Anomali KPK
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tujuh tersangka dugaan suap pengurusan bea dan cukai kargo masuk yang melibatkan pegawai bea cukai Bandara Soekarno- Hatta.
Langkah tersebut harus diapresiasi sebagai kesungguhan KPK untuk memberantas korupsi dalam bentuk apa pun. Sayangnya, sasaran yang dibidik hanya bernilai Rp150 juta. Ibarat petinju, semestinya ”bertarung”dengan koruptor bernilai minimal Rp1 miliar seperti yang diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bukan kasus kelas teri.
Sesuai fungsi dan tugasnya untuk melakukan koordinasi dan supervisi, lembaga yang dipimpin Abraham Samad ini seharusnya cukup memberikan informasi ada tindak pidana korupsi kepada lembaga penegak hukum i terkait seperti kepolisian, sembari mengamati tindak lanjutnya. Entah apa pertimbangannya, KPK belakangan ini seolah terjebak untuk melakukan pekerjaan kecil. Lihat saja pada kasus penangkapan pengusaha James Gunarjo dan pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sidoarjo Tommy Hindratno yang melibatkan uang sebesar Rp280 juta.
Langkah yang diambil KPK untuk menindak kasus kelas teri tentu menyimpang dari jati diri KPK. Sebelumnya pimpinan KPK berkali-kali mengeluhkan soal kekurangan SDM untuk membantu kinerja seperti diharapkan masyarakat. Dengan realitas seperti itu, KPK semestinya fokus menyelesaikan korupsi kelas kakap,termasuk menindaklanjuti berbagai kasus besar yang macet selama ini seperti kasus Bank Century, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),dan kasus travel cheque yang melibatkan Panitia Anggaran DPR 1999–2004 dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom.
Pimpinan KPK pun harus ingat bahwa mereka terpilih sebagai dekonstruksi terhadap kepemimpinan KPK sebelumnya yang dianggap gagal memenuhi harapan masyarakat menuntaskan kasus-kasus kakap. Abraham Samad bahkan di depan DPR berjanji akan mundur dalam waktu setahun jika tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Tapi, enam bulan telah berlalu, belum ada satu pun kasus tersebut dituntaskan.
Penahanan Miranda Goeltom tidak bisa disebut sebagai prestasi karena belum menyentuh aktor utama dibalik kasus tersebut. Selain terjebak pada kasus kelas teri, belakangan KPK juga mengalami anomali yang mengarah pada trial by opinion. Lihat saja pada kasus penangkapan terhadap James dan Tommy, seorang pimpinan KPK langsung mengatakan kasus tersebut terkait dengan PT Bhakti Investama Tbk (BHIT) dan dengan cepat menggeledah kantor perusahaan tersebut, serta kemudian memanggil pendiri BHIT Hary Tanoesoedibjo (HT) tanpa proses penyelidikan dan klarifikasi.
Di sela rapat dengar pendapat umum dengan Komisi Hukum di Kompleks Parlemen Senayan (20/06), Abraham Samad juga membeberkan lembaganya tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi pengadaan kita suci Alquran di Kementerian Agama. Dia menyebut kasus tersebut terjadi di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama yang saat kejadian dipimpin oleh Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar.
Keluarnya pernyataan di mana proses penyelidikan belum final, kontan saja membentuk opini bahwa Nazaruddin Umar sudah pasti bersalah. Begitupun dengan kasus yang menimpa HT. Kondisi tersebut tentu sangat merugikan pribadi bersangkutan, termasuk keluarganya. Ibaratnya, dengan pisau tajam yang dibawanya, KPK telah memasung orang yang belum tentu bersalah.
