Sindo nobatkan Atilah sebagai tokoh perempuan 2012

Jum'at, 01 Februari 2013 - 15:08 WIB
Sindo nobatkan Atilah...
Sindo nobatkan Atilah sebagai tokoh perempuan 2012
A A A
Sindonews.com – Produser Matah Ati Bandoro Raden Ayu (BRAy) Atilah Soeryadjaya merasa bangga dengan penghargaan yang diberikan oleh Harian Seputar Indonesia (SINDO) sebagai tokoh perempuan 2012. Penghargaan ini merupakan rangkaian ajang tahunan ”People of The Year (POTY)” 2012.

Dia berharap pernghargaan yang diberikan, dapat menginspirasi anak muda lain untuk membuat karya seperti ini. ”Saya sangat terharu ada yang menghargai kerja keras kami bertahun-tahun,” ujar Atilah ketika menerima penghargaan yang diserahkan Wakil Pemimpin Redaksi Harian SINDO Pung Purwanto di kediaman Atilah di Jalan Imam Bonjol, Kamis 31 Januari 2013 kemarin.

Selama ini dirinya prihatin dengan citra Kota Solo yang terstigma dengan kota teroris, khususnya tahun 2008. Stigma ini harus diubah dan dikembalikan kepada stigma yang sebenarnya yaitu, Kota Solo sebagai kota budaya melalui kesenian.

Kerja keras bersama timnya telah dilakoni selama empat tahun demi mewujudkan Matah Ati. Salah satu upayanya dengan melakukan riset selama 2,5 tahun. Melalui pergelaran seni drama tari (sendratari), dia berupaya mengangkat tradisi dan budaya Indonesia kepada anak muda.

Keberhasilannya dalam memberikan inspirasi dan gagasannya menciptakan Matah Ati, termasuk pertunjukan sendratari mengangkat kisah perjuangan perempuan, menjadi salah satu perempuan ini pantas dinobatkan pernghargaan sebagai tokoh perempuan 2012.

”Atilah terpilih menjadi tokoh perempuan karena perannya dalam mengangkat kembali perjuangan wanita di masa lalu. Hal ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi anak muda,” tukas Wakil Pemimpin Redaksi Harian Koran Sindo, Pung Purwanto.

Langendriyan, opera Jawa yang diciptakan Mangkunagara IV, Surakarta, menjadi inspirasi dari kisah Matah Ati. Tarian klasik gaya Mangkunegaran dipadu tembang Jawa mampu menghasilkan sebuah ekspresi pertunjukan yang memukau.

Kisah yang berlatar keadaan Jawa abad ke-18 ini menceritakan kisah Rubiyah, gadis Desa Matah, yang menjadi simbol perlawanan perempuan Jawa kala itu.

Matah adalah sebuah dusun di Desa Singodutan, Selogiri, Wonogiri, yang tidak dilirik pada abad ke-17. Bahkan, banyak orang tidak mengenal desa ini ketika mempelajari sejarah Jawa. Keberanian dan ketegasan Rubiyah muncul karena dia kagum dengan perjuangan Raden Mas Said yang bergelar ”Pangeran Samber Nyawa”, yang selama 16 tahun melawan tentara Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Karakter berani itu yang membawa Rubiyah, gadis yang pandai menari ini, menjadi pemimpin Korps Prajurit Perempuan Mangkunegaran dalam menentang penjajahan Belanda. Rubiyah dikenal sangat sigap dalam segala strategi berperang. Untuk merengkuh generasi muda, Atilah meramu tradisi dan kebudayaan dengan tren saat ini.Tak heran jika Atilah menyisipkan gerakan kontemporer dan balet dalam Matah Ati.

”Saya ingin anak muda mencintai budaya dan tradisi sendiri. Saya angkat semuanya seperti wayang dan Matah Ati. Jadi, tradisi yang mengikuti zamannya supaya orang bisa dan mau melihat serta mencintai budaya sendiri dengan kemasan yang menarik,” terangnya.

Kegigihan dan ketekunan Atilah dalam mewujudkan keinginannya membuahkan hasil. Matah Ati sukses memanjakan mata para penonton di pementasan perdananya di gedung pertunjukan Esplanade, Singapura, Oktober 2010. Pergelaran tersebut mendapatkan apresiasi luar biasa dari penonton yang kebanyakan bukan warga negara Indonesia.

Kini, Atilah tengah mempersiapkan Matah Ati untuk dipentaskan keliling Eropa pada 2014. Rencananya, Matah Ati akan dipentaskan di beberapa negara Eropa. Saat ini Atilahjuga sedang mempersiapkan garapan sendratari untuk ulang tahun Jakarta, pada Juni mendatang.

Rencananya, sendratari ini digelar di lapangan Monumen Nasional (Monas) dengan tata panggung yang lebih besar dibandingkan Matah Ati.

Atilah akan mengangkat kisah tentang perempuan Betawi. Untuk acara ini, Atilah melakukan riset dan diskusi dengan sejumlah budayawan Betawi, seperti Ridwan Saidi, termasuk dengan beberapa perempuan Betawi.

Dalam pergelaran ini, Atilah akan mengetengahkan gamelan Ajeng Betawi yang kini hampir punah. Lewat berbagai karya yang dia ciptakan, Atilah menjadi sosok perempuan yang ingin memperkenalkan kembali tradisi melalui sebuah karya seni.

Atilah mengajak kaum perempuan Indonesia melihat leluhur mereka yang memiliki keberanian menyejajarkan diri dengan kaum laki-laki dan berperan penting dalam perjalanan sejarah kaum Hawa di Tanah Air. Matah Ati misalnya, satu bukti kualitas perjalanan berkesenian Atilah selama ini.

Melalui sebuah perenungan dan kontemplasi, Atilah mampu menyuarakan perjuangan perempuan pada masa lalu dalam melawan penindasan. Dia berharap, karyanya seperti Matah Ati bisa berdampak positif di kalangan anak muda Indonesia, khususnya kaum perempuan.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0989 seconds (0.1#10.140)