Homeschooling memudahkan anak didik beraktivitas
A
A
A
SEJUMLAH siswa SMA Home Schooling Kak Seto (HSKS) berkumpul di aula sekolah, Jumat 27 Juli. Mereka tidak seperti umumnya anak sekolah. Mereka tidak menggunakan seragam, tidak membawa buku. Malah, tidak sedikit yang justru asyik bermain telepon seluler. Namun, jangan beranggapan mereka sedang bermalas-malasan. Di aula, mereka duduk lesehan untuk mengikuti kegiatan hasta karya yang bertemakan “Go Green Bag”.
Pada kegiatan ini, siswa dibagi dalam beberapa kelompok untuk membuat tas dari karung goni. Setiap siswa diminta menjahit karung goni untuk dijadikan tas. Setelah itu, mereka juga diminta menggambar tas tersebut dengan cat air yang telah disediakan sekolah. Sebelum acara hasta karya berlangsung, dua orang pembimbing memandu kegiatan layaknya sebuah pembawa acara on air.
Sementara pembimbing lain berdiri di sekitar siswa, untuk membantu melayani sejumlah kebutuhan mereka. Setiap Jumat, para siswa HSKS yang memilih program komunitas selalu berkumpul bersama. Mereka melakukan sejumlah kegiatan untuk lebih mengakrabkan diri dan mengembangkan kreativitas. “Siswa yang berkebutuhan khusus tidak mengikuti kegiatan hasta karya ini. Setiap jenjang (kelas XI–XII) ada sekitar tiga siswa yang berkebutuhan khusus,” kata Kepala SMA HSKS Sri Kurnia kepada harian Seputar Indonesia (SINDO).
Di HSKS ada beberapa program yang ditawarkan. Pertama, program komunitas. Pada program ini, proses pembelajaran dilakukan di sebuah kelas sambil bersosialisasi antarsiswa. Para siswa masuk kelas maksimal, hanya dua hari dalam seminggu dengan masing-masing belajar selama tiga jam. Untuk jenjang SMA belajar pada Senin dan Rabu, sedangkan pada Jumat mereka berkumpul bersama melakukan sejumlah kegiatan. Kedua adalah program semikomunitas.
Dalam program ini, proses pembelajaran yang dilakukan di rumah, namun mengadopsi sistem pembelajaran berkumpul di dalam kelas (komunitas), yaitu membentuk kelompok dan waktu pembelajaran yang tetap layaknya komunitas. Kapasitas per kelas pun berkisar 2–10 homeschooler (siswa). Jadwal dan tempat pembelajaran ditentukan orangtua. Jika membutuhkan tutor pendamping, mereka bisa mengajukan tutor visit pada HSKS.
Sementara program ketiga adalah Distance Learning (DL), yaitu proses pembelajaran di mana homeschooler belajar di rumah atau di tempat lain didampingi orangtua sebagai tutor utama. Orangtua dapat mengajukan jasa tutor dari HSKS ataupun pihak lain. “Untuk program semikomunitas dan DL, siswa tetap bisa berkumpul bersama di HSKS yang diadakan sekali dalam tiga bulan,” kata Direktur HSKS M Budiharjo.
Saat ini HSKS telah memiliki delapan cabang di beberapa kota, seperti Bekasi dan Surabaya, bahkan sudah ada yang di Sumatera. HSKS pusat yang terletak di Pondok Aren Tangerang Selatan ada sekitar 650 siswa, dan hanya sekitar 250 siswa yang mengikuti program komunitas yang wajib hadir di sekolah dua kali seminggu. Selebihnya memilih program semikomunitas dan DL. Hamidah, salah seorang orangtua murid yang mengikuti program komunitas di HSKS, mengaku alasan memasukkan buah hatinya ke homeschooling karena pola belajar yang diterapkan sekolah sangat fleksibel.
Dengan begitu, bakat putrinya dalam bernyanyi bisa lebih dikembangkan tanpa harus mengganggu waktu belajar. “Di sekolah formal, waktu belajarnya lebih padat dan lama, maka hobi anak saya tidak bisa tersalurkan dengan maksimal,” ujarnya kepada SINDO. Menurut dia, anaknya sendiri yang pertama kali memilih pola belajar homeschooling karena sistem belajar ini dirasa lebih menyenangkan dan nyaman. Hal ini dicontohkan pada hubungan anak didik dan tutor (guru) yang begitu bersahabat.
Para tutor biasanya disebut “kakak” bukan bapak atau ibu guru. “Hal ini membuat anak lebih senang dalam menerima pelajaran,” katanya. Lebih lanjut dia menjelaskan, dengan pola pembelajaran homeschooling yang hanya menerapkan waktu sekolah selama tiga hari dalam seminggu, ternyata berhasil membuat dirinya menjadi lebih akrab dengan sang buah hati. Di samping itu, saat ini rasa kekhawatiran kepada anaknya yang bersekolah di homeschooling lebih berkurang ketimbang saat anak sulungnya ini masih bersekolah di sekolah formal.
Pasalnya, dia bisa lebih punya banyak waktu untuk memperhatikan dan memberikan bimbingan kepada anaknya. Alasan memilih pola pembelajaran homeschooling agar lebih dapat mengembangkan dan memaksimalkan potensi anak juga diungkapkan Debby, salah satu orangtua murid homeschooling kelas XI di HSKS. Menurutnya, alasan utama dia memindahkan Siska, putrinya dari sekolah formal ke homeschooling agar bisa memaksimalkan diri untuk menyalurkan bakat bermusiknya tanpa mengganggu waktu belajar.
