tahun terakhir,Airbus menempatkan dirinya di posisi puncak pangsa pasar industri pembuat pesawat terbang.
Jenis Airbus A380 yang diproduksi pada 2004 menjadi andalan.Pesawat A380 merupakan pesawat jet penumpang terbesar di dunia. Karena itu, A380 dijuluki Superjumbo. Seperti tak mau kalah, Boeing pada 2008 memperkenalkan seri Boeing 747- 8 yang merupakan generasi keempat dan terbesar dari versi 747. Boeing mengklaim ini merupakan pesawat komersial terbesar yang dibangun di AS, sekaligus menjadi pesawat penumpang terpanjang di dunia.Tak heran jika pesawat ini pun dijuluki Ratu Langit (Queen of the Skies).
Pesawat ini ditawarkan dalam dua varian utama, yakni 747-8 Intercontinental (747-8I) untuk penumpang dan 747-8 Freighter (747-8F) untuk kargo. Makin sengitlah persaingan dua industri pesawat terbang terbesar di dunia ini. Untuk kapasitas penumpang misalnya, A380 lebih unggul dibanding Boeing 747-8 Intercontinental. Boeing hanya mampu menampung 467 penumpang dalam konfigurasi tiga kelas, sementara A380 menampung 525 penumpang juga dalam konfigurasi tiga kelas.
“Dengan A380,ada risiko semua kursi tidak terisi setiap kali terbang,” ujar Wakil Presiden Pengembangan Produk Boeing Elizabeth Lund kepada Bloomberg, seperti dilansir CNN Travel, menanggapi kekalahan kapasitas penumpang ini.
Dari sisi lebar kabin, Boeing 747-8 lebih sempit dibandingkan Airbus A380. Lebar kabin Boeing hanya 6,1 meter dan Airbus 6,54 meter. Boeing 747-8 Lalu, dari sisi harga, Boeing 747-8 Intercontinental dibanderol lebih murah ketimbang kompetitornya.
Si Ratu Langit ini dipatok USD317,5 juta per unit,sementara Airbus A380 harganya USD375,3 juta. Artinya, harga Airbus A380 lebih tinggi USD57,8 juta dibanding Boeing (Januari 2013), tergantung kustomisasi dan mesin. Ini bukan selisih yang kecil.
Artinya untuk setiap lima unit A380, setara enam unit 747-8 Intercontinental. Lalu, bagaimana dari sisi pasar? Seperti dilansir Reuters (17/1), Boeing kembali merebut mahkota sebagai pembuat jet penumpang terbesar di dunia tahun lalu, menyalip Airbus untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan data resmi pengiriman masing-masing perusahaan, Airbus telah mengirimkan 35 pesawat jet penumpang untuk pelanggan pada Januari 2013. Sementara Boeing mengirim 39 pesawat.
Namun, Kepala Penjualan Airbus John Leahy mengklaim pihaknya memegang 52% pasar selama dua tahun terakhir. “Airbus akan berupaya untuk menjaga pasar saham hingga 60% dari keseluruhan pemesanan pesawat rute jarak menengah,” kata Leahy.
Analis Agensi Partners Nick Cunningham memprediksi dua produsen pesawat terbang raksasa itu akan memangkas jumlah produksi setelah tahun 2015.
“Pesanan untuk pesawat terbang bagi Airbus dan Boeing kini tengah membeludak. Kecenderungan tren sejarah mengisyaratkan puncak penjualan pesawat terbang hanya berlangsung selama dua sampai tiga tahun,” ujar Cunningham seperti dilansir ft.com, awal Januari.
Sukses Boeing kembali menguasai pangsa pasar pesawat terbang,juga tak lepas dari penjualan yang dilakukan kepada maskapai Indonesia Lion Air untuk 230 pesawat senilai USD22,4 miliar.
Penandatanganan kesepakatan komitmen pembelian dilakukan Presiden Direktur Lion Air Rusdi Kirana dengan Wakil Presiden Penjualan Asia-Pasifik dan India Boeing Company, Dinesh Keskar, pada pertengahan Februari 2012 di sela Singapura Air Show.
Kepastian pemesanan tersebut, sebelumnya diawali dengan nota kesepahaman dengan Boeing pada November 2011 di Bali yang disaksikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Pengiriman 230 pesawat tersebut akan dilakukan mulai 2017 hingga 2026.
Begitulah dia menulis dalam analisanya bertajuk Boeing vs Airbus: Fighting the Last War. Tetapi menurut Hufbauer, medan perang saat ini sama sekali berbeda dibanding era 1970-an. Di awal berdirinya (1916), Boeing mendapat kontrak dari militer Amerika Serikat (AS).
Kemudian pada 1969, lahir Konsorsium Airbus dengan dukungan Jerman, Prancis, Spanyol, dan Inggris.Saat itu,Boeing memimpin produksi pesawat sipil berbadan besar.
“Kehadiran konsorsium Airbus (Eropa) menjanjikan dan menjamin persaingan di pasar industri pesawat sipil berbadan besar. Sejak Airbus diciptakan untuk bersaing dengan Boeing (AS), tidak mengherankan baik perusahaan (Boeing dan Airbus) dan pemerintah (AS dan Eropa) mulai bertempur di dua wilayah, komersial dan hukum,” papar Hufbauer seperti dilansir laman Peterson Institute for International Economics.com. Pertempuran sengit terjadi di ranah komersial karena tingginya permintaan pesawat berbadan besar.
