Kolaborasi The Lady dan sang jenderal

Rabu, 05 Desember 2012 - 06:13 WIB
Kolaborasi The Lady...
Kolaborasi The Lady dan sang jenderal
A A A
Siapa yang sangka jika kolaborasi seorang jenderal dan seorang wanita besi mampu membawa Myanmar keluar dari krisis politik berkepanjangan? Kerja sama sang jenderal dan si pembangkang ini mampu mengubah bangsa yang meringkuk selama lima dekade di bawah kekuasaan militer yang brutal.

Aung San Suu Kyi adalah sebuah ikon global yang inspirasional dan pejuang tanpa kekerasan dalam melawan penindasan. Perempuan besi dari Myanmar itu mencatatkan namanya dalam sejarah perlawanan sipil kontra militer.

Meski berbagai intimidasi dan kekerasan politik dialaminya, dia terus berjuang dengan semangat yang tak pernah pupus untuk menciptakan sebuah demokrasi. Suu Kyi (67) pemimpin prodemokrasi yang kini menjadi anggota parlemen terpilih, menantang penguasa militer tanpa kekerasan.

Dia dicap sebagai pembangkang pemerintah sehingga hukuman sebagai tahanan rumah selama 20 tahun harus dilakoninya. Sejak kemenangannya lewat Partai Liga Nasional Demokrasi (National League for Democracy/NLD) pada Pemilu 1990, yang tidak diakui pemerintah junta militer, Suu Kyi terus mengalami kekerasan, penangkapan, dan pengasingan.

Dia pun harus terpisah dari keluarga. Meski dia menerima kekejaman, hal itu tidak mengusik semangat perjuangan untuk tetap melakukan reformasi di Myanmar (sebelumnya bernama Burma, yang kemudian diganti Myanmar oleh pemerintahan junta militer pada 1989).

The Lady—begitu dia dijuluki––terus berupaya mengobarkan semangat demokrasi untuk negaranya. Upaya bertahun-tahun mendapatkan dukungan masyarakat sipil,aktivis,mahasiswa, biksu,dan para pemimpin negara di dunia. Kini perjuangan itu mulai dirasakan seluruh rakyat Myanmar.

Suu Kyi berpendapat, sebuah perubahan itu bisa dilakukan di mana pun, tidak terkecuali di negara paling represif sekalipun. Dengan totalitas perjuangan, wajar bila media berpengaruh di Amerika Serikat (AS), Foreign Policy (FP), akhir November 2012 memosisikan Suu Kyi di peringkat pertama jajaran 100 Tokoh Pemikir Dunia (100 Top Global Thinkers 2012). Dia berada di posisi paling puncak bersama Thein Sein, presiden Myanmar. “Suu Kyi sepertinya tidak tampak seperti pasangan yang kentara dengan Thein Sein, tetapi dia telah menjadi satu legenda sejarah yang melakukan reformasi di beberapa hal,” tulis FPtentang Suu Kyi.

Suu Kyi memperingatkan pemerintah Myanmar soal pragmatisme politik, investasi internasional yang terlalu cepat,kekerasan antaretnik yang terus meningkat, dan mendorong ada rekonsiliasi nasional jangka panjang. Sementara kepemimpinan Thein Sein (67) seorang pensiunan jenderal, saat ini memberikan harapan yang sangat besar terhadap terbukanya keran demokrasi di Myanmar.

Thein Sein, yang menurut FP digambarkan lebih tampak sebagai seorang mantan jenderal yang canggung dan kutu buku itu, memberikan kelonggaran terhadap pembatasan kebebasan berbicara dan mulai membuka kerja sama ekonomi sejak memegang kekuasaan.

Dia juga memulihkan hubungan diplomasi dengan Amerika Serikat (AS), sensor media dihilangkan, dan melakukan pembebasan tahanan politik secara besar-besaran. Atas model kepemimpinan Thein Sein yang lebih terbuka dibanding penguasa militer sebelumnya, akhirnya setelah 21 tahun menanti, pada 16 Juni 2012, Suu Kyi baru bisa menerima penghargaan Nobel Perdamaian yang mustinya sudah diterimanya pada 1991. Pada pidato penerimaan nobelnya, dia mengingatkan dunia tentang orang sepertinya yang berjuang di tempat yang paling menyedihkan.

Hadiah Nobel Perdamaian ini menarik perhatian dunia atas perjuangan untuk demokrasi dan hak asasi manusia di Myanmar. “Ini bukti bahwa kami tidak dilupakan. Hadiah ini sekali lagi membuat diri saya kembali nyata sehingga menarik saya kembali pada komunitas manusia yang lebih luas,” ungkapnya saat memberikan pidato. Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana menyempurnakan dan mempertahankan perdamaian. Ke depan tidak ada lagi pengungsi, tunawisma, atau orang yang putus asa.

“Saya membayangkan suatu dunia tanpa rasa ketakutan dan saling bergandengan tangan untuk menciptakan perdamaian sehingga setiap orang memiliki kebebasan dan kemampuan hidup dalam damai,” ungkapnya. Jika FP menempatkan Suu Kyi dan Thein Sein di peringkat paling puncak, di urutan kedua terdapat Moncef Marzouki, presiden Tunisia yang baru. Marzouki menduduki kursi orang nomor satu di Tunisia setelah terjadi Revolusi Melati tahun lalu.

Sejak menjabat pada Desember 2011, Marzouki memperlihatkan kondisi pemerintahan yang stabil dibanding pasca revolusi yang terjadi di Mesir, Libya, dan perang saudara di Suriah. Tunisia di bawah kepemimpinannya menjadi kisah sukses yang menjanjikan bagi reformasi pemerintahan.

Dengan menjalankan sistem politik yang terkesan kontroversial dan berada di bawah tekanan, harapan besar rakyat muncul agar tercipta masa reformasi yang berkelanjutan pasca pemerintahan otoritarian Zeine El Abidin Ben Ali. Hal ini setidaknya dibuktikan Marzouki dengan mampu mengembalikan pertumbuhan ekonomi.

Di hadapan Pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2012, mantan dokter yang berpaling menjadi aktivis demokrasi ini bahkan mengatakan kepada negara-negara anggota PBB bahwa model pemerintahan diktator adalah penyakit. Dia menyerukan supaya PBB membentuk pengadilan internasional yang menengahi terselenggaranya pemilihan umum demi mencegah para pemimpin diktator memperoleh kekuasaannya kembali. nafi’ muthohirin
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8094 seconds (0.1#10.140)