Kultur entrepreneur berawal dari kampus

Selasa, 06 November 2012 - 11:59 WIB
Kultur entrepreneur...
Kultur entrepreneur berawal dari kampus
A A A
Penyandang gelar sarjana sulit mencari pekerjaan bukanlah sebuah fenomena baru di Indonesia. Minimnya lapangan pekerjaan ditambah dengan kemampuan (skill) yang terbatas, menjadi penyebab utama munculnya pengangguran terdidik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari lalu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 6,32% dari total pengangguran yang sebesar 7,6 juta jiwa. Sekira 14,45% dari jumlah TPT tersebut merupakan penyandang gelar diploma dan sarjana.

Selain skill dan minimnya lapangan pekerjaan, penyebab besarnya jumlah pengangguran terdidik adalah tidak adanya penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) kepada peserta didik.

Padahal semakin besar jumlah wirausahawan, diyakini bisa membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan perekonomian. Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menunjukkan jumlah wirausahawan di Indonesia hanya 0,18% dari 240 juta penduduk. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, agar Indonesia bisa berdaya saing tinggi, idealnya dibutuhkan minimal 2% entrepreneurdari jumlah populasi.

“Wirausaha menjadi salah satu pilar ekonomi nasional yang tangguh menghadapi krisis ekonomi global, sekaligus solusi mengurangi kemiskinan serta menyerap pengangguran,“ kata Muhaimin, Sabtu 13 Oktober 2012.

Saat ini mulai banyak perguruan tinggi yang mengikrarkan diri sebagai kampus kewirausahaan (entrepreneurship university). Setidaknya, saat ini sejumlah perguruan tinggi mulai menanamkan dan menambahkan materi kewirausahaan kepada peserta didik mereka.

Menurut pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali, menjadi kampus entrepreneur tidak hanya sebatas mengajar pelajaran kewirausahaan, tetapi diperlukan juga perombakan yang menyeluruh, dan setiap aspek pendidikan harus diarahkan pada kewirausahaan.

Rhenald menyebutkan tidak cukup dengan hanya satu pelajaran kewirausahaan. Tenaga pengajar harus orang yang bergerak di bidang wirausaha. “Untuk menjadi kampus entrepreneur harus siap lahir batin. Membenahi semua hal,” kata Rhenald kepada SINDO.

Selain itu, perlu ada perubahan kultur secara menyeluruh. Untuk menjadi kampus entrepreneur, kultur ilmiah harus diarahkan pada hal yang aplikatif. Maklum, selama ini kultur ilmiah lebih banyak mengutamakan publikasi dan identik dengan sesuatu yang ribet. Padahal bisnis cenderung sederhana dan pragmatis.

“Kampus entrepreneur juga tidak cukup mengajarkan business plan, sebab jika hanya business plan masuk pada wilayah manajemen bukan entrepreneur,” jelas pria yang juga Ketua Program Magister Manajemen, Universitas Indonesia tersebut.

Saat ini sejumlah perguruan tinggi memberikan perhatian besar pada bidang kewirausahaan. Salah satunya adalah Prasetiya Mulya Bussines School. Menurut Secretary General of Prasetiya Mulya Entrepreneurship Development Center M Setiawan Kusmulyono, di Prasetiya mahasiswa sudah didekatkan pada kewirausahaan sejak dini.

Pada tingkat pertama (semester satu dan dua), mahasiswa tidak hanya dikenalkan pada pengertian kewirausahaan, tetapi juga diminta memunculkan ide bisnis. Mereka diminta memberikan solusi atas beberapa hal yang ada di sekitar mereka.

“Misalnya untuk permasalahan lahan parkir, mereka membuat aplikasi yang memudahkan orang untuk mencari lahan parkir kosong,” kata pria yang biasa disapa Kelly ini.

Pada tingkat dua,mahasiswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok diminta memunculkan ide bisnis yang siap dijalankan secara komersial. Masing-masing ide diadu dengan lainnya, sehingga muncul beberapa kelompok yang menjadi pemenang. Kelompok pemenang itulah yang kemudian dilanjutkan menjadi bisnis nyata pada mahasiswa.

Sementara itu, kelompok yang kalah bergabung dengan kelompok pemenang. “Pada tingkat ini, para dosen menjadi komisaris yang menilai semua kinerja perusahaan serta menanyakan berbagai langkah dan strategi yang telah dilakukan,”jelas Kelly.

Semua jenjang pendidikan yang dilakukan menjadi laboratorium bisnis yang harus dihadapi seluruh mahasiswa. Dari berbagai bisnis yang dilakukan tersebut, banyak mahasiswa dan alumni menekuni bisnis yang telah mereka rintis sejak di bangku kuliah.

Konsep bisnis mahasiswa Prasetiya Mulya cukup banyak yang mengambil aliran gaya hidup (lifestyle) seperti fashion dan kuliner, selain ada juga beberapa bisnis kreatif yang dihasilkan dari tema game board hingga layanan seperti jasa spa.

Untuk lifestyle khususnya fashion, beberapa produk ini sudah memasuki beberapa season penjualan produk, antara lain Zevin (produk sepatu), Havehad Footwear (produk sepatu), Aquamarine (pakaian renang perempuan) dan berbagai bisnis berbasis lifestyle lain. Untuk produk berbasis kulit terdapat beberapa lini bisnis mahasiswa, seperti Voyej (dompet dan tas), Nave Case (aksesoris gadget),Abbema Lombardi (tas kulit).
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0847 seconds (0.1#10.140)