Pada era 1970-an dan 1980- an, perusahaan-perusahaan pesawat AS menguasai lebih dari tiga perempat penjualan dunia untuk pesawat sipil berbadan besar. “Tetapi pada era 1990- an, Airbus meluncurkan seri A300. Produk ini menempatkan Airbus mulai memimpin pasar,” ujar Hufbauer.
Lalu pada tahun 2000-an, Boeing mengambil sejumlah langkah untuk mendapatkan kembali posisi teratas dengan mengeluarkan model 787,sementara Airbus tersandung dengan tertundanya debut model A380.
Pertempuran komersial mereda dengan adanya hukum kerja sama trans-Atlantik. Gencatan senjata mengenai perdagangan pesawat terbang sipil berbadan besar terjadi dengan adanya perjanjian 1.992 EC-AS, di mana kedua belah pihak berjanji mengurangi dukungan pemerintah.
Setelah perjanjian itu, pada 1990 produk seri Airbus A320, A330, A330 justru mendapat pesanan cukup besar. Sebaliknya pesanan Boeing menurun. Sejak itu, dalam beberapa tahun terakhir,Airbus menempatkan dirinya di posisi puncak pangsa pasar industri pembuat pesawat terbang.
Jenis Airbus A380 yang diproduksi pada 2004 menjadi andalan.Pesawat A380 merupakan pesawat jet penumpang terbesar di dunia. Karena itu, A380 dijuluki Superjumbo. Seperti tak mau kalah, Boeing pada 2008 memperkenalkan seri Boeing 747- 8 yang merupakan generasi keempat dan terbesar dari versi 747. Boeing mengklaim ini merupakan pesawat komersial terbesar yang dibangun di AS, sekaligus menjadi pesawat penumpang terpanjang di dunia.Tak heran jika pesawat ini pun dijuluki Ratu Langit (Queen of the Skies).
Pesawat ini ditawarkan dalam dua varian utama, yakni 747-8 Intercontinental (747-8I) untuk penumpang dan 747-8 Freighter (747-8F) untuk kargo. Makin sengitlah persaingan dua industri pesawat terbang terbesar di dunia ini. Untuk kapasitas penumpang misalnya, A380 lebih unggul dibanding Boeing 747-8 Intercontinental. Boeing hanya mampu menampung 467 penumpang dalam konfigurasi tiga kelas, sementara A380 menampung 525 penumpang juga dalam konfigurasi tiga kelas.
“Dengan A380,ada risiko semua kursi tidak terisi setiap kali terbang,” ujar Wakil Presiden Pengembangan Produk Boeing Elizabeth Lund kepada Bloomberg, seperti dilansir CNN Travel, menanggapi kekalahan kapasitas penumpang ini.
Dari sisi lebar kabin, Boeing 747-8 lebih sempit dibandingkan Airbus A380. Lebar kabin Boeing hanya 6,1 meter dan Airbus 6,54 meter. Boeing 747-8 Lalu, dari sisi harga, Boeing 747-8 Intercontinental dibanderol lebih murah ketimbang kompetitornya.
Si Ratu Langit ini dipatok USD317,5 juta per unit,sementara Airbus A380 harganya USD375,3 juta. Artinya, harga Airbus A380 lebih tinggi USD57,8 juta dibanding Boeing (Januari 2013), tergantung kustomisasi dan mesin. Ini bukan selisih yang kecil.
Artinya untuk setiap lima unit A380, setara enam unit 747-8 Intercontinental. Lalu, bagaimana dari sisi pasar? Seperti dilansir Reuters (17/1), Boeing kembali merebut mahkota sebagai pembuat jet penumpang terbesar di dunia tahun lalu, menyalip Airbus untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir.
Berdasarkan data resmi pengiriman masing-masing perusahaan, Airbus telah mengirimkan 35 pesawat jet penumpang untuk pelanggan pada Januari 2013. Sementara Boeing mengirim 39 pesawat.
Namun, Kepala Penjualan Airbus John Leahy mengklaim pihaknya memegang 52% pasar selama dua tahun terakhir. “Airbus akan berupaya untuk menjaga pasar saham hingga 60% dari keseluruhan pemesanan pesawat rute jarak menengah,” kata Leahy.
Analis Agensi Partners Nick Cunningham memprediksi dua produsen pesawat terbang raksasa itu akan memangkas jumlah produksi setelah tahun 2015.
“Pesanan untuk pesawat terbang bagi Airbus dan Boeing kini tengah membeludak. Kecenderungan tren sejarah mengisyaratkan puncak penjualan pesawat terbang hanya berlangsung selama dua sampai tiga tahun,” ujar Cunningham seperti dilansir ft.com, awal Januari.
Sukses Boeing kembali menguasai pangsa pasar pesawat terbang,juga tak lepas dari penjualan yang dilakukan kepada maskapai Indonesia Lion Air untuk 230 pesawat senilai USD22,4 miliar.
Penandatanganan kesepakatan komitmen pembelian dilakukan Presiden Direktur Lion Air Rusdi Kirana dengan Wakil Presiden Penjualan Asia-Pasifik dan India Boeing Company, Dinesh Keskar, pada pertengahan Februari 2012 di sela Singapura Air Show.
Kepastian pemesanan tersebut, sebelumnya diawali dengan nota kesepahaman dengan Boeing pada November 2011 di Bali yang disaksikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Pengiriman 230 pesawat tersebut akan dilakukan mulai 2017 hingga 2026.
(kur)