Para perempuan yang tak takut main api
A
A
A
Terlahir sebagai perempuan tidak menjadikan dua Kaum Hawa ini lemah dan mengikuti stereotip yang ada. Mereka gigih dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan menebarkan sindrom positif ke dunia.
Usianya masih sangat belia. Tetapi, keberaniannya melebihi singa gurun. Gadis kecil ini pun berani menentang paham yang selama ini dianut di negaranya, Pakistan.
Wajar jika ada anggapan yang mengatakan, musuh Taliban yang paling menakutkan di Pakistan bukanlah pesawat tak berawak Amerika Serikat (AS) atau tank militer, melainkan gadis belia berusia 15 tahun, MalalaYousafzai. Pada 2009, Malala menulis dalam sebuah blog yang ditujukan kepada British Broadcasting Corporation (BBC), Inggris. Dia menulis, militan Islam menyerang distrik Swat Valley dan melarang pendidikan bagi anak perempuan. Dia menulis tentang kengerian sehari-hari hidup di bawah pemerintahan Taliban. Karena itu, dia dianggap sebagai momok menakutkan bagi Taliban.
“Adik saya yang berusia lima tahun sedang bermain di halaman. Ketika ayah saya bertanya kepadanya, apa yang dia lakukan, dia menjawab, sedang membuat kuburan,” tulis Malala dalam sebuah blognya. Hanya bersenjata keyakinan dan dukungan kuat dari ayahnya––yang menjalankan sekolah putri swasta––Malala menolak dibungkam. Malala mengutarakan aspirasinya dalam wawancara terbuka dan menjadi Ketua Majelis Anak (Child Assembly). Tujuan Majelis Anak adalah memperluas kesempatan bagi anak muda di Swat Valley dan menghentikan kekuasaan Taliban di negaranya dengan bantuan utusan AS Richard Holbrooke.
“Aku harus bersuara. Jika aku diam, siapa yang akan berbicara?” ujarnya saat diwawancarai tahun lalu seperti dilansir foreignpolicy.com, akhir November. Dia juga pernah berpidato dengan berani bahwa perempuan harus memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki. Akibat keberaniannya, Oktober lalu Malala hampir terbunuh sepulangnya dari sekolah. Pasukan bersenjata Taliban memberhentikan bus sekolah dan menembak kepala dan lehernya karena dianggap telah menghina “Tentara Allah”.
Beruntung,dia berhasil diselamatkan. Malala mendapatkan dukungan yang luar biasa dari seantero dunia akibat insiden penembakan tersebut. Dia mendapat julukan “The Real Hero” atas tindakan heroiknya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan. Keberanian dan kecerdasan Malala dinilai berpengaruh besar secara global. Karena itu, tak heran jika dirinya menduduki urutan keenam dalam daftar 100 Pemikir Global 2012 versi majalah Foreign Policy.
Pelajar kelahiran Mingora, 12 Juli 1997 ini sejatinya sama seperti gadis kebanyakan, yang membedakan hanyalah keberanian yang terpatri dalam dirinya. Sejak berusia 11 tahun ia aktif menjadi aktivis pendidikan anak perempuan. Hal ini pembelajaran, seorang gadis kecil mampu menginspirasi banyak orang di seluruh dunia. Perempuan lain yang punya keberanian membantu sesama juga diperlihatkan Sima Samar, dokter rakyat miskin, pendidik kaum marginal dan pembela hak asasi manusia (HAM) di Afghanistan.
Kepedulian dan kontribusinya terhadap HAM menjadikannya salah satu dari 100 Pemikir Top Dunia versi Foreign Policy. Samar––perempuan kelahiran Jaghori, 3 Februari 1957––menduduki peringkat ke-41. Keprihatinan Samar atas banyaknya penderitaan yang dialami perempuan membuatnya tergerak mendirikan Organisasi dan Klinik Shuhada (Martir) pada 1989. Organisasi dan klinik tersebut diperuntukkan bagi semua masyarakat Afghanistan, terutama anakanak dan perempuan.
Dia juga mendirikan rumah singgah bagi wanita rentan. Di rumah singgah tersebut, mereka tak hanya diberikan makan dan hunian untuk berlindung. Mereka pun dibekali pembelajaran lingkungan dan pelatihan keterampilan agar mereka mendapatkan kesempatan belajar. Dengan begitu, mereka memperoleh kehidupan yang lebih baik dan akhirnya mampu menghidupi diri sendiri. Wacana penarikan pasukan AS pada 2014 meningkatkan prospek pasca-Amerika, di mana Taliban memaksa wanita untuk keluar dari pandangan publik.
