Analisis data kekuatan perusahaan
A
A
A
Sejumlah data yang dikeluarkan lembaga resmi negara selama ini dinilai kurang mendalam. Karena itu, butuh analisis yang bisa merespons kondisi ekonomi dari berbagai faktor.
Para investor domestik maupun luar negeri tidak cukup mengandalkan data laporan keuangan yang diterbitkan lembaga negara seperti bank sentral (Bank Indonesia/BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), atau Badan Pusat Statistik (BPS) saja jika ingin memulai berinvestasi di berbagai sektor industri.Para pemilik modal itu membutuhkan data analisis yang lebih hidup dan bisa ”berbunyi”, bukan data-data mentah yang tidak melibatkan segala faktor.
Karena itu, data-data intelijen ekonomi (economic intelligence/EI) menjadi kunci penting untuk menentukan beragam strategi jitu dalam melihat perkembangan perekonomian. Strategi itu bertujuan melihat apa saja yang telah, sedang, dan akan terjadi terhadap kondisi ekonomi nasional dan global. Untuk melihat semua itu, kekuatan analisis yang mendalam terhadap berbagai faktor mulai ekonomi, politik, hukum dan regulasi suatu negara diperlukan.
Meski strategi EI ini sama-sama mengandalkan pengolahan data seperti yang dikeluarkan BI, BPS, atau Kemenkeu, sejatinya ketiganya berbeda dengan konsep yang ditawarkan EI. Menurut Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Jakarta Sunarsip,ada perbedaan mendasar antara EI dan lembaga penelitian (litbang) yang ada di kementerian-kementerian dan BPS.
Analisis yang dihadirkan EI lebih komprehensif dengan melibatkan berbagai faktor seperti politik, ekonomi, hukum, dan regulasi yang tengah terjadi.Sementara penelitian yang dilakukan litbang hanya berfokus pada satu topik tertentu. Selama ini BPS hanya penyuplai data.
Lembaga ini hanya mengeluarkan data mentah seperti ketika BPS mengeluarkan laporan data ekspor atau impor setiap bulan dan laporan PDB setiap tiga bulan sekali.”Tapi, itu kan datanya tidak ‘berbunyi’. BPS tidak menjelaskan apa faktor-faktor yang menyebabkan ekspor atau impor itu bisa naik dan turun meski sebenarnya mereka mengetahui. What happen di balik itu?” kata Sunarsip kepada SINDO, 23 November 2012.
Berbeda dengan yang dilakukan EI, strategi penelitian yang dilakukan lebih dari itu. Misalnya ada data yang diterbitkan dari BI, Kemenkeu, atau BPS bisa diolah dan dianalisis lebih mendalam dengan pendekatan-pendekatan yang kontekstual.
Lebih utamanya adalah dengan melihat konteks regulasi terkini. Berbagai pendekatan itu lalu dibandingkan satu sama lain, bagaimana potensi dan tantangannya. Hasilnya,data yang berasal dari EI bisa dibaca lebih utuh kenapa ekonomi bisa meningkat dan menurun atau ada faktor apa sehingga laju ekspor dan impor terkadang naik dan turun.
”Nah, itu yang menjadi basis analisis kami.Setelah data itu utuh melihat berbagai faktor, lalu kita provideke perusahaan- perusahaan. Selanjutnya bisa dijadikan alat untuk menentukan kapan sebuah perusahaan akan masuk ke pasar keuangan,kapan akan memulai bisnis baru dan dengan siapa dia akan membuka jaringan,” ungkap Sunarsip.
Selain itu,data hasil analisis EI juga bisa dimanfaatkan sebagai alat fund rising. Yang paling penting adalah sebagai alat peringatan dini jika suatu saat terjadi krisis global. Sayangnya, perhatian institusi di Indonesia menganggap keberadaan lembaga EI belum begitu signifikan. Para pelaku pasar kebanyakan hanya berpikir pragmatis dengan hanya melihat perkembangan ekonomi dari sisi permukaan.
”Intinya metodologi EI bisa membantu menumbuhkan sikap responsif terhadap krisis sehingga kita jadi tahu prediksi ke depan, terutama lagi untuk membantu menumbuhkan kekuatan dan daya saing ekonomi,” paparnya.
Perbedaan mendasar antara analisis yang menggunakan metode EI dan hasil BPS juga diutarakan pengamat ekonomi Yuswohady. Menurutnya, data-data yang dikeluarkan BPS kebanyakan terpusat pada sektor-sektor industri makro sehingga hanya bisa melihat perkembangan pasar makro,terkesan sangat umum. Sementara yang bergerak di kawasan ekonomi riil tidak menjadi pertimbangan dalam melihat pergerakan pasar ekonomi.
Hal itu baru pada sisi ekonomi saja,belum yang lain seperti persoalan hukum dan regulasi.Akibatnya pemahaman yang diberikan BPS tidak bisa secara utuh dipahami setiap orang. ”Nah,EI berguna untuk mendapatkan hasil data-data yang lengkap sehingga menjadi acuan bagi para investor atau pelaku pasar untuk menentukan langkah perusahaan selanjutnya,” ungkapYuswohady.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, data-data ekonomi yang dikeluarkan BPS biasanya hanya secara umum. Faktor yang dijadikan acuan pun sama-sama dengan pembacaan yang dihasilkan dari lembaga internasional. BPS berupaya melihat jumlah pengangguran atau menyampaikan data-data pertumbuhan ekspor dan impor secara rutin saja.
”Sedangkan lembaga-lembaga konsultan bisnis yang menggunakan basis pendekatan EI biasanya melihat persoalan berbasiskan survei dan kekuatan analisis. Misalnya survei bisnis, konsumen, atau melihat indeks ekonomi. Strategi ini biasa digunakan untuk melihat arah ekonomi ke depan yang kemudian menjadi langkah pemasaran sebuah perusahaan,” kata Purbaya.
