KPK dinilai tidak bekerja independen
A
A
A
Sindonews.com – Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sudah terkontaminasi dan banyak diintervensi oleh kelompok yang berkepentingan dalam menjatuhkan lawan politik.
Akibatnya, kinerja lembaga ad hoc itu dalam hal penegakan hukum justru sudah tidak independen saat menjalankan tugas dan kewenanganya. Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding sangat menyayangkan kinerja KPK tersebut. Pasalnya, KPK yang dibentuk untuk membongkar dan menuntaskan kasus-kasus korupsi berskala besar justru terbengkalai. Sekarang ini, lanjut dia, lembaga antikorupsi itu malah sering dibebani kasus-kasus kecil yang sejatinya bisa ditangani oleh penegak hukum yang lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.
“Masalahnya, KPK sampai saat ini banyak menyisakan kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik. Sepertinya ada satu tekanan dari para elite sebuah kelompok, sehingga kinerja KPK tidak independen. Saya kira tanpa adanya tekanan itu, kinerja KPK sudah sangat mudah,” Kata Syarifuddin saat dihubungi di Jakarta, Senin 25 Juni 2012.
Politikus dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat ini meminta KPK harus membuktikan independensinya, dengan cara menyelesaikan sejumlah kasus besar yang terbengkalai. Dia mencontohkan kasus Bank Century, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Wisma Atlet, dan kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang hingga kini masih menjadi pertanyaan besar.
Hal inilah yang menjadikan dirinya selalu ingin mengkritisi lembaga antikorupsi tersebut, agar kinerjanya benar-benar fokus pada kasus-kasus korupsi yang mendapat perhatian publik, di samping potensi kerugian negara yang sangat besar. “Penanganannya masih jalan di tempat. Belum menunjukkan signifikansi mengusut secara tuntas,” terangnya.
Dia berharap KPK tidak disibukkan lagi dengan penanganan kasus-kasus kelas teri, yang bisa ditangani oleh lembaga penegak hukum yang lain. Seperti kasus korupsi DPRD, kepala daerah, dan kementerian yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan kasus-kasus besar seperti Century dan BLBI. Jika KPK bisa fokus pada penanganan kasus-kasus besar, diyakini kepercayaan masyarakat pada lembaga pemberantasan korupsi ini akan lebih tinggi lagi.
Apalagi, kalau KPK bisa menyeret sejumlah aktor di balik kasus yang merugikan keuangan negara ratusan miliar bahkan triliunan itu. “Kasus besar, yang ditetapkan tersangka baru sampai pada tataran pelaksana, belum pada pembuat kebijakan. Maksimalkan penanganannya, jangan kemudian KPK sebagai institusi penegak hukum justru dikendalikan pihak lain,” paparnya.
Dia juga mengkritik KPK yang selalu berdalih keterbatasan sumber daya manusia dalam menjalankan tugas dan kewenanganya. Menurutnya, keterbatasan itu seharusnya difokuskan untuk menyidik kasus-kasus besar. Sementara untuk kasus-kasus dengan skala yang kecil, sebaiknya diserahkan kepada Polri atau Kejaksaan Agung. KPK cukup menjalankan fungsi supervisi dan monitoring.
“KPK kan memiliki fungsi pencegahan, penuntutan, koordinasi, supervisi, dan monitoring. Nah, untuk penuntutan, KPK fokus penuntasan kasus besar, sementara kasus korupsi kelas teri KPK bisa menjalankan fungsi koordinasi, supervisi, dan monitoring,” jelas dia.
Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti berpandangan ada potensi intervensi terhadap KPK, mengingat penanganan kasus-kasus korupsi di KPK melibatkan beberapa elite pemerintahan dan politik. “Memang ada potensi ke arah situ (intervensi), makanya kenapa KPK menggunakan metode bubur panas," kata Ray.
Menurut dia, metode 'bubur panas' yang diterapkan KPK sangat terkait dengan keberanian para petinggi KPK dalam menangani satu perkara korupsi. Mengingat metode ini bisa menjerat orang dalam, khususnya dari kalangan bawah yang jauh dari pusat lingkaran korupsi. Namun begitu sampai pada lingkaran tersebut, KPK akan mandek dan akan menggantinya dengan kasus korupsi baru. “Ini pilihan yang paling aman dari para petinggi KPK; kuantitas boleh banyak tapi kualitasnya sangat rendah,” ungkapnya.
Dari intervensi itulah, kata dia, para pimpinan KPK tidak leluasa dan bebas dalam menangani kasus. Sebenarnya, berapa pun berat dan kuatnya intervensi dari pihak-pihak lain, jika KPK kuat dan berani menghadapi tekanan itu, KPK tidak ada masalah. Persoalannya, KPK tidak kuat dan terkesan mengikuti arahan pihak-pihak, sehingga mengakibatkan banyaknya kasus-kasus berskala besar mandek. “Kuncinya tinggal pimpinan KPK kuat nggak menghadapi intervensi itu," tegasnya.
Sebelumnya, peneliti Indonesian Budget Center Roy Salam menilai KPK lamban dalam penanganan kasus-kasus korupsi dengan nilai nominal besar, atau yang diduga melibatkan aktor-aktor besar. Selain itu, KPK juga tidak berani untuk membongkar kasus kelas kakap. “KPK memang penuh dengan kehati-hatian, tapi itu berdampak pada lambannya kinerja KPK,” ucap dia.