Sebagai lembaga yang masih mempunyai kredibilitas tinggi, KPK lebih berhati-hati agar melakukan tindakan yang tidak sesuai jati dirinya, apalagi sampai melanggar prinsip hukum seperti asas praduga tak bersalah. Jika anomali di atas berlanjut, bukan tidak mungkin KPK buah mulut yang menyebut KPK melakukan tebang pilih, melakukan pengalihan isu dan atau bagian dari permainan politik benar adanya.(azh)
Langkah tersebut harus diapresiasi sebagai kesungguhan KPK untuk memberantas korupsi dalam bentuk apa pun. Sayangnya, sasaran yang dibidik hanya bernilai Rp150 juta. Ibarat petinju, semestinya ”bertarung”dengan koruptor bernilai minimal Rp1 miliar seperti yang diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bukan kasus kelas teri.
Sesuai fungsi dan tugasnya untuk melakukan koordinasi dan supervisi, lembaga yang dipimpin Abraham Samad ini seharusnya cukup memberikan informasi ada tindak pidana korupsi kepada lembaga penegak hukum i terkait seperti kepolisian, sembari mengamati tindak lanjutnya. Entah apa pertimbangannya, KPK belakangan ini seolah terjebak untuk melakukan pekerjaan kecil. Lihat saja pada kasus penangkapan pengusaha James Gunarjo dan pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sidoarjo Tommy Hindratno yang melibatkan uang sebesar Rp280 juta.
Langkah yang diambil KPK untuk menindak kasus kelas teri tentu menyimpang dari jati diri KPK. Sebelumnya pimpinan KPK berkali-kali mengeluhkan soal kekurangan SDM untuk membantu kinerja seperti diharapkan masyarakat. Dengan realitas seperti itu, KPK semestinya fokus menyelesaikan korupsi kelas kakap,termasuk menindaklanjuti berbagai kasus besar yang macet selama ini seperti kasus Bank Century, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),dan kasus travel cheque yang melibatkan Panitia Anggaran DPR 1999–2004 dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom.
Pimpinan KPK pun harus ingat bahwa mereka terpilih sebagai dekonstruksi terhadap kepemimpinan KPK sebelumnya yang dianggap gagal memenuhi harapan masyarakat menuntaskan kasus-kasus kakap. Abraham Samad bahkan di depan DPR berjanji akan mundur dalam waktu setahun jika tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Tapi, enam bulan telah berlalu, belum ada satu pun kasus tersebut dituntaskan.
Penahanan Miranda Goeltom tidak bisa disebut sebagai prestasi karena belum menyentuh aktor utama dibalik kasus tersebut. Selain terjebak pada kasus kelas teri, belakangan KPK juga mengalami anomali yang mengarah pada trial by opinion. Lihat saja pada kasus penangkapan terhadap James dan Tommy, seorang pimpinan KPK langsung mengatakan kasus tersebut terkait dengan PT Bhakti Investama Tbk (BHIT) dan dengan cepat menggeledah kantor perusahaan tersebut, serta kemudian memanggil pendiri BHIT Hary Tanoesoedibjo (HT) tanpa proses penyelidikan dan klarifikasi.
Di sela rapat dengar pendapat umum dengan Komisi Hukum di Kompleks Parlemen Senayan (20/06), Abraham Samad juga membeberkan lembaganya tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi pengadaan kita suci Alquran di Kementerian Agama. Dia menyebut kasus tersebut terjadi di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama yang saat kejadian dipimpin oleh Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar.
Keluarnya pernyataan di mana proses penyelidikan belum final, kontan saja membentuk opini bahwa Nazaruddin Umar sudah pasti bersalah. Begitupun dengan kasus yang menimpa HT. Kondisi tersebut tentu sangat merugikan pribadi bersangkutan, termasuk keluarganya. Ibaratnya, dengan pisau tajam yang dibawanya, KPK telah memasung orang yang belum tentu bersalah.
Sebagai lembaga yang masih mempunyai kredibilitas tinggi, KPK lebih berhati-hati agar melakukan tindakan yang tidak sesuai jati dirinya, apalagi sampai melanggar prinsip hukum seperti asas praduga tak bersalah. Jika anomali di atas berlanjut, bukan tidak mungkin KPK buah mulut yang menyebut KPK melakukan tebang pilih, melakukan pengalihan isu dan atau bagian dari permainan politik benar adanya.(azh)
()