MA tak cakap dalam perencanaan anggaran
Senin, 29 Oktober 2012 - 19:55 WIB

MA tak cakap dalam perencanaan anggaran
A
A
A
Sindonews.com - Ketidaktransparan penggunaan anggaran dan administrasi di tubuh lembaga Mahkamah Agung (MA) dinilai pengamat tidak terlepas dari budaya yang tidak cakap dalam hal perencanaan.
Seharusnya, pasca mandirinya lembaga peradilan dari Kementerian Hukum dan HAM, MA harus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) menyangkut perencanaan pengelolaan anggaran dan administrasi.
“Sebelumnya, peradilan kan di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Semua pengelolaan anggaran dan administrasi sudah ada yang menangani dan hakim tidak terbiasa dengan itu. Menurut saya, pemicunya ya administrasi dan protokoler harus dilakukan penataan ulang,” kata Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fajrul Falaakh saat dihubungi, Senin (29/10/2012).
Menurut Fajrul, hakim agung yang aktivitas sehari-harinya menyelesaikan perkara yang menumpuk di MA, sudah tidak terlalu fokus dengan urusan anggaran dan administrasi, termasuk protokoler.
Fakta itulah yang dijadikan celah oleh para birokrat PNS di MA untuk memanipulasi sejumlah perencanaan kegiatan. Khususnya menyangkut pengangaran kegiatan dan fasilitas para hakim yang kurang memadai.
Dia mencontohkan, MA dua kali berturut-turut mendapat predikat pengelolaan anggaran 'Wajar dengan Pengecualian' atau WDP. Predikat ini didapat pada 2010 dan 2011.
Namun, kendati mendapatkan predikat itu, MA masih banyak memiliki kelemahan dalam sistim pengendalian pelaksanaan anggaran.
“Perencanaan MA dalam hal kegiatan tidak memadai, pengelompokan belanja saat penganggaran tidak sesuai dengan kegiatan, termasuk dalam hal kehematan dan ketidakefisienan anggaran yang mencapai ratusan juta,” tegas Fajrul
Pejabat dan birokrat MA dinilainya harus membuka diri untuk memberikan transparansi terhadap hak dan tunjangan para hakim. Apalagi, hakim yang lantang menyuarakan hak merupakan mantan anggota Komisi III DPR yang mengetahui semua penganggaran, termasuk hak, dan fasilitas yang diterima hakim agung.
“Akan konyol jika sudah diperjuangkan DPR, tapi justru di MA pejabat eksekutifnya menanipulasi,” terangnya.
Seharusnya, pasca mandirinya lembaga peradilan dari Kementerian Hukum dan HAM, MA harus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) menyangkut perencanaan pengelolaan anggaran dan administrasi.
“Sebelumnya, peradilan kan di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Semua pengelolaan anggaran dan administrasi sudah ada yang menangani dan hakim tidak terbiasa dengan itu. Menurut saya, pemicunya ya administrasi dan protokoler harus dilakukan penataan ulang,” kata Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fajrul Falaakh saat dihubungi, Senin (29/10/2012).
Menurut Fajrul, hakim agung yang aktivitas sehari-harinya menyelesaikan perkara yang menumpuk di MA, sudah tidak terlalu fokus dengan urusan anggaran dan administrasi, termasuk protokoler.
Fakta itulah yang dijadikan celah oleh para birokrat PNS di MA untuk memanipulasi sejumlah perencanaan kegiatan. Khususnya menyangkut pengangaran kegiatan dan fasilitas para hakim yang kurang memadai.
Dia mencontohkan, MA dua kali berturut-turut mendapat predikat pengelolaan anggaran 'Wajar dengan Pengecualian' atau WDP. Predikat ini didapat pada 2010 dan 2011.
Namun, kendati mendapatkan predikat itu, MA masih banyak memiliki kelemahan dalam sistim pengendalian pelaksanaan anggaran.
“Perencanaan MA dalam hal kegiatan tidak memadai, pengelompokan belanja saat penganggaran tidak sesuai dengan kegiatan, termasuk dalam hal kehematan dan ketidakefisienan anggaran yang mencapai ratusan juta,” tegas Fajrul
Pejabat dan birokrat MA dinilainya harus membuka diri untuk memberikan transparansi terhadap hak dan tunjangan para hakim. Apalagi, hakim yang lantang menyuarakan hak merupakan mantan anggota Komisi III DPR yang mengetahui semua penganggaran, termasuk hak, dan fasilitas yang diterima hakim agung.
“Akan konyol jika sudah diperjuangkan DPR, tapi justru di MA pejabat eksekutifnya menanipulasi,” terangnya.
(rsa)