Sosialisasikan dulu, baru tarik cukai
A
A
A
SEBENARNYA masyarakat bisa menerima jika pulsa telepon seluler dikenakan cukai. Yang penting, bagaimana pemerintah menyosialisasikan terlebih dahulu rencana tersebut.
Seiring dengan rencana kebijakan pemerintah yang akan mengenakan cukai pulsa, para pengguna telepon seluler tampaknya harus menambah anggaran pulsa mereka. Kebijakan ini memang masih sebatas rencana, tetapi kabarnya sudah membuat sebagian masyarakat resah akan angka pengeluaran mereka. Maklum, saat ini mayoritas masyarakat Indonesia tidak hanya memiliki satu telepon seluler, tapi dua atau tiga.
Kebijakan yang masih dalam perencanaan ini telah mengantongi “restu” dari anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika pengenaan cukai terhadap pulsa terjadi, hal ini akan berefek pada kenaikan tarif pulsa. Dengan demikian, konsumen merupakan pihak yang akan diberatkan dengan cukai pulsa ini karena harus merogoh kantong lebih dalam. Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai pulsa harus sesuai undang-undang yang berlaku.
Hal ini perlu dilakukan guna mengantisipasi tanggapan miring dari masyarakat dengan kebijakan cukai pulsa. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, India, Tajikistan, Estonia, Rumania, Serbia, dan Slovenia telah menerapkan cukai pulsa karena infrastruktur telekomunikasi sepenuhnya dibiayai pemerintah.
”Pengenaan cukai pulsa dengan alasan kesehatan merupakan alasan yang klise. Jika memang karena alasan kesehatan, di tempat umum masih banyak terlihat asap rokok. Padahal rokok telah dikenakan cukai. Namun, hal itu tidak mengurangi penggunaan rokok di masyarakat,” ungkap Cloudida, karyawati swasta, kepada harian Seputar Indonesia (SINDO), Rabu 26 Desember.
Dia menambahkan, jika memang pulsa akan dikenakan cukai, harus ada regulasi yang jelas misalnya pulsa akan dikenakan cukai bila pemakaian pulsa melebihi ketentuan yang berlaku. Dengan begitu, konsumen akan lebih berhemat dan regulator juga mendapat keuntungan. ”Jika benar diterapkan, mau tidak mau anggaran biaya untuk pulsa harus ditambah dan lebih mengoptimalkan komunikasi berbasis internet,” katanya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, pada prinsipnya YLKI tidak keberatan dengan rencana ekstensifikasi cukai oleh pemerintah. Namun, pemerintah harus dapat menjelaskan dan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat alasan pemberlakuan cukai tersebut.
”Pemberlakuan cukai biasanya disebabkan dua hal yaitu produk yang bermasalah pada lingkungan dan kesehatan. Pemerintah harus menjelaskan tentang hubungan pulsa dengan dua hal tersebut,” kata Sudaryatmo kepada SINDO, Rabu 26 Desember.
Dia menambahkan, penerapan cukai di Indonesia masih tergolong kecil. Di sejumlah negara, produk-produk yang membahayakan lingkungan dan kesehatan sudah lama dikenakan cukai seperti monosodium glutamate (MSG) dan soda yang bisa berbahaya bagi kesehatan serta parfum yang mengandung zat yang berbahaya bagi lingkungan. Menurut Sudaryatmo, selama diberikan penjelasan yang benar dan tepat, masyarakat kemungkinan bisa mengerti.
Namun, Sudaryatmo tidak bisa memprediksi apakah nanti konsumen Indonesia akan menolak atau menerima tentang pemberlakuan cukai pada pulsa ini. Pemberlakuan cukai terhadap pulsa masih perlu ditinjau kembali dengan melibatkan pihak yang terkait.
”Menyangkut cukai pulsa, kami mengimbau kepada Kemenkeu untuk mempertimbangkan kembali. Kemenkominfo seharusnya diajak untuk turut mengkaji kebijakan ini,” kata Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Gatot Dewa Broto kepada SINDO, Kamis 27 Desember.
Dia mengakui pernah diajak berdiskusi sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, namun hanya ditanya tentang layanan komunikasi apa saja yang dikenakan pajak. Gatot menambahkan, regulasi mengenai cukai pulsa ini belum jelas. ”Kami belum jelas pulsa seperti apa yang akan dikenakan cukai apakah per aktivitas,per volume atau per waktu,” ujarnya.
Jika memang cukai pulsa ini diterapkan, pelayanan komunikasi pun harus ditingkatkan agar tidak memicu persoalan baru. Kebijakan Kemenkeu untuk menetapkan pulsa telepon seluler sebagai salah satu barang kena cukai disambut sinis. Kebijakan tersebut dianggap upaya untuk menjadikan operator seluler sebagai sumber pendapatan negara.
”Pemerintah seperti sedang mencari tambahan sumber pemasukan lain dengan alasan yang tidak masuk akal. Pemerintah seharusnya berhenti menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan, dan mulai meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jika ingin mencari pemasukan lain, sebaiknya menaikkan cukai rokok dan alkohol,” ungkap seorang mahasiswi, Linda Hairani, kepada SINDO, Rabu 26 Desember. Dia mengatakan bahwa telepon seluler yang masuk ke Indonesia telah lulus uji dari Kementerian Kesehatan dan Kemenkominfo.