Para investor domestik maupun luar negeri tidak cukup mengandalkan data laporan keuangan yang diterbitkan lembaga negara seperti bank sentral (Bank Indonesia/BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), atau Badan Pusat Statistik (BPS) saja jika ingin memulai berinvestasi di berbagai sektor industri.Para pemilik modal itu membutuhkan data analisis yang lebih hidup dan bisa ”berbunyi”, bukan data-data mentah yang tidak melibatkan segala faktor.
Karena itu, data-data intelijen ekonomi (economic intelligence/EI) menjadi kunci penting untuk menentukan beragam strategi jitu dalam melihat perkembangan perekonomian. Strategi itu bertujuan melihat apa saja yang telah, sedang, dan akan terjadi terhadap kondisi ekonomi nasional dan global. Untuk melihat semua itu, kekuatan analisis yang mendalam terhadap berbagai faktor mulai ekonomi, politik, hukum dan regulasi suatu negara diperlukan.
Meski strategi EI ini sama-sama mengandalkan pengolahan data seperti yang dikeluarkan BI, BPS, atau Kemenkeu, sejatinya ketiganya berbeda dengan konsep yang ditawarkan EI. Menurut Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Jakarta Sunarsip,ada perbedaan mendasar antara EI dan lembaga penelitian (litbang) yang ada di kementerian-kementerian dan BPS.
Analisis yang dihadirkan EI lebih komprehensif dengan melibatkan berbagai faktor seperti politik, ekonomi, hukum, dan regulasi yang tengah terjadi.Sementara penelitian yang dilakukan litbang hanya berfokus pada satu topik tertentu. Selama ini BPS hanya penyuplai data.
Lembaga ini hanya mengeluarkan data mentah seperti ketika BPS mengeluarkan laporan data ekspor atau impor setiap bulan dan laporan PDB setiap tiga bulan sekali.”Tapi, itu kan datanya tidak ‘berbunyi’. BPS tidak menjelaskan apa faktor-faktor yang menyebabkan ekspor atau impor itu bisa naik dan turun meski sebenarnya mereka mengetahui. What happen di balik itu?” kata Sunarsip kepada SINDO, 23 November 2012.
Berbeda dengan yang dilakukan EI, strategi penelitian yang dilakukan lebih dari itu. Misalnya ada data yang diterbitkan dari BI, Kemenkeu, atau BPS bisa diolah dan dianalisis lebih mendalam dengan pendekatan-pendekatan yang kontekstual.
Lebih utamanya adalah dengan melihat konteks regulasi terkini. Berbagai pendekatan itu lalu dibandingkan satu sama lain, bagaimana potensi dan tantangannya. Hasilnya,data yang berasal dari EI bisa dibaca lebih utuh kenapa ekonomi bisa meningkat dan menurun atau ada faktor apa sehingga laju ekspor dan impor terkadang naik dan turun.
”Nah, itu yang menjadi basis analisis kami.Setelah data itu utuh melihat berbagai faktor, lalu kita provideke perusahaan- perusahaan. Selanjutnya bisa dijadikan alat untuk menentukan kapan sebuah perusahaan akan masuk ke pasar keuangan,kapan akan memulai bisnis baru dan dengan siapa dia akan membuka jaringan,” ungkap Sunarsip.
Selain itu,data hasil analisis EI juga bisa dimanfaatkan sebagai alat fund rising. Yang paling penting adalah sebagai alat peringatan dini jika suatu saat terjadi krisis global. Sayangnya, perhatian institusi di Indonesia menganggap keberadaan lembaga EI belum begitu signifikan. Para pelaku pasar kebanyakan hanya berpikir pragmatis dengan hanya melihat perkembangan ekonomi dari sisi permukaan.
”Intinya metodologi EI bisa membantu menumbuhkan sikap responsif terhadap krisis sehingga kita jadi tahu prediksi ke depan, terutama lagi untuk membantu menumbuhkan kekuatan dan daya saing ekonomi,” paparnya.
Perbedaan mendasar antara analisis yang menggunakan metode EI dan hasil BPS juga diutarakan pengamat ekonomi Yuswohady. Menurutnya, data-data yang dikeluarkan BPS kebanyakan terpusat pada sektor-sektor industri makro sehingga hanya bisa melihat perkembangan pasar makro,terkesan sangat umum. Sementara yang bergerak di kawasan ekonomi riil tidak menjadi pertimbangan dalam melihat pergerakan pasar ekonomi.
Hal itu baru pada sisi ekonomi saja,belum yang lain seperti persoalan hukum dan regulasi.Akibatnya pemahaman yang diberikan BPS tidak bisa secara utuh dipahami setiap orang. ”Nah,EI berguna untuk mendapatkan hasil data-data yang lengkap sehingga menjadi acuan bagi para investor atau pelaku pasar untuk menentukan langkah perusahaan selanjutnya,” ungkapYuswohady.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, data-data ekonomi yang dikeluarkan BPS biasanya hanya secara umum. Faktor yang dijadikan acuan pun sama-sama dengan pembacaan yang dihasilkan dari lembaga internasional. BPS berupaya melihat jumlah pengangguran atau menyampaikan data-data pertumbuhan ekspor dan impor secara rutin saja.
”Sedangkan lembaga-lembaga konsultan bisnis yang menggunakan basis pendekatan EI biasanya melihat persoalan berbasiskan survei dan kekuatan analisis. Misalnya survei bisnis, konsumen, atau melihat indeks ekonomi. Strategi ini biasa digunakan untuk melihat arah ekonomi ke depan yang kemudian menjadi langkah pemasaran sebuah perusahaan,” kata Purbaya.
(kur)