Debby mengaku, sejak lulus SMP, Siska diarahkan untuk melanjutkan sekolah dengan sistem homeschooling. “Sebab waktu homeschooling lebih fleksibel. Ini akan membuat dia lebih mudah untuk mengatur waktu antara sekolah dan aktivitas yang ingin dia jalankan,” papar Debby.
Pada kegiatan ini, siswa dibagi dalam beberapa kelompok untuk membuat tas dari karung goni. Setiap siswa diminta menjahit karung goni untuk dijadikan tas. Setelah itu, mereka juga diminta menggambar tas tersebut dengan cat air yang telah disediakan sekolah. Sebelum acara hasta karya berlangsung, dua orang pembimbing memandu kegiatan layaknya sebuah pembawa acara on air.
Sementara pembimbing lain berdiri di sekitar siswa, untuk membantu melayani sejumlah kebutuhan mereka. Setiap Jumat, para siswa HSKS yang memilih program komunitas selalu berkumpul bersama. Mereka melakukan sejumlah kegiatan untuk lebih mengakrabkan diri dan mengembangkan kreativitas. “Siswa yang berkebutuhan khusus tidak mengikuti kegiatan hasta karya ini. Setiap jenjang (kelas XI–XII) ada sekitar tiga siswa yang berkebutuhan khusus,” kata Kepala SMA HSKS Sri Kurnia kepada harian Seputar Indonesia (SINDO).
Di HSKS ada beberapa program yang ditawarkan. Pertama, program komunitas. Pada program ini, proses pembelajaran dilakukan di sebuah kelas sambil bersosialisasi antarsiswa. Para siswa masuk kelas maksimal, hanya dua hari dalam seminggu dengan masing-masing belajar selama tiga jam. Untuk jenjang SMA belajar pada Senin dan Rabu, sedangkan pada Jumat mereka berkumpul bersama melakukan sejumlah kegiatan. Kedua adalah program semikomunitas.
Dalam program ini, proses pembelajaran yang dilakukan di rumah, namun mengadopsi sistem pembelajaran berkumpul di dalam kelas (komunitas), yaitu membentuk kelompok dan waktu pembelajaran yang tetap layaknya komunitas. Kapasitas per kelas pun berkisar 2–10 homeschooler (siswa). Jadwal dan tempat pembelajaran ditentukan orangtua. Jika membutuhkan tutor pendamping, mereka bisa mengajukan tutor visit pada HSKS.
Sementara program ketiga adalah Distance Learning (DL), yaitu proses pembelajaran di mana homeschooler belajar di rumah atau di tempat lain didampingi orangtua sebagai tutor utama. Orangtua dapat mengajukan jasa tutor dari HSKS ataupun pihak lain. “Untuk program semikomunitas dan DL, siswa tetap bisa berkumpul bersama di HSKS yang diadakan sekali dalam tiga bulan,” kata Direktur HSKS M Budiharjo.
Saat ini HSKS telah memiliki delapan cabang di beberapa kota, seperti Bekasi dan Surabaya, bahkan sudah ada yang di Sumatera. HSKS pusat yang terletak di Pondok Aren Tangerang Selatan ada sekitar 650 siswa, dan hanya sekitar 250 siswa yang mengikuti program komunitas yang wajib hadir di sekolah dua kali seminggu. Selebihnya memilih program semikomunitas dan DL. Hamidah, salah seorang orangtua murid yang mengikuti program komunitas di HSKS, mengaku alasan memasukkan buah hatinya ke homeschooling karena pola belajar yang diterapkan sekolah sangat fleksibel.
Dengan begitu, bakat putrinya dalam bernyanyi bisa lebih dikembangkan tanpa harus mengganggu waktu belajar. “Di sekolah formal, waktu belajarnya lebih padat dan lama, maka hobi anak saya tidak bisa tersalurkan dengan maksimal,” ujarnya kepada SINDO. Menurut dia, anaknya sendiri yang pertama kali memilih pola belajar homeschooling karena sistem belajar ini dirasa lebih menyenangkan dan nyaman. Hal ini dicontohkan pada hubungan anak didik dan tutor (guru) yang begitu bersahabat.
Para tutor biasanya disebut “kakak” bukan bapak atau ibu guru. “Hal ini membuat anak lebih senang dalam menerima pelajaran,” katanya. Lebih lanjut dia menjelaskan, dengan pola pembelajaran homeschooling yang hanya menerapkan waktu sekolah selama tiga hari dalam seminggu, ternyata berhasil membuat dirinya menjadi lebih akrab dengan sang buah hati. Di samping itu, saat ini rasa kekhawatiran kepada anaknya yang bersekolah di homeschooling lebih berkurang ketimbang saat anak sulungnya ini masih bersekolah di sekolah formal.
Pasalnya, dia bisa lebih punya banyak waktu untuk memperhatikan dan memberikan bimbingan kepada anaknya. Alasan memilih pola pembelajaran homeschooling agar lebih dapat mengembangkan dan memaksimalkan potensi anak juga diungkapkan Debby, salah satu orangtua murid homeschooling kelas XI di HSKS. Menurutnya, alasan utama dia memindahkan Siska, putrinya dari sekolah formal ke homeschooling agar bisa memaksimalkan diri untuk menyalurkan bakat bermusiknya tanpa mengganggu waktu belajar.
Debby mengaku, sejak lulus SMP, Siska diarahkan untuk melanjutkan sekolah dengan sistem homeschooling. “Sebab waktu homeschooling lebih fleksibel. Ini akan membuat dia lebih mudah untuk mengatur waktu antara sekolah dan aktivitas yang ingin dia jalankan,” papar Debby.
(hyk)