Samar menegaskan agar pemerintahan Kabul dan sekutu Barat fokus pada hakhak perempuan. Sebagaimana Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton katakan pada acara penyambutan Samar tahun lalu, Clinton menantang untuk berpikir mendalam tentang apa yang dibutuhkan agar perdamaian terjadi. Tentu saja hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Kini Samar menjabat sebagai ketua Komisi Independen Hak Asasi Manusia Afghanistan (AIHRC) sejak 2004 yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM.
Lembaga yang dipimpinnya bertugas memperkuat peraturan hukum dan mengakhiri budaya impunitas. Sejak bergabung dengan AIHRC,Samar menyadari muramnya peran wanita di zaman modern ini. “Hal tersedih adalah tindakan komunitas internasional yang tidak merealisasikan janjinya mengenai hak-hak perempuan dalam negosiasi perdamaian dengan Taliban,” ungkap Samar seperti dilansir foreignpolicy.comakhir November. Dia juga mengkritik pemerintahan yang bergantung pada hukum Islam dan budaya yang mengharuskan tiap wanita untuk mengenakan burqa (pakaian yang membungkus seluruh tubuh).
Samar mengaku ini pesan penting di negara yang hampir 90% wanita tidak bisa membaca dan angka kematian akibat melahirkan yang tinggi. Samar merupakan benteng pertahanan terhadap kembalinya visi abad pertengahan gerakan Islam. Apa yang dilakukan Samar tergolong berani dan tentu akan menuai berbagai argumen. “Aku terbiasa bermain api dan seseorang harus melakukannya,“ ucapnya. Diamenegaskanagarmasyarakat dibekali ilmu yang cukup agar memperoleh hak mereka sebagai manusia.
“Yang terpenting, kita harus mendidik masyarakat yang mungkin adalah kunci bagi kesejahteraan sosial termasuk mengurangi kemiskinan dan menjunjung martabat manusia,” paparnya seperti dikutip dari rightlivelihood.org. Sejak 2005-2009, Samar juga menjabat sebagai Pelapor Khusus Situasi HAM di Sudan bagi PBB. Karena perjuangan dan kontribusinya selama ini, Samar dianggap sebagai ancaman bagi pelanggar HAM yang merupakan petinggi di Afghanistan saat ini.
Alhasil,ia kerap mendapatkan teror akibat kepeduliannya itu.Tetapi, Samar tak pernah gentar “bermain api”, seperti Malala yang harus merasakan peluru bersarang di kepalanya. ema malini
Usianya masih sangat belia. Tetapi, keberaniannya melebihi singa gurun. Gadis kecil ini pun berani menentang paham yang selama ini dianut di negaranya, Pakistan.
Wajar jika ada anggapan yang mengatakan, musuh Taliban yang paling menakutkan di Pakistan bukanlah pesawat tak berawak Amerika Serikat (AS) atau tank militer, melainkan gadis belia berusia 15 tahun, MalalaYousafzai. Pada 2009, Malala menulis dalam sebuah blog yang ditujukan kepada British Broadcasting Corporation (BBC), Inggris. Dia menulis, militan Islam menyerang distrik Swat Valley dan melarang pendidikan bagi anak perempuan. Dia menulis tentang kengerian sehari-hari hidup di bawah pemerintahan Taliban. Karena itu, dia dianggap sebagai momok menakutkan bagi Taliban.
“Adik saya yang berusia lima tahun sedang bermain di halaman. Ketika ayah saya bertanya kepadanya, apa yang dia lakukan, dia menjawab, sedang membuat kuburan,” tulis Malala dalam sebuah blognya. Hanya bersenjata keyakinan dan dukungan kuat dari ayahnya––yang menjalankan sekolah putri swasta––Malala menolak dibungkam. Malala mengutarakan aspirasinya dalam wawancara terbuka dan menjadi Ketua Majelis Anak (Child Assembly). Tujuan Majelis Anak adalah memperluas kesempatan bagi anak muda di Swat Valley dan menghentikan kekuasaan Taliban di negaranya dengan bantuan utusan AS Richard Holbrooke.
“Aku harus bersuara. Jika aku diam, siapa yang akan berbicara?” ujarnya saat diwawancarai tahun lalu seperti dilansir foreignpolicy.com, akhir November. Dia juga pernah berpidato dengan berani bahwa perempuan harus memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki. Akibat keberaniannya, Oktober lalu Malala hampir terbunuh sepulangnya dari sekolah. Pasukan bersenjata Taliban memberhentikan bus sekolah dan menembak kepala dan lehernya karena dianggap telah menghina “Tentara Allah”.