Seiring dengan rencana kebijakan pemerintah yang akan mengenakan cukai pulsa, para pengguna telepon seluler tampaknya harus menambah anggaran pulsa mereka. Kebijakan ini memang masih sebatas rencana, tetapi kabarnya sudah membuat sebagian masyarakat resah akan angka pengeluaran mereka. Maklum, saat ini mayoritas masyarakat Indonesia tidak hanya memiliki satu telepon seluler, tapi dua atau tiga.
Kebijakan yang masih dalam perencanaan ini telah mengantongi “restu” dari anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika pengenaan cukai terhadap pulsa terjadi, hal ini akan berefek pada kenaikan tarif pulsa. Dengan demikian, konsumen merupakan pihak yang akan diberatkan dengan cukai pulsa ini karena harus merogoh kantong lebih dalam. Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai pulsa harus sesuai undang-undang yang berlaku.
Hal ini perlu dilakukan guna mengantisipasi tanggapan miring dari masyarakat dengan kebijakan cukai pulsa. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, India, Tajikistan, Estonia, Rumania, Serbia, dan Slovenia telah menerapkan cukai pulsa karena infrastruktur telekomunikasi sepenuhnya dibiayai pemerintah.
”Pengenaan cukai pulsa dengan alasan kesehatan merupakan alasan yang klise. Jika memang karena alasan kesehatan, di tempat umum masih banyak terlihat asap rokok. Padahal rokok telah dikenakan cukai. Namun, hal itu tidak mengurangi penggunaan rokok di masyarakat,” ungkap Cloudida, karyawati swasta, kepada harian Seputar Indonesia (SINDO), Rabu 26 Desember.
Dia menambahkan, jika memang pulsa akan dikenakan cukai, harus ada regulasi yang jelas misalnya pulsa akan dikenakan cukai bila pemakaian pulsa melebihi ketentuan yang berlaku. Dengan begitu, konsumen akan lebih berhemat dan regulator juga mendapat keuntungan. ”Jika benar diterapkan, mau tidak mau anggaran biaya untuk pulsa harus ditambah dan lebih mengoptimalkan komunikasi berbasis internet,” katanya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, pada prinsipnya YLKI tidak keberatan dengan rencana ekstensifikasi cukai oleh pemerintah. Namun, pemerintah harus dapat menjelaskan dan melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat alasan pemberlakuan cukai tersebut.
”Pemberlakuan cukai biasanya disebabkan dua hal yaitu produk yang bermasalah pada lingkungan dan kesehatan. Pemerintah harus menjelaskan tentang hubungan pulsa dengan dua hal tersebut,” kata Sudaryatmo kepada SINDO, Rabu 26 Desember.
Dia menambahkan, penerapan cukai di Indonesia masih tergolong kecil. Di sejumlah negara, produk-produk yang membahayakan lingkungan dan kesehatan sudah lama dikenakan cukai seperti monosodium glutamate (MSG) dan soda yang bisa berbahaya bagi kesehatan serta parfum yang mengandung zat yang berbahaya bagi lingkungan. Menurut Sudaryatmo, selama diberikan penjelasan yang benar dan tepat, masyarakat kemungkinan bisa mengerti.
Namun, Sudaryatmo tidak bisa memprediksi apakah nanti konsumen Indonesia akan menolak atau menerima tentang pemberlakuan cukai pada pulsa ini. Pemberlakuan cukai terhadap pulsa masih perlu ditinjau kembali dengan melibatkan pihak yang terkait.
”Menyangkut cukai pulsa, kami mengimbau kepada Kemenkeu untuk mempertimbangkan kembali. Kemenkominfo seharusnya diajak untuk turut mengkaji kebijakan ini,” kata Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Gatot Dewa Broto kepada SINDO, Kamis 27 Desember.
Dia mengakui pernah diajak berdiskusi sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, namun hanya ditanya tentang layanan komunikasi apa saja yang dikenakan pajak. Gatot menambahkan, regulasi mengenai cukai pulsa ini belum jelas. ”Kami belum jelas pulsa seperti apa yang akan dikenakan cukai apakah per aktivitas,per volume atau per waktu,” ujarnya.
Jika memang cukai pulsa ini diterapkan, pelayanan komunikasi pun harus ditingkatkan agar tidak memicu persoalan baru. Kebijakan Kemenkeu untuk menetapkan pulsa telepon seluler sebagai salah satu barang kena cukai disambut sinis. Kebijakan tersebut dianggap upaya untuk menjadikan operator seluler sebagai sumber pendapatan negara.
”Pemerintah seperti sedang mencari tambahan sumber pemasukan lain dengan alasan yang tidak masuk akal. Pemerintah seharusnya berhenti menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan, dan mulai meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jika ingin mencari pemasukan lain, sebaiknya menaikkan cukai rokok dan alkohol,” ungkap seorang mahasiswi, Linda Hairani, kepada SINDO, Rabu 26 Desember. Dia mengatakan bahwa telepon seluler yang masuk ke Indonesia telah lulus uji dari Kementerian Kesehatan dan Kemenkominfo.
(hyk)