Kampung hijau di belantara beton

Kamis, 15 November 2012 - 09:41 WIB
Kampung hijau di belantara...
Kampung hijau di belantara beton
A A A
Macet, polusi, sungai mampat, dan perkampungan kumuh selama ini identik dengan satu sisi kehidupan Jakarta. Tetapi, siapa sangka jika di wilayah selatan Jakarta terdapat kampung kecil yang mendunia karena kepedulian masyarakatnya terhadap lingkungan.

Banjarsari, begitulah nama kampung hijau yang terletak di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Di tengah ketidakpedulian sebagian besar masyarakat Jakarta terhadap lingkungan, Banjarsari menjadi satu purwarupa kampung hijau di tengah belantara beton.

Kampung ini ibarat oase di tengah kegersangan Ibu Kota. Pertama kali memasuki perkampungan di sekitar Jalan Banjarsari XI, RT 008/RW 008, Kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan, rasanya tidak seperti di Jakarta.

Kesan bau got dan sampah menumpuk yang biasanya melekat di setiap perkampungan di Ibu Kota tidak terasa di kawasan paling ujung jalan Fatmawati ini. Pesona yang muncul malah sebaliknya, kampung itu terlihat bersih, asri dan rindang penuh pepohonan yang menyehatkan mata. Di setiap pekarangan rumah terdapat pot-pot kecil yang ditumbuhi tanaman multiguna.

“Ibu-ibu sekitar sini mampu memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami tanaman obat, sayuran, dan aneka jenis tumbuhan. Sampah-sampah yang dihasilkan dari dapur mereka juga berhasil didaur ulang menjadi produk pupuk unggulan yang laku di pasaran,” kata Ketua Forum Masyarakat Peduli Lingkungan (Formapel) Kecamatan Cilandak, yang juga pelopor bagi pelestarian lingkungan di Banjarsari,Harini Bambang Wahono,80, kepada SINDO,Jumat 9 November 2012.

Kepedulian masyarakat Banjarsari terhadap lingkungan pantas diacungi jempol. Apalagi, kampung hijau ini pernah menjadi percontohan badan dunia, UNESCO untuk pengolahan sampah terpadu melalui partisipasi masyarakat dari 1996–2003. Kampung Banjarsari menjadi lokasi proyek pengelolaan limbah rumah tangga, dengan penekanan pada prinsip 4R (reduce, reuse, recycle, dan replant).

Kesuksesan Banjarsari kemudian memicu keberhasilan 25 titik perkampungan hijau di Jakarta seperti di Petojo, Rawajati,Rawasari, dan lainnya. Tak ayal, bila implementasi nyata kepedulian lingkungan masyarakat Banjarsari menjadi pilot project program kampung hijau (green village) pemerintah untuk seluruh daerah di Indonesia.

Banjarsari menjadi kampung hijau yang mendunia bermula dari inisiatif Harini yang menyaksikan awalnya masyarakat sekitar tidak peduli terhadap lingkungan.

Atas pesan mendiang suaminya dan didikan masa kecilnya yang dekat dengan pepohonan, tanaman, dan binatang ketika tinggal di Solo, Jawa Tengah, maka dirinya tergerak untuk menjadikan tempat tinggal pribadinya sebagai “Rumah Rakyat”, tempat pelatihan dan pembelajaran tentang penghijauan dan pengolahan sampah. Harini mengatakan, ketika mendidik masyarakat Banjarsari pertama kali sangat susah.

Pasalnya, kebanyakan ibu-ibu rumah tangga dahulu berpendidikan rendah dan buta huruf. Tidak sedikit masyarakat yang mencibir karena upaya ini. Namun karena tekad yang kuat, jalan itu muncul dengan sendirinya.

“Mendidik itu seperti menanam pohon. Ketika tumbuh kecil diinjak-injak, ketika berbuah terkadang diserang penyakit, dan jika pohon sudah tinggi, serangan angin pun semakin kuat. Karena itu,untuk menuai hasil,akarnya harus kuat,” ungkap wanita yang juga relawan kesehatan di WHO ini.

Hampir semua elemen masyarakat dari mahasiswa, universitas, anggota DPR, praktisi lingkungan sampai LSM pernah berlatih di Rumah Rakyat. “Beberapa tahun belakangan ini,mulai banyak mahasiswa dan peneliti dari kampus luar negeri yang berlatih di sini.Ada mahasiswa Jepang, Filipina, Bangkok, pernah juga lima mahasiswa dari Belgia. Mereka sampai satu minggu di sini,” kenang wanita penerima penghargaan pengabdian PKK 30 tahun dari Gubernur DKI tahun 2005.

Harini menambahkan, siapa yang mau peduli dengan lingkungan sekitar kalau bukan pribadi masing-masing. Jika menyaksikan sampah menumpuk, maka akan menghasilkan gas metana. “Ujung-ujungnya akan menimbulkan penyakit. Banjarsari melakukan penghijauan dan pengolahan sampah menjadi pupuk organik sebagai bentuk perlawanan terhadap panas bumi,”lanjut perempuan kelahiran 25 November 1931 ini.

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, fenomena Banjarsari merupakan contoh konkret dari partisipasi masyarakat dalam menghijaukan kota. Fenomena kearifan lokal ini menarik mengingat di Jakarta sangat sulit mencari masyarakat yang mempunyai kepedulian besar pada masalah lingkungan.“ Banjarsari bisa menjadi contoh bahwa dengan peran semua pihak banyak hal yang bisa dilakukan,” kata Yayat kepada SINDO.

Yayat menambahkan, pemerintah perlu memberikan apresiasi atas kesadaran dan langkah masyarakat Banjarsari dalam menghijaukan lingkungan mereka. Diharapkan, fenomena Banjarsari bisa menginspirasi masyarakat Ibu Kota lain untuk melakukan hal yang sama atas lingkungan yang mereka tempati.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0727 seconds (0.1#10.140)