Tajul Muluk gugat UU soal penodaan agama

Jum'at, 14 September 2012 - 17:07 WIB
Tajul Muluk gugat UU soal penodaan agama
Tajul Muluk gugat UU soal penodaan agama
A A A
Sindonews.com - Terdakwa penodaan agama Tajul Muluk meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan tafsir terhadap penerapan Pasal 156a Undang-Undang (UU) KUHAP yang dianggap disalahgunakan dalam menjatuhkan hukuman.

Gugatan UU ini diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum Universalia, yang mewakili empat orang warga negara Indonesia termasuk Tajul Muluk. Gugatan ini dilakukan, karena merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya penerapan Pasal 156a UU KUHAP itu.

Dalam sidang pendahuluannya, selaku kuasa hukum penggugat, Iqbal Tawakkal menyatakan, penerapan dan penggunaan pasal 156a telah banyak disalahgunakan oleh penegak hukum di daerah dalam menjatuhkan vonis terhadap penodaan agama.

"Penerapan ini saya rasa sangat memberikan ketidakpastian hukum bagi si terdakwa," jelas Iqbal ketika ditemui seusai sidang pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, Jumat (14/9/2012).

Menurutnya, dalam menjatuhkan vonis terhadap kasus penodaan agama seperti yang tercantum dalam Pasal 156a, harus didahulukan dengan perintah surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri.

Surat tersebut berisi perintah dan peringatan untuk menghentikan perbuatan yang dianggap melecehkan agama serta diketahui oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Jaksa Agung (jabatan setingkat menteri) dan Menteri Agama (Menang).

Namun, dalam prakteknya, tanpa adanya SKB tiga menteri penegak hukum khususnya di daerah sering kali menjatuhkan vonis seperti yang tercantum dalam Pasal 156a UU KUHAP.

"Misalnya, ustad Tajul itu kan ketika dipidana menggunakan pasal 156a KUHAP tidak pernah ada SKB tiga menteri. Sementara UU kan mengharuskan SKB tiga menteri memberikan peringatan sebelum penggunaan pasal 156a," lanjutnya.

Vonis ini adalah bukti ketidakpastian hukum dan anarkisme aparat daerah yang menggergaji wewenang mutlak pemerintah pusat dalam menilai keyakinan orang atau sekelompok orang.

"Ini harus segera dikoreksi oleh Mahkamah, jika tidak ada jutaan orang atau pendakwah yang masuk penjara. Karena dianggap sesat oleh aparat daerah tanpa ada SKB tiga Menteri yang menguatkan," tandasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, harusnya penerapan Pasal 156a UU KUHAP itu dilakukan jika sudah ada peringatan keras dari pihak pemerintah yaitu melalui SKB 3 Menteri. Harus ada poses sebelum menjatuhkan vonis hukuman penjara yakni peringatan SKB tiga menteri bagi orang yang diduga telah melakukan penodaan terhadap agama.

"Sehingga, kita fokus meminta MK agar pasal 156a itu sebelum diterapkan harus ada terlebih dahulu perintah keras, peringatan melalui SKB 3 Menteri, itu fokusnya," tegasnya.

Menanggapi dalil tersebut, MK mengatakan apa yang diajukan oleh pemohon, dalam hal ini kuasa hukum Tajul Muluk, ialah bukan kewenangan MK untuk memeriksa dan mengadilinya. Sebab, MK hanya berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara pengujian soal norma bukan penerapan norma.

"Kalau di MK adalah pengujian norma dalam UU, kalu di sini yang diajukan adalah masalah penerapan norma, ambil saja hal-hal yang berhubungan dengan pengujian norma, bukan pemaparan kasusnya," terang Hakim Konstitusi Maria Farida saat memberikan nasiha dalam ruang sidang.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2168 seconds (0.1#10.140)