Beruntung,dia berhasil diselamatkan. Malala mendapatkan dukungan yang luar biasa dari seantero dunia akibat insiden penembakan tersebut. Dia mendapat julukan “The Real Hero” atas tindakan heroiknya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan. Keberanian dan kecerdasan Malala dinilai berpengaruh besar secara global. Karena itu, tak heran jika dirinya menduduki urutan keenam dalam daftar 100 Pemikir Global 2012 versi majalah Foreign Policy.
Pelajar kelahiran Mingora, 12 Juli 1997 ini sejatinya sama seperti gadis kebanyakan, yang membedakan hanyalah keberanian yang terpatri dalam dirinya. Sejak berusia 11 tahun ia aktif menjadi aktivis pendidikan anak perempuan. Hal ini pembelajaran, seorang gadis kecil mampu menginspirasi banyak orang di seluruh dunia. Perempuan lain yang punya keberanian membantu sesama juga diperlihatkan Sima Samar, dokter rakyat miskin, pendidik kaum marginal dan pembela hak asasi manusia (HAM) di Afghanistan.
Kepedulian dan kontribusinya terhadap HAM menjadikannya salah satu dari 100 Pemikir Top Dunia versi Foreign Policy. Samar––perempuan kelahiran Jaghori, 3 Februari 1957––menduduki peringkat ke-41. Keprihatinan Samar atas banyaknya penderitaan yang dialami perempuan membuatnya tergerak mendirikan Organisasi dan Klinik Shuhada (Martir) pada 1989. Organisasi dan klinik tersebut diperuntukkan bagi semua masyarakat Afghanistan, terutama anakanak dan perempuan.
Dia juga mendirikan rumah singgah bagi wanita rentan. Di rumah singgah tersebut, mereka tak hanya diberikan makan dan hunian untuk berlindung. Mereka pun dibekali pembelajaran lingkungan dan pelatihan keterampilan agar mereka mendapatkan kesempatan belajar. Dengan begitu, mereka memperoleh kehidupan yang lebih baik dan akhirnya mampu menghidupi diri sendiri. Wacana penarikan pasukan AS pada 2014 meningkatkan prospek pasca-Amerika, di mana Taliban memaksa wanita untuk keluar dari pandangan publik.
Samar menegaskan agar pemerintahan Kabul dan sekutu Barat fokus pada hakhak perempuan. Sebagaimana Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton katakan pada acara penyambutan Samar tahun lalu, Clinton menantang untuk berpikir mendalam tentang apa yang dibutuhkan agar perdamaian terjadi. Tentu saja hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Kini Samar menjabat sebagai ketua Komisi Independen Hak Asasi Manusia Afghanistan (AIHRC) sejak 2004 yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM.
Lembaga yang dipimpinnya bertugas memperkuat peraturan hukum dan mengakhiri budaya impunitas. Sejak bergabung dengan AIHRC,Samar menyadari muramnya peran wanita di zaman modern ini. “Hal tersedih adalah tindakan komunitas internasional yang tidak merealisasikan janjinya mengenai hak-hak perempuan dalam negosiasi perdamaian dengan Taliban,” ungkap Samar seperti dilansir foreignpolicy.comakhir November. Dia juga mengkritik pemerintahan yang bergantung pada hukum Islam dan budaya yang mengharuskan tiap wanita untuk mengenakan burqa (pakaian yang membungkus seluruh tubuh).
Samar mengaku ini pesan penting di negara yang hampir 90% wanita tidak bisa membaca dan angka kematian akibat melahirkan yang tinggi. Samar merupakan benteng pertahanan terhadap kembalinya visi abad pertengahan gerakan Islam. Apa yang dilakukan Samar tergolong berani dan tentu akan menuai berbagai argumen. “Aku terbiasa bermain api dan seseorang harus melakukannya,“ ucapnya. Diamenegaskanagarmasyarakat dibekali ilmu yang cukup agar memperoleh hak mereka sebagai manusia.
“Yang terpenting, kita harus mendidik masyarakat yang mungkin adalah kunci bagi kesejahteraan sosial termasuk mengurangi kemiskinan dan menjunjung martabat manusia,” paparnya seperti dikutip dari rightlivelihood.org. Sejak 2005-2009, Samar juga menjabat sebagai Pelapor Khusus Situasi HAM di Sudan bagi PBB. Karena perjuangan dan kontribusinya selama ini, Samar dianggap sebagai ancaman bagi pelanggar HAM yang merupakan petinggi di Afghanistan saat ini.
Alhasil,ia kerap mendapatkan teror akibat kepeduliannya itu.Tetapi, Samar tak pernah gentar “bermain api”, seperti Malala yang harus merasakan peluru bersarang di kepalanya. ema malini
(ysw)