Untuk itu diperlukan sebuah kerja khusus dari lembaga tersebut agar fokus dalam penanganan kasus-kasus tersebut.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan seluruh komponen KPK bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya untuk memberantas korupsi. Pendapat yang menyebutkan KPK terjebak dalam ranah politik ataupun bekerja dengan sifat politis, tidak benar adanya. (lil)
Akibatnya, kinerja lembaga ad hoc itu dalam hal penegakan hukum justru sudah tidak independen saat menjalankan tugas dan kewenanganya. Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding sangat menyayangkan kinerja KPK tersebut. Pasalnya, KPK yang dibentuk untuk membongkar dan menuntaskan kasus-kasus korupsi berskala besar justru terbengkalai. Sekarang ini, lanjut dia, lembaga antikorupsi itu malah sering dibebani kasus-kasus kecil yang sejatinya bisa ditangani oleh penegak hukum yang lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.
“Masalahnya, KPK sampai saat ini banyak menyisakan kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik. Sepertinya ada satu tekanan dari para elite sebuah kelompok, sehingga kinerja KPK tidak independen. Saya kira tanpa adanya tekanan itu, kinerja KPK sudah sangat mudah,” Kata Syarifuddin saat dihubungi di Jakarta, Senin 25 Juni 2012.
Politikus dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat ini meminta KPK harus membuktikan independensinya, dengan cara menyelesaikan sejumlah kasus besar yang terbengkalai. Dia mencontohkan kasus Bank Century, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Wisma Atlet, dan kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, yang hingga kini masih menjadi pertanyaan besar.
Hal inilah yang menjadikan dirinya selalu ingin mengkritisi lembaga antikorupsi tersebut, agar kinerjanya benar-benar fokus pada kasus-kasus korupsi yang mendapat perhatian publik, di samping potensi kerugian negara yang sangat besar. “Penanganannya masih jalan di tempat. Belum menunjukkan signifikansi mengusut secara tuntas,” terangnya.
Dia berharap KPK tidak disibukkan lagi dengan penanganan kasus-kasus kelas teri, yang bisa ditangani oleh lembaga penegak hukum yang lain. Seperti kasus korupsi DPRD, kepala daerah, dan kementerian yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan kasus-kasus besar seperti Century dan BLBI. Jika KPK bisa fokus pada penanganan kasus-kasus besar, diyakini kepercayaan masyarakat pada lembaga pemberantasan korupsi ini akan lebih tinggi lagi.
Apalagi, kalau KPK bisa menyeret sejumlah aktor di balik kasus yang merugikan keuangan negara ratusan miliar bahkan triliunan itu. “Kasus besar, yang ditetapkan tersangka baru sampai pada tataran pelaksana, belum pada pembuat kebijakan. Maksimalkan penanganannya, jangan kemudian KPK sebagai institusi penegak hukum justru dikendalikan pihak lain,” paparnya.
Dia juga mengkritik KPK yang selalu berdalih keterbatasan sumber daya manusia dalam menjalankan tugas dan kewenanganya. Menurutnya, keterbatasan itu seharusnya difokuskan untuk menyidik kasus-kasus besar. Sementara untuk kasus-kasus dengan skala yang kecil, sebaiknya diserahkan kepada Polri atau Kejaksaan Agung. KPK cukup menjalankan fungsi supervisi dan monitoring.
“KPK kan memiliki fungsi pencegahan, penuntutan, koordinasi, supervisi, dan monitoring. Nah, untuk penuntutan, KPK fokus penuntasan kasus besar, sementara kasus korupsi kelas teri KPK bisa menjalankan fungsi koordinasi, supervisi, dan monitoring,” jelas dia.
Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti berpandangan ada potensi intervensi terhadap KPK, mengingat penanganan kasus-kasus korupsi di KPK melibatkan beberapa elite pemerintahan dan politik. “Memang ada potensi ke arah situ (intervensi), makanya kenapa KPK menggunakan metode bubur panas," kata Ray.
Menurut dia, metode 'bubur panas' yang diterapkan KPK sangat terkait dengan keberanian para petinggi KPK dalam menangani satu perkara korupsi. Mengingat metode ini bisa menjerat orang dalam, khususnya dari kalangan bawah yang jauh dari pusat lingkaran korupsi. Namun begitu sampai pada lingkaran tersebut, KPK akan mandek dan akan menggantinya dengan kasus korupsi baru. “Ini pilihan yang paling aman dari para petinggi KPK; kuantitas boleh banyak tapi kualitasnya sangat rendah,” ungkapnya.
Dari intervensi itulah, kata dia, para pimpinan KPK tidak leluasa dan bebas dalam menangani kasus. Sebenarnya, berapa pun berat dan kuatnya intervensi dari pihak-pihak lain, jika KPK kuat dan berani menghadapi tekanan itu, KPK tidak ada masalah. Persoalannya, KPK tidak kuat dan terkesan mengikuti arahan pihak-pihak, sehingga mengakibatkan banyaknya kasus-kasus berskala besar mandek. “Kuncinya tinggal pimpinan KPK kuat nggak menghadapi intervensi itu," tegasnya.
Sebelumnya, peneliti Indonesian Budget Center Roy Salam menilai KPK lamban dalam penanganan kasus-kasus korupsi dengan nilai nominal besar, atau yang diduga melibatkan aktor-aktor besar. Selain itu, KPK juga tidak berani untuk membongkar kasus kelas kakap. “KPK memang penuh dengan kehati-hatian, tapi itu berdampak pada lambannya kinerja KPK,” ucap dia.
Untuk itu diperlukan sebuah kerja khusus dari lembaga tersebut agar fokus dalam penanganan kasus-kasus tersebut.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan seluruh komponen KPK bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya untuk memberantas korupsi. Pendapat yang menyebutkan KPK terjebak dalam ranah politik ataupun bekerja dengan sifat politis, tidak benar adanya. (lil)
()